Joe Biden: Pasifis dan Multikulturalis
Karakter personalitas Biden yang pasifis dan multikulturalis diharapkan akan menghadirkan wajah baru Amerika Serikat yang lebih bersahabat dan, memberi sumbangan bagi lahirnya tata dunia baru yang lebih aman dan damai.
Apakah kebijakan luar negeri Amerika Serikat akan berubah di tangan Presiden Joseph Robinette Biden Jr (Joe Biden) bersama Wakil Presiden Kamala Harris? Artinya, berbeda dengan zaman Donald Trump?
Besar kemungkinan, kita akan melihat perubahan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Meskipun, dalam beberapa situasi, Biden akan mengutamakan kepentingan nasional negaranya, sesuatu yang wajar dalam kebijakan luar negeri.
Baca juga: Joe Biden dan Kembalinya Demokrasi
Namun, melihat profil personalitas Biden, kemungkinan ia akan mendefinisikan kembali kepentingan utama dari kebijakan Amerika Serikat. Kiranya yang pertama akan dilakukan adalah ”mengangkat kembali wajah Amerika Serikat” yang terpuruk, baik karena sikap ”ketidaknormalan” pendahulunya sebagai pemimpin yang menimbulkan citra buruk bagi demokrasi Amerika Serikat maupun, kedua, membangun kembali aliansi dengan sekutu.
Kebijakan memulihkan aliansi dengan negara-negara sekutu adalah penting sebagai sebuah strategi untuk memperbaiki hubungan internasional Amerika Serikat yang rusak. Kebijakan ini mencerminkan keyakinannya bahwa tantangan terberat Amerika Serikat, termasuk antara lain masalah iklim dan pandemi Covid-19, memerlukan kerja sama dan koordinasi internasional.
Profil personalitas Biden sangat berbeda dengan Trump.
Profil personalitas Biden sangat berbeda dengan Trump. Ini yang akan membedakan pendekatan dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri.
Trump dikenal sebagai presiden yang berbicara tidak seperti politisi pada umumnya; yang sulit disebut sebagai pemimpin dunia, yang asal ngomong (tidak disaring); yang senang menciptakan musuh; tidak konsisten, yang tidak bisa dipegang omongannya, dan tidak memiliki visi yang jelas.
Personalitas Trump seperti itulah yang melandasi kebijakan luar negerinya selama empat tahun berkuasa. Karena itu, kemenangan Biden dirasakan oleh banyak negara sekutu Amerika Serikat sebagai ”pembebasan dari situasi penyanderaan”. Setelah selama empat tahun diancam, dihina, direpotkan dengan perang tarif, dan unilateralisme.
Baca juga: Berkaca ke Amerika
Selama berkuasa, Trump secara terbuka mempertanyakan, mempersoalkan, dan merendahkan arti penting aliansi dengan sekutu lama, termasuk dengan NATO, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang. Trump juga menarik Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir Iran, kesepakatan iklim Paris, Organisasi Kesehatan Dunia, dan banyak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya.
Karena itulah Biden menjanjikan kembalinya sesuatu yang hilang di zaman Trump, yakni kembalinya standar lama, peran tradisional Amerika Serikat di panggung dunia: prediktabilitas dan stabilitas, rasa hormat terhadap sekutu, dan lebih banyak konsultasi serta kompromi (Inside Story, 24/11/2020).
Meskipun, tidak mudah bagi Biden untuk menggenapi janjinya itu. Sebab, selama empat tahun, banyak hal yang sudah ”dirusak” oleh kebijakan Trump. Selain itu, dunia pun berubah, akibat pandemi Covid-19, yang membuat berubahnya pula cara pandang Amerika Serikat terhadap dunia, demikian pula sebaliknya.
Baca juga: Tantangan Biden Menata Amerika dan Dunia
Akan tetapi, karakter personalitas Biden yang sangat berbeda dengan Trump akan membedakan pula cara pendekatan dalam kebijakan luar negeri. Biden seorang pacifist (pencinta damai) dan multiculturalist (multikulturalis). Kedua karakter personalitasnya ini akan jadi tumpuan pendekatan kebijakan luar negerinya.
Sebagaimana seorang pasifis, Biden tidak akan impulsif dan tak agresif (CSS Parho, 30/12/2020).
Orang yang memiliki personalitas seperti itu memiliki motif afiliasi yang kuat dan terdorong untuk mengupayakan persetujuan.
Aubrey Immelman dari Department of Psychology Saint John’s University (AS) dalam kertas kerjanya (Desember 2019) menyatakan bahwa Biden adalah conciliatory extravert. Orang yang memiliki personalitas seperti itu memiliki motif afiliasi yang kuat dan terdorong untuk mengupayakan persetujuan. Pemimpin dengan profil kepribadian seperti Biden cenderung menunjukkan gaya kepemimpinan interpersonal, ditandai dengan fleksibilitas, kompromi, dan penekanan pada kerja tim.
Profil kepribadian lain yang menonjol dari Biden adalah multikulturalis. Mengutip pendapat Azyumardi Azra, multikulturalisme adalah pandangan dunia yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan kebudayaan.
Kebijakan kebudayaan tersebut menekankan penerimaan realitas pluralitas agama dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat. Multikulturalisme juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
Baca juga: Dunia Menyambut Era Baru Amerika
Pendekatan multikulturalisme sudah ditunjukkan oleh Biden dengan menunjuk Kamala Harris sebagai wakil presiden. Harris tidak hanya orang kulit berwarna, tetapi juga putri dari orangtua imigran (ibunya keturunan India dan ayahnya berdarah Jamaika).
Kebijakan dan pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan kebijakan dan pendekatan Trump yang selalu menekankan white supremacist rhetoric, retorika keunggulan kulit putih, salah satunya.
Akan diuji
Dua pendekatan Biden itu akan diuji apakah bisa berjalan atau tidak. Misalnya, bagaimana nanti hubungannya dengan China, yang selama pemerintahan Trump selalu tegang. Hubungan Amerika Serikat-China mungkin yang paling penting dan rumit yang harus dihadapi presiden Amerika Serikat modern kapan pun.
Biden berpendapat ada bidang-bidang yang menjadi kepentingan Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan Beijing, misalnya menyangkut perubahan iklim dan Korea Utara. Apakah ini sinyal bahwa akan ada pendekatan baru dengan China?
Baca juga: Relasi AS-China di Era Biden
Apakah dengan dua pendekatan tersebut—pasifis dan multikulturalis—Biden dapat memulihkan kembali kepemimpinan global Amerika Serikat lagi, misalnya? Demikian pula hubungan Amerika Serikat dengan Eropa Barat yang karena arogansi Trump, antara lain menyangkut NATO menjadi tidak nyaman, apakah akan dapat diperbaiki.
Memang, ada optimisme di kalangan para pemimpin Eropa bahwa Biden akan membawa perubahan. Disambut gembiranya kemenangan Biden oleh sekutu-sekutu Amerika Serikat di Eropa menjadi awal yang baik.
Dua pendekatan—yang kemungkinan—akan menjadi ciri utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat di zaman Biden juga akan diuji di Timur Tengah. Pada masa Trump, Timur Tengah adalah hotspot kebijakan luar negeri Amerika. Trump, sekurang-kurangnya, membuat dua perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri terhadap Timur Tengah.
Pada masa Trump, Timur Tengah adalah hotspot kebijakan luar negeri Amerika.
Pertama, mengakhiri kesepakatan nuklir dengan Iran (The Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) pada Mei 2018 dengan meninggalkan negara-negara sekutu Eropa. Trump mendukung Israel dan Arab Saudi, khususnya, dan untuk mengisolasi Iran.
Kedua, Trump menjalankan kebijakan pro-Israel. Ia juga memainkan peran penting terbangunnya hubungan Israel dengan negara-negara Arab (antara lain terlahirnya Abraham Accord, yang melandasi terciptanya hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab). Dia juga memindahkan kedubes Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalem, suatu langkah yang menimbulkan kehebohan dunia. Namun, kebijakan Trump itu tidak semakin mendekatkan perdamaian di Timur Tengah—antara Israel dan Palestina—tetapi justru sebaliknya.
Baca juga: Abraham Accord dan Palestina
Apa yang akan dilakukan Biden terhadap kedua hal tersebut? Apakah ia berhasil untuk menghidupkan kembali JCPOA? Sementara, Iran menyatakan mereka tidak akan lagi membatasi diri pada pembatasan yang terkandung dalam kesepakatan.
Adanya pernyataan dari Iran tersebut mengisyaratkan bahwa Amerika Serikat tidak bisa jalan sendiri tanpa dukungan dan kerja sama dengan negara-negara sekutu Eropanya untuk kembali ke JCPOA.
Pada akhirnya, kita—masyarakat dunia—akan melihat perubahan besar apa dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap berbagai wilayah, selain Eropa, Timur Tengah, juga Asia Tenggara, dan Timur (China, Korea Utara) yang akan memberikan sumbangan pada perdamaian dunia.
Apakah karakter personalitas Biden yang pasifis dan multikulturalis akan benar-benar, pertama, menghadirkan wajah baru Amerika Serikat yang lebih bersahabat dan, kedua, memberikan sumbangan bagi lahirnya tata dunia baru yang lebih aman dan damai? Kita tunggu saja.
Trias Kuncahyono, Wartawan Senior.