Bencana dan Problem Tata Kelola
Ekosistem alami dapat menahan tekanan akibat tindakan manusia atau iklim untuk waktu yang sangat lama, tetapi hanya sampai titik tertentu. Kini, titik itu di banyak wilayah tampak sudah terlampaui oleh adanya bencana.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengatakan, berbagai faktor pemicu curah hujan ekstrem masih akan terjadi hingga Februari 2021. Penjelasan melalui jumpa pers daring, Sabtu (23/1/2021), menyebut adanya fenomena iklim global La Nina sebagai penyebabnya. Apa yang dapat terjadi dalam sebulan ke depan, tampak tidak dapat dilepaskan dari persoalan keputusan jangka panjang.
Seperti biasa, ketika ada bencana kita mendapat banyak penjelasan mengapa bencana itu terjadi. Setelah itu, kehidupan berjalan sebagaimana biasanya, sampai kemudian kita mendapat penjelasan serupa untuk bencana berikutnya.
Baca juga : Bencana Harus Kembali Jadi Pengingat Pentingnya Mitigasi sejak Dini
Penjelasan itu sering kali dapat memuaskan satu pihak, tetapi tak memuaskan pihak lainnya, terutama ketika dikaitkan dengan alasan-alasan teknis yang kebenarannya masih bergantung pada ketelitian memahami kondisi spesifik di lapangan. Tak jarang, hal ini juga menyangkut kepentingan antarsektor.
Kerusakan hutan sudah biasa dianggap sebagai biang terjadinya bencana, terutama banjir dan longsor. Sementara, di lapangan juga ada perkembangan luas tambang, kebun, perumahan, jalan-jalan besar lintas provinsi dan pabrik-pabrik. Semua itu berkontribusi pada terjadinya bencana, bersamaan dengan faktor lain, seperti curah hujan, air genangan dari laut pasang, ataupun mungkin ada kontribusi pergerakan lempengan kerak bumi yang jadi penyebab gempa bumi.
Kerusakan hutan sudah biasa dianggap sebagai biang terjadinya bencana, terutama banjir dan longsor.
Tata kelola perizinan
Persoalan yang dihadapi sesungguhnya adalah sikap umum negara atau para pengambil keputusan yang cenderung bertabrakan dengan tata kelola (governance), dalam melakukan pencegahan terjadinya bencana setelah berbagai bencana terjadi. Underdal (2010) dalam publikasinya Complexity and challenges of long-term environmental governance menyebutkan, dalam menghadapi penurunan kualitas lingkungan hidup, terdapat tiga karakteristik yang membuat para pengambil keputusan menghadapi tantangan tata kelola.
Pertama, dampak kegiatan di luar waktu pertanggungjawaban. Dampak itu berupa hadirnya masalah lama waktu, antara terjadinya penyebab efek merugikan yang relatif terkontrol—misalnya perusakan kawasan lindung atau pelanggaran tata ruang—dan dampak negatif yang ditimbulkan, misalnya longsor dan banjir.
Baca juga : Eratkan Persatuan Hadapi Bencana
Karakteristik ini menjadi penyebab lemahnya sikap pengambil keputusan karena berbagai akibat positif yang ditimbulkan akan terjadi di luar masa pertanggungjawaban jabatan seorang pejabat tinggi atau suatu rezim pemerintahan. Isu lingkungan hidup juga bukanlah isu seksi dalam percaturan politik di Indonesia.
Pada Pilpres 2019, misalnya, kedua pasangan yang berkontestasi belum memiliki perhatian pada isu lingkungan hidup, padahal krisis ekologi telah terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dalam catatan Direktur Yayasan Satu Dunia Firdaus Cahyadi, kedua capres tak banyak mengangkat isu lingkungan hidup dalam kampanye mereka. Sejak awal kampanye hingga akhir Januari 2019, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin hanya mengangkat isu lingkungan hidup sebanyak 15 kali, dibandingkan dengan isu ekonomi yang mencapai 233 kali.
Hal sama terjadi pada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang hanya 11 kali mengangkat isu lingkungan hidup dalam kampanye mereka, sementara isu ekonomi 340 kali. Jika ditelisik lebih jauh, konten kampanye isu ekonomi yang ditawarkan kedua kubu juga tak memiliki perspektif ekologis.
Kedua, biaya kerusakan fungsi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup tak dimasukkan sebagai biaya pembangunan ekonomi. Terdapat ketakpastian mengenai biaya penggantian kerugian kerusakan ekosistem di bawah berbagai pilihan instrumen kebijakan untuk menambah manfaat ekonomi.
Baca juga : Krisis Lingkungan dan Bencana Pandemi
Akibat dari kondisi ini, ekonomi seolah-olah akan terus tumbuh, walaupun terdapat banyak bencana, karena nilai moneter bencana itu tak diperhitungkan dalam kalkulasi pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, adanya fenomena barang publik dari masalah kebijakan berjangka panjang. Sering kali, kebijakan jangka panjang mengorbankan kepentingan publik. Apabila akumulasi kerusakan ekosistem telah menyebabkan dampak yang tidak dapat dikompensasi saat ini, sesungguhnya para pembuat kebijakan di masa lalu telah diuntungkan—secara sadar atau tidak—dari hilangnya jasa ekosistem. Dan yang menanggung, generasi saat ini.
Demikian pula, membatasi kerusakan ekosistem untuk masa depan merupakan masalah barang publik.
Demikian pula, membatasi kerusakan ekosistem untuk masa depan merupakan masalah barang publik. Pemda tertentu yang punya kawasan lindung dan melindunginya—sehingga berperan penting sebagai barang publik bagi banyak pemda lainnya—umumnya tak memperoleh manfaat langsung, dari kebijakan ini. Akibatnya, perlindungan kawasan lindung dianggap tak menarik bagi pemda-pemda untuk dilakukan.
Studi terbaru UN Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES, 2019), yang didasarkan pada 15.000 lebih sumber ilmiah dan dokumen pemerintah, menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan menjadi pendorong paling kuat terjadinya keruntuhan ekosistem di dunia. Menurut studi ini, diperlukan koreksi radikal untuk mengendalikan konsumsi berlebihan dan pemborosan pemanfaatan SDA dan segera menyempurnakan paradigma terbatas pertumbuhan ekonomi.
Kolusi birokrasi-swasta
Di Indonesia, perubahan tata guna lahan itu masih sangat sulit dikendalikan. Pertama, akibat lemahnya pengendalian perizinan. Dalam evaluasi terhadap perizinan perkebunan sawit di delapan kabupaten dan 24 perusahaan di Papua Barat, dinas-dinas di tingkat kabupaten yang mengeluarkan izin lokasi (IUP) sering kali tak menjalankan prosedurnya dengan benar.
Misalnya, perusahaan dibiarkan tak menyelesaikan perolehan tanah, di lokasi IUP terdapat lahan gambut dalam, tanpa IUP, kegiatan dibiarkan terus berjalan, tak punya izin pemanfaatan kayu (IPK), IPK diberikan lebih luas daripada luas IUP.
Contoh lain, di Kalimantan Timur, luas reklamasi tambang lebih rendah daripada yang seharusnya dilakukan (Kristanti, 2020).
Kedua, redup atau bahkan matinya fungsi pemerintahan di wilayah-wilayah kerja yang semestinya dilindungi hingga dekade terakhir masih disebabkan oleh korupsi perizinan. Hasil penelitian Kenny dan Warburton (2020) bertajuk Paying Bribe in Indonesia: A survey of business corruption mengungkapkan bahwa perusahaan berinteraksi dengan berbagai tingkat pemerintahan dan eksekutif daerah yang membuka peluang baru untuk pertukaran korupsi antara sektor swasta, birokrat tingkat kabupaten, dan aparat keamanan lokal.
Kenyataan itu, menurut studi ini, sangat merugikan sektor SDA. Kolusi antara perusahaan dan pejabat negara menyebabkan ledakan jumlah izin pertambangan dan kelapa sawit, mempercepat laju deforestasi dan degradasi lahan, serta mendorong konflik baru dan terkadang kekerasan di daerah kaya SDA.
Baca juga : Menjaga Hutan Lestari Cegah Penyakit Menular
Dari 672 responden perwakilan bisnis yang diwawancarai Kenny dan Warburton antara Juli 2019 sampai Februari 2020, sebanyak 33,2 persen mengaku diminta biaya tidak resmi dan 30,6 persen menyatakan telah membayar biaya itu. Perusahaan yang sangat percaya bahwa biaya ilegal itu juga dibayar oleh pelaku bisnis di sektor mereka, sebanyak 35,7 persen. Perusahaan itu dikelompokkan ke dalam perusahaan ekstraksi, konstruksi, pertanian, manufaktur, perdagangan, logistik, dan keuangan.
Proporsi tertinggi perusahaan yang melaporkan adanya pemerasan, membayar suap, dan percaya bahwa praktik tersebut umum terjadi di sektor mereka adalah perusahaan konstruksi, masing-masing 49,5 persen, 44,2 persen, dan 51,6 persen. Disusul perusahaan ekstraktif, sebesar 47,9 persen, 42,7 persen, dan 53,1 persen. Proporsi terendah ada di sektor keuangan, sebesar 17,0 persen, 16,0 persen, dan 22,3 persen.
Ekosistem alami dapat menahan tekanan akibat tindakan manusia atau iklim untuk waktu yang sangat lama, tetapi hanya sampai titik tertentu.
Ekosistem alami dapat menahan tekanan akibat tindakan manusia atau iklim untuk waktu yang sangat lama, tetapi hanya sampai titik tertentu. Kini, titik itu di banyak wilayah tampak sudah terlampaui dan berbagai bencana sebagai akibatnya sudah menjadi konsekuensi logis yang harus diterima.
Tiga hal yang menjebak cara berpikir para pengambil keputusan sebagaimana diuraikan Underdal di atas, menunjukkan bagaimana selama ini pengambilan keputusan didasarkan pada apa yang oleh sosiolog Max Weber (1864-1920) disebut sebagai rasionalitas praktis.
Tata cara berpikir dan pengambilan keputusan seperti itu berorientasi pada aliran acak peristiwa yang terfragmentasi serta dari konfrontasi rasional praktis dengan masalah sehari-hari, serupa dengan pendekatan rasio manfaat-biaya.
Pola rasional pengambilan keputusan seperti itu telah dibuktikan gagal untuk mencirikan tindakan yang sesuai dengan perubahan jangka panjang, seperti perubahan ekosistem. Weber mengingatkan untuk menggunakan rasional substantif pada fenomena kehidupan jangka panjang seperti itu.
Ia menyebut hanya tindakan yang berorientasi pada rasionalitas substantif—antara lain berdasarkan norma dan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan—yang berpotensi memperkenalkan cara hidup dengan menundukkan cara rasional praktis berdasarkan kepentingan, orientasi rasional formal pada aturan, dan aliran realitas dari kejadian-kejadian yang terputus-putus. Negara atau pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan transformasi cara berpikir itu.
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University