Mesin dan Magi
Federico Campagna, filsuf asal Italia, berargumentasi bahwa manusia dapat diibaratkan sebagai orangtua bagi mesin-mesin teknologisnya, termasuk kecerdasan buatan.

Saras Dewi
Penemuan lukisan satwa di dalam goa di Sulawesi Selatan mengundang kekaguman. Dari penelitian para arkeolog, dinyatakan bahwa lukisan tersebut berumur lebih kurang 45.500 tahun. Lukisan itu menjadi perlambang mengenai dunia yang dialami leluhur kita.
Kita dapat melihat sepintas lalu ke dalam keseharian mereka. Lukisan yang tersembunyi di dalam Goa Leang Tedongnge menjadi jejak tentang kreativitas, imajinasi, serta aspirasi manusia prasejarah.
Cecep Eka Permana, guru besar Arkeologi di UI, mengatakan bahwa lukisan dinding goa itu memiliki napas religi. Lukisan cadas menunjukkan bahwa aktivitas berburu tidak terpisah dari aspek ritualistiknya. Manusia purba hidup secara berkelompok, lukisan-lukisan dinding goa itu menjadi penanda penting tentang ciri komunal itu, mereka melukis untuk mengekspresikan harapan akan keberhasilan dalam perburuan.
Teknik lukis mereka pun sangat memesona. Dari berbagai penemuan karya seni goa di wilayah karst Maros-Pangkep, dapat dipelajari penggunaan oker untuk menghasilkan warna merah alami. Oker dapat dijumpai di bebatuan maupun tanah. Bongkah mineral itu digerus lalu dihaluskan, kemudian dicampur dengan cairan. Menggunakan jari tangan, sapuan itu mengisi dinding dan langit-langit goa.
Berbagai teori dilontarkan para ahli, salah satunya menyatakan para pelukis di masa purba itu diyakini juga sebagai syaman yang memiliki kepekaan terhadap dunia roh. Dalam kondisi kerasukan, mereka melukis untuk mengomunikasikan pesan dari dunia supernatural.
Daya artistik ini menampilkan kecerdasan nenek moyang kita yang meleburkan penggunaan perkakas teknologi sederhana untuk bertahan hidup, dengan dambaan spiritual. Teknologi dalam arti yang esensial tidak saja terbatas pada alat-alat untuk menunjang hidup manusia, tetapi suatu penghayatan intuitif untuk bercengkrama dan menyibak relasi dengan dunia.
Memaknai teknologi
Teknologi berasal dari akar kata bahasa Yunani, yakni techne yang berarti seni. Dengan demikian, teknologi pada hakikatnya dapat menjadi medium untuk meresapi kehidupan ini secara puitis. Akan tetapi, realitas modern tentang teknologi serasa jauh dari pendalaman artistik ini. Teknologi dipahami secara dangkal sehingga menghasilkan benda-benda teknologis yang menyebabkan kekacauan dan keterasingan bagi manusia.
Berbeda dengan pemaknaan teknologi di masa klasik, teknologi di masa modern adalah teknologi yang diperlawankan dengan alam. Teknologi juga muncul sebagai peralatan perpanjangan tangan kuasa ekonomi-kapital semata. Selain itu, penciptaan teknologi sarat dengan ambisi berperang dan keberingasan untuk mendominasi.
Teknologi industri manufaktur menghabisi wilayah hutan terakhir di bumi ini, mengakibatkan kepunahan flora dan fauna, dan menyebabkan kebencanaan ekologis, iklim yang ekstrem seperti banjir dan kekeringan.
Teknologi justru mengaburkan makna relasional antarmanusia. Apakah teknologi telah terlepas dari kendali manusia? Apakah mustahil menghadirkan teknologi yang humanis dan selaras dengan lingkungan hidup?
Belum lama ini, Korea Selatan diramaikan dengan kontroversi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dinamakan Lee Luda. Karakter Lee Luda sangat populer sebagai chatterbot, suatu program komputer yang melayani percakapan. Namun dalam perkembangannya, obrolan dengan Lee Luda mulai menimbulkan keresahan, ia mulai berkata-kata penuh dengan kebencian, merundung orang-orang dengan ujaran yang rasialis dan seksis. Perusahaan yang menciptakan Lee Luda terpaksa menghentikan kecerdasan buatan itu.
Dari manakah asal kebencian yang ditampilkan oleh Lee Luda? Ternyata, kecerdasan buatan ini menyerap data dan mempelajari pola berbahasa dari 10 miliar perbincangan yang lalu-lalang di platform digital. Kecerdasan buatan itu meniru cara berpikir juga berbicara yang didemonstrasikan oleh manusia.
Federico Campagna, seorang filsuf asal Italia, berargumentasi bahwa manusia dapat diibaratkan sebagai orangtua bagi mesin-mesin teknologisnya, termasuk kecerdasan buatan. Sesungguhnya kita memproyeksikan diri kita ke dalam wujud teknologi itu.
Tidak selamanya pandangan tentang mesin itu dikeringkan menjadi sekadar soal yang mekanistik, efisien, dan presisi saja. Dalam beberapa kebudayaan, mesin dan magi berbaur, berjalinan mengisi relung spiritualitas manusia. Menurut pandangan Hindu Bali, mesin atau besi yang digunakan oleh manusia mengendapkan kekuatan gaib.
Itu mengapa mereka merayakan persembahyangan yang disebut dengan Tumpek Landep. Landep yang berarti tajam, dapat dimaknai secara harafiah adalah peralatan semenjak masa kuno, seperti pisau, keris, maupun perlengkapan yang digunakan terkait dengan budaya pertanian.
Secara filosofis, landep juga berarti tajam pikiran, atau tajam pengetahuannya. Meski benda-benda ini tampak biasa saja dalam keseharian kita, orang Bali memercayai bahwa melalui benda-benda ini, manusia dapat menangkap secercah energi semesta yang membawa kesejahteraan.
Serupa juga dalam ide-ide Masahiro Mori, insinyur robotika dari Jepang yang menggabungkan teknik robotika dengan kearifan ajaran Buddhisme. Dalam bukunya berjudul The Buddha in The Robot, ia menegaskan pentingnya bagi manusia untuk mengenali dirinya sendiri sebelum terburu-buru membuat teknologi.
Penelusuran ini mendasar untuk dilakukan sehingga ia dapat merenungkan dampak yang dihasilkan melalui ciptaannya. Teknologi dalam gagasan Mori bukan soal kebebasan yang egois. Melampaui itu, teknologi sewajarnya digunakan untuk mencapai pencerahan, yakni harmonisasi manusia menyatu dengan lingkungan hidupnya.
Apakah masa depan teknologi manusia? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menjejakkan bahwa teknologi adalah pantulan dari manusia tersebut. Oleh karena itu, kita perlu mencermati dengan kritis, sebab manusia tidak luput dari cela. Ketidaksempurnaan itu juga muncul dalam kreasi mesin-mesinnya.
Sougwen Chung, pelukis yang berkolaborasi dengan robot dalam menciptakan karya seni, menyadari bahwa manusia dan mesin sama-sama tidak sempurna. Walau demikian, kolaborasi itu indah adanya.
Pada segi lainnya, sebagai cerminan dari manusia, teknologi merupakan kesempatan penjelajahan tentang yang indah, bijaksana, dan anggun dari manusia.