Tantangan Biden Menata Amerika dan Dunia
Presiden Biden perlu segera membawa kembali Amerika di kancah internasional dan mengembalikan keyakinan dunia pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia serta menanggalkan jinggoisme ke-Amerika-an yang banal era Trump.
Drama pendudukan Gedung Capitol oleh pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump, satu serangan pada simbol demokrasi Amerika Serikat, hanya berlangsung sekitar empat jam. Kongres segera bisa melanjutkan proses pengesahan penghitungan electoral vote dan mengesahkan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden baru AS.
Upaya Donald Trump ”mengudeta” demokrasi AS langsung mendapat reaksi balik. Pemimpin dunia satu suara mengecam aksi kerusuhan tersebut. Facebook, Twitter, dan Instagram memblokir akun resmi Trump yang ia pakai untuk memprovokasi pendukungnya.
Sejumlah pemimpin Partai Republik bahkan mengusulkan penggunaan amendemen konstitusi ke-25 untuk mengganti Trump dengan Wakil Presiden Mike Pence. Trump dinilai gagal menggunakan kewenangan dan menjalankan tugas, bahkan menjadi ancaman keamanan nasional dan ketertiban umum.
Baca juga: Joe Biden dan Kembalinya Demokrasi
Kerusuhan di Capitol terbukti hanya ombak kecil yang tidak berarti untuk bisa menggoyang kapal demokrasi Amerika yang kokoh melaju. Banyak yang menilai politik Amerika empat tahun terakhir seperti negara dunia ketiga, ”Republik Pisang”. Penilaian yang tidak terlalu valid, Amerika memang dipimpin demagog yang tidak kompeten, tetapi demokrasinya masih cukup solid. Terpilihnya Joe Biden menunjukkan soliditas itu.
Tugas awal yang cukup berat bagi Biden yang utama adalah mengembalikan image demokrasi dan peran kepemimpinan Amerika empat tahun ke depan. Ada dua hal yang dihadapi Biden terkait situasi Amerika dan dunia. Pertama, apa yang ia warisi dari Trump; kedua, apa yang perlu ia lakukan ke depan dalam menghadapi tatanan dunia yang berubah.
Tugas awal yang cukup berat bagi Biden yang utama adalah mengembalikan image demokrasi dan peran kepemimpinan Amerika empat tahun ke depan.
Menganulir warisan
Donald Trump mewariskan lebih dari 370.000 warga Amerika meninggal dan 22 juta lebih orang terinfeksi Covid-19, jumlah tertinggi di seluruh dunia. Hampir 3 juta warga kehilangan asuransi kesehatan karena ia secara sepihak membatalkan Obamacare.
Indeks Freedom House untuk penghargaan hak asasi dan demokrasi merosot di era Trump. Amerika yang negara para imigran menjadi negara anti-imigran dan menolak pengungsi. Trump mengibarkan perang dagang dengan China dan sejumlah negara Uni Eropa serta bermain mata secara politis dengan Rusia dan Korea Utara.
Baca juga: Era Joe Biden dan Indonesia
Menurut majalah The Atlantic (edisi Januari-Februari 2021), Trump membatalkan sedikitnya 80 aturan terkait pelestarian lingkungan. Trump menarik keanggotaan AS dari 13 macam kesepakatan, perjanjian, dan organisasi internasional. Ia meningkatkan jumlah utang 7 triliun dollar AS, defisit perdagangan 600 miliar dollar AS pada 2020.
Namun, warisan Trump yang paling merusak, menurut The Atlantic, adalah 25.000 pernyataan ngawur dan menyesatkan yang ia sebarkan melalui media sosial dan dalam berbagai forum. Pernyataannya telah meracuni pikiran banyak warga Amerika.
Biden perlu bergerak cepat untuk memulihkan martabat Amerika yang babak belur dalam empat tahun di bawah Trump. Mengembalikan marwah lembaga negara pada level domestik dan kerja diplomasi untuk relasi internasional. Mengembalikan sikap kepatutan berpolitik dan menambal relasi yang terkoyak dengan negara-negara sekutu tradisional.
Program mendesak 100 hari pertama Presiden Biden adalah bergabung dan berkomitmen kembali dengan berbagai perjanjian dan kesepakatan multilateral. Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim (Paris Accord on Climate Change), misalnya. Mengembalikan isu pemanasan global menjadi salah satu agenda utama pemerintahannya. Juga mengembalikan hubungan baik dengan sejumlah organisasi dunia, teristimewa dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk bersama-sama dengan banyak bangsa di dunia menghentikan wabah Covid-19.
Baca juga: Optimisme dari Tim Biden
Yang tidak kalah penting, Biden perlu mengembalikan kepemimpinan Amerika sebagai negara kampiun demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Satu tradisi ”politik peduli” Amerika yang lenyap di era Trump. Peran kepemimpinan dalam dunia era multipolar, tanpa perlu merasa menjadi ”bos dunia bebas”, sebagaimana lagak Amerika pasca-Perang Dingin.
Biden perlu menghentikan perang dagang yang dikobarkan Trump terhadap China, setidaknya membuat kesepakatan gencatan perang tarif, termasuk perseteruan soal jaringan internet 5G. Pendekatan zero-sum-trade Trump melalui pengenaan tarif perdagangan, yang membuat ekonomi biaya tinggi, pada negara pesaing ataupun sekutu perlu dicabut.
Dunia era 2021-2025 yang dihadapi Biden adalah dunia yang berubah pesat akibat inovasi sains dan teknologi.
Tidak semua warisan Trump buruk tentu. Fokus Trump pada urusan domestik, ”Make America Great Again” (MAGA) sedikitnya membantu menurunkan syahwat perang Amerika. Kegetolan melakukan intervensi politik dan memicu konflik di berbagai belahan dunia agak surut di era Trump. Ini mungkin satu-satunya warisan yang perlu dilanjut, membantu geopolitik dunia lebih adem.
Amerika vs China
Dunia era 2021-2025 yang dihadapi Biden adalah dunia yang berubah pesat akibat inovasi sains dan teknologi. Amerika de facto sendirian memimpin dunia untuk urusan politik dan ekonomi dunia pada era 2000-2015. Namun, 10 tahun terakhir, China menggerogoti kedigdayaan Amerika untuk urusan ekonomi, dengan mengintroduksi Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), yang semula bernama Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR).
Pada saat Trump memilih pendekatan ”America First”, sibuk mengintroduksi perang tarif, membangun dinding perbatasan, dan menghalau imigran, China semakin percaya diri berhasil mengukuhkan dominasi ekonominya di dunia melalui visi, kompetensi, dan keahlian. China melakukan investasi kolosal dalam bidang infrastruktur, membuka era baru perdagangan serta pertumbuhan ekonomi di Asia, Afrika, dan kawasan sekitarnya.
Baca juga: Ketegangan AS-China dan Jebakan Thucydides
China, ada yang menilai, sedang menaruh ”jebakan utang” kepada negara-negara yang terpukau dengan kemajuan pembangunan infrastrukturnya. Inisiatif BRI dengan menghidupkan kembali ”Jalur Sutra”, yang menghubungkan Asia Timur dengan Eropa, adalah skenario untuk menjerat negara-negara partisipan (termasuk Indonesia).
Negara mana yang tidak tertarik dengan tawaran membangun jaringan jalur kereta, pipa saluran energi, jalan raya, dan pembukaan wilayah lintas perbatasan yang dijanjikan akan menghidupkan ekonomi.
Proyek ambisius BRI yang diluncurkan Presiden Xi Jinping, pada 2013, adalah upaya ekspansi pengaruh politik dan ekonomi China. Visi yang bakal memperkokoh nilai ekspor China dan mata uang renminbi.
Satu pendekatan yang Amerika tergagap untuk bisa menyaingi, jangan pula menandingi. Amerika, karena ketiadaan visi, cuma bisa waswas melihat strategi ”ekspor infrastruktur” China dan tidak bisa berbuat banyak untuk menahan laju ekspansi pengaruh China karena tidak memiliki tawaran alternatif yang menarik.
Baca juga: Menanti Perang Berakhir
Satu-satunya inisiatif Amerika, yang tidak sepenuhnya bisa disejajarkan dengan visi BRI China, adalah kesepakatan Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP). Satu kesepakatan perdagangan multilateral Amerika dengan 12 negara, dari Australia, Meksiko, sampai Vietnam, yang dideklarasikan pada 2016 oleh Trump.
Namun, inisiatif ini tak berjalan karena justru Amerika sendiri yang menolak meratifikasi pada 2017. Kesepakatan perdagangan ini diniatkan untuk mengurangi ketergantungan negara anggota TPP kepada China dan beralih ke Amerika.
China semakin terlihat menjadi ancaman nyata pada demokrasi dan kebebasan, sebagaimana ancaman Uni Soviet pada era Perang Dingin.
Tatanan dunia baru
Bangkitnya pengaruh kekuatan otokrasi politik dan ekonomi China, sepuluh tahun terakhir, berjalan seiring stagnasi demokrasi di berbagai belahan dunia. Demokrasi dan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) mulai dipertanyakan.
Otoritarian-meritokrasi model China berbarengan dengan kemajuan teknologi digital dalam mengontrol dan mengawasi warganya (melalui digital surveillance).
Penerapan sistem ”kredit sosial” untuk memaksakan kepatuhan warga terbukti efektif di China. Negara sebagai big brother, mengawasi perilaku warga, pastilah menarik untuk diadopsi oleh negara yang elite politiknya letih dengan ”kekacauan” demokrasi dan kebebasan.
China semakin terlihat menjadi ancaman nyata pada demokrasi dan kebebasan, sebagaimana ancaman Uni Soviet pada era Perang Dingin. Namun, China akan jauh lebih efisien karena tidak menggunakan senjata atau revolusi sosial. China memenangi pengaruh dengan menawarkan pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dan pinjaman modal. China juga tidak menawarkan ideologi komunis yang perlu ditakuti, sebaliknya justru menawarkan kapitalisme negara.
Amerika pasca-Perang Dingin kerap dikritik terlalu getol ”mengekspor demokrasi” ke seluruh dunia. Henry Kissinger dalam bukunya, Diplomacy (1994), menilai kebijakan luar negeri Amerika yang ”sok” menegakkan nilai-nilai ketimbang kepentingan (values over interest) merugikan Amerika sendiri. Apalagi ”Perang Salib” Amerika pasca-Perang Dunia II, untuk mengekspor demokrasi liberal, tidak selalu berakhir baik—berhasil di Jerman Barat dan Jepang, tetapi amburadul di Kuba, Haiti, Somalia, atau Vietnam.
Kekuatan Amerika jelas bukan lagi pada keperkasaan militernya. Demokrasi dan kebebasan tidak bisa dipaksakan. Pendekatan soft-power perlu lebih dikedepankan dalam menyebarkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Presiden Biden perlu segera membawa kembali Amerika di kancah internasional serta mengembalikan keyakinan dunia pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Mengonter pengaruh China di dunia dengan cara mendukung kedaulatan tiap-tiap negara, bukan dengan mengajak memilih berkubu pro-China atau pro-Amerika, melainkan dengan menanamkan nilai-nilai kompetisi yang bebas dan adil, taat asas hukum, serta demokratisasi. Amerika perlu mempromosikannya melalui keunggulan sains dan teknologi, inovasi korporasi, serta budaya inklusif-kosmopolitannya. Dan, menanggalkan jinggoisme ke-Amerika-an yang banal era Trump.
Lukas Luwarso, Hubert Humphrey Fellow, Universitas Maryland, 2005-2006.