Memahami Gempa Majene
Gempa utama di Majene magnitudo 6,2 memiliki penurunan tegangan yang tinggi dan aftershocks yang sedikit, maka mengarah pada sebuah rekomendasi bahwa gempa yang terjadi mungkin tak akan diikuti gempa besar besar susulan.

Belum usai pemberitaan bencana tanah longsor di Sumedang dan banjir di Kalimantan Selatan yang menelan korban jiwa cukup banyak, kita dikejutkan oleh gempa kuat yang melanda Majene, Sulawesi Barat. Gempa magnitudo 5,9 dan 6,2 yang terjadi 14-15 Januari 2021 ini merusak ribuan rumah, menelan korban jiwa puluhan orang meninggal dan ratusan luka-luka.
Bagi para ahli kebumian, terjadinya gempa merusak di Majene bukan hal aneh. Secara tektonik, wilayah pesisir dan lepas pantai Sulawesi Barat terletak di zona jalur lipatan dan sesar (fold and thrust belt).
Lihat juga: Sejarah Gempa dan Tsunami Sulawesi Barat
Peta sumber dan bahaya gempa Indonesia 2017 (Irsyam dkk, 2020) menunjukkan wilayah itu terdapat sesar naik Selat Makassar, yang dibagi menjadi tiga segmen, yaitu segmen Tengah, segmen Mamuju, dan segmen Somba.
Berdasarkan catatan sejarah, jalur sumber gempa ini pernah memicu gempa besar dan tsunami seperti pada 11 April 1967 dan 23 Februari 1969. Gempa besar saat itu memicu tsunami destruktif di sepanjang pesisir Tinambung, Majene, hingga Mamuju yang merusak permukiman pantai dan menelan korban jiwa sangat besar. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk memahami gempa Majene.
Bagi para ahli kebumian, terjadinya gempa merusak di Majene bukan hal aneh.
Gempa Majene diawali dengan gempa pembuka (foreshocks), kemudian terjadi gempa utama (mainshock), dan diikuti dengan serangkaian gempa susulan (aftershocks). Gempa pembuka terjadi 14 Januari 2021 pukul 13.35 WIB dengan magnitudo 5,9 dan menimbulkan kerusakan. Setelah terjadi rentetan gempa pembuka sebanyak delapan kali, selanjutnya pada 15 Januari 2021 pukul 01.28 WIB terjadi gempa utama dengan magnitudo 6,2 yang dampak guncangan lebih kuat dan lebih merusak.
BMKG mencatat hingga Jumat 22 Januari 2021 telah terjadi 34 kali gempa susulan. Total jumlah gempa sejak terjadinya gempa pembuka tercatat 43 kali dengan gempa dirasakan sebanyak delapan kali.
Lihat juga: Sejarah Mamuju Thrust, Penyebab Gempa 2021, 1969, dan 1967
Jika mencermati aktivitas gempa di Majene, tampak produktivitas gempa susulannya sangat rendah. Padahal, sebaran stasiun seismik BMKG di daerah itu sudah cukup baik sehingga gempa kecil pun akan terekam. Namun, hasil monitoring menunjukkan gempa Majene memang miskin gempa susulan (lack of aftershocks).
Tak lazim
Fenomena ini tak lazim untuk tektonik Indonesia yang dinamis karena gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) dengan magnitudo 6,2 umumnya diikuti aktivitas gempa susulan yang cukup banyak. Jika dibandingkan gempa lain sekelasnya, gempa susulan yang terjadi jauh lebih banyak.

Foto udara Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (19/1/2021). Peneliti gempa bumi Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rahma Hanifa, mengatakan, dalam Peta Sumber Gempa Bumi Indonesia tahun 2017 telah dipetakan bahwa sesar aktif Mamuju-Majene punya potensi gempa berkekuatan maksimal M 7 dengan laju geser sekitar 2 milimeter per tahun.
Apakah minimnya gempa susulan ini merupakan dampak dari proses disipasi energi yang telah berlangsung sempurna saat gempa utama, sehingga medan tegangan di sumber gempa sudah habis dan kondisi tektonik sudah kembali normal?
Sebagian orang berpendapat minimnya gempa susulan justru menggambarkan masih adanya medan tegangan yang terakumulasi sehingga masih ada potensi gempa besar yang akan terjadi. Apakah pendapat semacam ini memiliki dasar ilmiah kuat? Mereka menganalogikan gempa Majene seperti gempa Lombok 2018 dengan rentetan gempa besar lima kali dengan magnitudo 6,5-7,0.
Seharusnya dalam menilai aktivitas sebuah gempa diperlukan data riil terkait gempa yang terjadi dan bukan menggunakan asumsi. Kita dapat mengidentifikasi karakteristik gempa Majene salah satunya menggunakan kurva sejarah waktu proses rekahan yang terjadi di sumbernya (source time function) dan pemodelan sumber gempa. Dari data ini tampak bahwa gempa Majene magnitudo 6,2 memiliki luasan sumber rekahan yang sangat kecil.
Luas bidang rekahan ini berhubungan dengan besarnya momen seismik atau besarnya gempa, dan pergeseran yang terjadi di sumber gempa.
Luas bidang rekahan ini berhubungan dengan besarnya momen seismik atau besarnya gempa, dan pergeseran yang terjadi di sumber gempa. Kian luas/panjang rekahan di sumbernya, umumnya kian lama durasi gempanya. Data seismik menunjukkan durasi gempa Majene memiliki waktu proses rekahan sangat singkat, di mana energi sumber gempa sudah habis dalam waktu sekitar empat detik. Jika durasi proses rekahan sangat singkat, artinya sumbernya sangat kecil.
Di sisi lain, kecepatan proses rekahan memiliki kaitan dengan daya rusak gempa. Contohnya, peristiwa gempa Palu berkekuatan 7,4 dengan pergeseran cepat (supershear event) berdampak sangat merusak, memicu terjadinya likuefaksi dan tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018.
Baca juga: Waspadai Potensi Gempa akibat Sesar Dangkal di Utara Jawa
Jika kita jeli mengamati bentuk gelombang seismik gempa Majene, tampak konten frekuensi tinggi, artinya gempa Majene telah meradiasikan sinyal gelombang frekuensi yang relatif tinggi dari biasanya. Fenomena semacam ini langka di mana sebuah gempa kerak dangkal memiliki karakteristik deformasi aktif dan dinamis.

Kendaraan melintas diantara reruntuhan batu yang jatuh dari tebing di sisi jalan di Desa Onang Kecamatan Tubo Sendana, Majene, Sulawesi Barat, Senin (18/1/2021). Bebatuan di tebing dan perbukitan di sepanjang jalur antara kota Majene hingga perbatasan Mamuju, rawan longsor terlebih pascagempa dengan magnitudo 6,2 pada Jumat (15/1/2021)
Pada kasus gempa Majene, tampak momen seismik atau besarnya gempa diradiasikan dari rekahan sumber gempa sangat kecil. Di dunia seismologi, jika kita bandingkan dua gempa yang sama magnitudonya, gempa dengan rekahan sangat kecil merilis penurunan tegangan (stress drop) sangat besar.
Efeknya, gempa meradiasikan guncangan frekuensi yang lebih tinggi dari biasanya. Implikasinya bisa sangat merusak dan mematikan. Kini dapat kita saksikan dampak gempa begitu sangat merusak, banyak bangunan gedung dan rumah rusak berat, bahkan roboh total.
Hasil kajian Wetzler dkk (2017) yang dipublikasikan di jurnal internasional bergengsi Geophysical Research Letter dengan judul ”Regional and stress drop effects on aftershock productivity of large megathrust earthquakes” menyebutkan gempa dengan penurunan tegangan sangat besar akan miskin gempa susulan dibanding gempa dengan penurunan tegangan yang lebih kecil.
Mengacu hasil penelitian Wetzler dkk di atas, fakta mengenai minimnya produktivitas gempa susulan yang terjadi di Majene merupakan cerminan adanya penurunan tegangan yang besar (high stress drop) dengan tiba-tiba saat terjadi gempa utama.
Gempa saat ini memang belum bisa diprediksi.
Dalam pengertian lebih luas, rendahnya produktivitas gempa susulan pada gempa kuat merupakan indikasi terjadinya disipasi energi yang sempurna. Minimnya jumlah gempa susulan merupakan dampak penurunan tegangan yang besar yang terjadi singkat di zona yang kecil dan biasanya kurang mengganggu (mempromosikan) peningkatan tegangan di zona sekitarnya. Ini mirip beberapa kasus gempa yang sumbernya di dalam lempeng (intraslab earthquakes). Cirinya gempa ini minim gempa susulan dan tak diikuti gempa berkekuatan besar, pada sumber yang sama.
Gempa saat ini memang belum bisa diprediksi. Namun, observasi pada beberapa gempa besar yang sudah terjadi menunjukkan adanya beberapa karakter empiris gempa pembuka. Ciri-ciri gempa yang berpotensi disusul gempa besar masih belum jelas, tetapi beberapa kasus menunjukkan biasanya didahului rangkaian gempa pembuka yang banyak dengan ”nilai b” yang rendah dan bermigrasi dengan pola tertentu. Mereka juga ditandai dengan penurunan tegangan yang kecil (low stress drop) pada beberapa kasus.

Daryono
Dengan memahami bahwa gempa utama di Majene magnitudo 6,2 memiliki penurunan tegangan yang tinggi dan aftershocks yang sedikit, maka mengarah pada sebuah rekomendasi bahwa gempa yang telah terjadi ini mungkin bukanlah gempa yang akan diikuti oleh sebuah gempa besar berikutnya di sumber yang sama.
(Daryono, Peneliti di BMKG dan anggota PusGeN)