Indonesia, Negara Sejuta Bencana
Selain membangun kesadaran kritis masyarakat dan pemerintah atas msalah bencana, dalam manajemen bencna penting pula melakukan sosialisasi kehati-hatian, terutama pada daerah rawan bencana.
Memasuki awal tahun 2021, di Indonesia dihadapkan pada empat bencana besar yang merenggut banyak nyawa manusia. Mulai dari tanah longsor di Sumedang (Jawa Barat), gempa bumi di Majene (Sulawesi Barat), banjir di Kalimantan Selatan, sampai letusan gunung.
Dua gunung di Pulau Jawa, yaitu Gunung Merapi dan Gunung Semeru, menunjukkan geliatnya dalam waktu bersamaan. Bahkan, gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut mengeluarkan abu vulkanik dan awan panas. Belum terhitung banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah.
Indonesia memang menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia, berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi.
Dengan posisi geografis yang terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia: Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, Indonesia memang tidak banyak bisa mengelak. Potensi bencana di Indonesia terletak di daerah sabuk api atau yang dikenal dengan ring of fire, di mana 187 gunung api berderet dari barat ke timur. Indonesia berada pada daerah yang ditandai dengan gejolak cuaca dan fluktuasi iklim dinamis yang menyebabkan Indonesia rawan bencana alam kebumian, seperti badai, topan, siklon tropis, serta banjir.
Dalam kenyataannya, dunia tempat kita tinggal tidak pernah lepas dari bencana.
Boleh dikatakan, bencana telah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Sebagian bencana dapat diprediksi sebelumnya, kapan kemunculan dan intensitasnya. Namun, sebagian besar datang secara tiba-tiba dan tanpa dapat diduga sebelumnya. Hal yang terakhir ini sering kali menimbulkan banyak korban, kerusakan, dan kehilangan harta benda. Dalam kenyataannya, dunia tempat kita tinggal tidak pernah lepas dari bencana.
Bencana bukan merupakan fenomena yang baru bagi manusia penghuni bumi ini. Boleh dikatakan, bencana telah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Sebagian bencana dapat diprediksi sebelumnya, kapan kemunculan dan intensitasnya. Namun, sebagian besar datang secara tiba-tiba dan tanpa dapat diduga sebelumnya. Hal yang terakhir ini sering kali menimbulkan banyak korban, kerusakan, dan kehilangan harta benda.
Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan banyak pembelajaran bagi masyarakat Indonesia dan dunia bahwa banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam musibah tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam mengantisipasi bencana.
Di samping itu, kejadian-kejadian bencana tersebut pun semakin menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengaturan dalam penanggulangan bencana. Pengalaman terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias (Sumatera Utara) tahun 2004 telah membuka wawasan pengetahuan di Indonesia dan bahkan di dunia. Kejadian tersebut mengubah paradigma manajemen penanggulangan bencana dari yang bersifat tanggap darurat menjadi paradigma pencegahan dan pengurangan risiko bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan pada berbagai tahapan kegiatan dan intervensi, yang berpedoman pada kebijakan pemerintah, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah terkait lainnya.
Pentingnya pemahaman mengenai manajemen bencana akan menjadi landasan atau dasar dalam mengembangkan intervensi pengurangan risiko bencana dalam penanggulangan bencana. Tidak dapat dimungkiri bahwa hal ini akibat krisis lingkungan global.
Krisis lingkungan global yang kita alami saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Hal tersebut menyebabkan kesalahan pada pola perilaku manusia yang bersumber dari kesalahan cara pandang tersebut.
Rawan bencana
Bagi masyarakat Indonesia, memahami bencana ini semakin penting, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat rentan terhadap bencana. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak pada garis khatulistiwa, pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra. Demikian pula berada pada wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, yang rawan terhadap bencana alam yang cukup tinggi.
Indonesia berada di atas lempeng benua yang aktif, dengan deretan gunung api yang sangat aktif, yang disebut ring of fire. Kerentanan Indonesia terhadap bencana alam dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, geografi, geologi, hidro-meteorologi, demografi, tata lahan, serta lingkungan hidup.
Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi.
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa apabila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Menduduki peringkat ketiga untuk ancaman gempa serta keenam untuk banjir.
Meskipun demikian, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara lain, kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukan karena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya.
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik (menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response).
Selanjutnya paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun nonstruktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana, dan upaya membangun kesiap-siagaan.
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Krisis lingkungan global yang kita alami saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Hal tersebut menyebabkan kesalahan pada pola perilaku manusia yang bersumber dari kesalahan cara pandang tersebut.
Pengurangan risiko bencana
Di Indonesia, bencana sering terjadi, khususnya bencana alam, meskipun bencana akibat ulah manusia juga selalu mengancam. Sebagian bencana alam pun terjadi akibat ulah manusia. Di samping kehancuran, juga mengakibatkan penderitaan moral dan material.
Banyak hal yang perlu dibenahi dalam penanggulangan bencana tersebut.
Banyak hal yang perlu dibenahi dalam penanggulangan bencana tersebut. Karena itulah, diperlukan manajemen bencana (disaster management), agar bencana dapat terkelola dengan baik. Perlu disadari bahwa pendidikan dan pengetahuan mengenai bencana masih sangat kurang.
Kondisi geografis, geologis, dan sebagainya menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan ”negara sejuta bencana”.
Di Indonesia, bencana sering terjadi, khususnya bencana alam, meskipun bencana akibat ulah manusia juga selalu mengancam. Sebagian bencana alam pun terjadi akibat ulah manusia. Di samping kehancuran, juga mengakibatkan penderitaan moral dan material.
Definisi bencana seperti dipaparkan di atas mengandung tiga aspek dasar, yaitu: (1) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard), (2) Peristiwa atau gangguan yang mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat, serta (3) Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.
Pertanyaan yang sangat mendasar, mengapa perlu manajemen bencana? Dengan memahami manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan masyarakat, kita berharap berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Karena itu, terpenting dari manajemen bencana ini adalah adanya suatu langkah konkret dalam mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita harapan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat sehingga upaya untuk pemulihan pascabencana dapat dilakukan dengan secepatnya.
Pengendalian tersebut dimulai dengan membangun kesadaran kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang berbentuk peraturan negara dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Tidak kalah penting dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian, terutama pada daerah rawan bencana.
Pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisis dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana. Dalam hal ini meliputi disiplin seperti manajemen bencana, mitigasi bencana dan kesiapsiagaan bencana.
Tujuan utamanya untuk mengurangi risiko fatal di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan alam serta penyebab pemicu bencana. Mengurangi paparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan manusia dan properti, manajemen yang tepat terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan, serta meningkatkan kesiapan terhadap dampak bencana merupakan contoh pengurangan risiko bencana.
(Anies
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Dosen Manajemen Bencana Universitas Diponegoro)