Agama Ageming Aji
Agama semestinya dipakai oleh penguasa untuk mendidik pekerti luhur dan mengajarkan perilaku mulia, bukannya membodohkan, merusak jiwa, menumpulkan nurani, dan menyesatkan keyakinan rakyatnya sendiri.
Menghindarkan diri dari angkara
Sebab ingin mendidik putera
Dalam bentuk keindahan syair
Dihias agar tampak indah
Agar menumbuhkan jiwa dan ilmu luhur
Yang berlaku di tanah Jawa
Agama itu basana kemuliaan raja
(Serat Wedhatama – Mangkunegara IV)
Syair di atas adalah sepenggal ajaran etika moral dalam Serat Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV (1811-1880). Wedhatama adalah karya sastra dalam bentuk tembang yang terdiri dari 100 bait. Menuntut ilmu (ngelmu) dan mendalami hidup rohani (laku) merupakan suatu rangkaian mutlak yang ditekankan dalam tembang Pucung dalam tulisan (serat) ini (Moertono, 1984).
Kalimat ‘agama itu basana kemuliaan raja’ (agama ageming aji) berarti bahwa agama itu ibarat baju kebesaran bagi seorang raja. Agama adalah sesuatu yang indah dan megah yang hanya layak dikenakan oleh raja yang merepresentasikan seorang berpribadi luhur dan bermartabat mulia. Hal itu dapat diperbandingkan dengan pakaian biasa yang dikenakan oleh rakyat jelata.
Dari syair itu juga terlihat bahwa persoalan agama dibahas dalam konteks perdamaian (menghindari angkara murka), pendidikan (mendidik putera), dan seni (keindahan syair). Dalam kerangka inilah hidup beragama menjadi konstruktif dan kontributif bagi kemajuan peradaban.
Kekuasaan dan agama
Analogi agama ageming aji menyadarkan kita akan betapa seringnya penguasa mempolitisir agama. Penguasa sering mengenakan busana agama untuk mencari aman, mengamankan diri, menyelamatkan diri. Untuk menutup-nutupi tindak korupsinya, untuk menutup-nutupi agar modus-modusnya tak tersingkap, untuk mengalihkan perhatian publik, dan tentunya untuk mendongkrak personal branding, agama dimanfaatkan sebagai tameng dan topeng.
Agama terbukti efektif dalam politik pencitraan.
Dalam hal inilah penguasa memanfaatkan lemahnya daya kritis rakyat. Busana agama yang sama dengan yang dikenakan oleh rakyat seolah sontak membutakan rakyat. Kemunafikan agamawi bahkan memiliki daya hipnotis sehingga rakyat tetap fanatik dengan pemimpinnya hanya karena busana agama yang mempesona itu. Agama terbukti efektif dalam politik pencitraan.
Penguasa menggunakan agama untuk merebut simpati dan menarik dukungan rakyat. Hal itu tampak jelas dalam permainan politik identitas di ajang pesta demokrasi. Menurut Clifford Geertz (1992) agama adalah sistem simbol yang menetapkan suasana hati (mood) dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia.
Inilah yang disebut oleh antropolog Koentjaraningrat (1985) sebagai emosi keagamaan (religious emotion). Penguasa dengan pesona busana agamanya itu mengaduk-aduk emosi keagamaan rakyat sehingga berkobarlah fanatisme dan radikalisme politik massa.
Penguasa menggunakan busana agama untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Dalam hal ini penguasa menggunakan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin keagamaan untuk mencari kesalahan lawan-lawan politiknya. Dicarilah kesalahan-kesalahan yang bisa dinilai sebagai penyelewengan dan penistaan. Politisasi ini semakin mudah dilancarkan manakala lawan politik berbusana agama lain.
Penguasa menggunakan busana agamanya untuk melakukan hegemoni. Hal itu sering terlihat dari taktik-taktik berkoalisi dan strategi-strategi untuk memperkuat jaringan kekuasaan berdasar faktor agama. Penguasa memainkan simbol-simbol luar (fisik) keagamaan tanpa mengkaji kedalaman-kedalaman maknanya supaya proses hegemoni itu mengalami percepatan. Politik bahkan menyebabkan kaum agamawan menjadi sangat pragmatis demi memperbesar dan mengawetkan kekuasaan itu.
Bahkan ada penguasa yang dengan sengaja menggunakan baju agama untuk memprovokasi amarah massa dan merekayasa konflik demi kekuasaan. Sang penulis Serat Wedhatama, Raja Mangkunegara IV memahami akan gejala ini sehingga prinsip "agama ageming aji" dibahas dalam konteks etika dan edukasi untuk menghindari angkara murka.
Menurut Geertz (1992), ajaran-ajaran agama terbungkus dalam ‘pancaran faktualitas’ sehingga suasana hati (mood) dan motivasi keagamaan itu bersifat khas realistis. Itulah sebabnya emosi keagamaan mudah disulut dan orang-orang yang katanya beragama itu bertindak membabi buta atas nama agama.
Kecerdasan ber-agama
Analogi "agama ageming aji" menyiratkan bagaimana seorang raja (penguasa) dituntut cerdas dalam ber-agama. Analogi itu tepat sebab berbusana dalam konteks budaya Jawa menutut multi kecerdasan yang merupakan pertaruhan kualitas diri. Ada pula ungkapan ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana yang berarti bahwa harkat dan martabat seseorang diukur dari perkataan (lathi) dan busananya.
Pertama, kecerdasan intrapersonal. Berbusana dalam budaya Jawa adalah ritual bermawas diri. Busana batik misalnya, bukan sekedar kain bercorak yang indah namun media pembelajaran mandiri. Motif dan ornaman batik tradisional bermakna dan mengandung pesan nilai-nilai luhur yang menuntut pribadi yang mengenakannya memiliki kualitas diri yang berpadanan dengan nilai-nilai itu.
Itulah sebabnya dalam monarki Jawa masa silam pernah dibuat regulasi pemakaian busana motif-motif batik untuk raja, bangsawan, dan rakyat dengan berbasis tuntutan kualitas kepribadian itu (Kusrianto, 2013). Hal itu berbeda dengan tren berbusana batik masa kini yang serba pragmatis.
Batik motif parang yang bermakna pemimpin luhur malah dikenakan oleh para koruptor yang jelas-jelas kotor. Batik motif Sekar Jagad yang bermakna perdamaian malah dikenakan oleh para provokator konflik. Demikian juga dengan hal berbusana agama, seorang pemimpin dituntut introspektif sehingga tidak menjadi serba munafik apalagi menyalahgunakan agama.
Kedua, kecerdasan interpersonal (sosial). Berbusana batik adalah metode untuk merajut harmoni kemasyarakatan, media untuk mengungkapkan rasa simpati, empati, dan dukungan motivasional. Para pelayat mengenakan batik motif Slobok yang bermakna doa agar arwah almarhum/almarhumah diberi kelapangan dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan keiklasan.
Begitu pula dengan busana agama yang dikenakan penguasa semestinya untuk membangun persatuan dan kesatuan, bukan untuk menindas, memecah-belah, dan menghancurkan bangsa.
Ketiga, kecerdasan berbahasa atau berkomunikasi. Bagi seorang raja, busana adalah alat untuk mengajar (media pembelajaran). Paku Buwono IV yang bertahta pada 1788-1820 menciptakan batik motif Semen Rama untuk mengajarkan doktrin-doktrin kepemimpinan Asta Brata kepada putera mahkotanya (Kusrianto, 2013). Doktrin-doktrin itu sendiri diadopsinya dari ajaran Prabu Ramawijaya kepada Raden Gunawan Wibisana dalam kisah pewayangan. Begitu juga dengan busana agama bagi sang raja.
Agama semestinya dipakai oleh penguasa untuk mendidik pekerti luhur dan mengajarkan perilaku mulia, bukannya untuk membodohkan, merusak jiwa, menumpulkan nurani, dan menyesatkan keyakinan rakyatnya sendiri.
(Haryadi Baskoro, Pendiri Yayasan Indonesia Rumah Kebhinnekaan (Inruka), Antropolog-Teolog)