Meskipun bangsa ini mengaku sebagai bangsa bahari, bahkan nenek moyangnya adalah orang pelaut, sudah sejak lama lautan negeri ini disinggahi dan dijarah oleh kekuatan asing.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Jalesveva Jayamahe. Di lautan kita jaya. Moto TNI Angkatan Laut itu diambil dari semangat armada laut Majapahit yang menguasai lautan Nusantara pada masa lalu.
Namun, harus diakui, kini tidak mudah mewujudkan semboyan itu di lautan kita. Meskipun bangsa ini mengaku sebagai bangsa bahari, bahkan nenek moyangnya adalah orang pelaut, sudah sejak lama lautan negeri ini disinggahi dan dijarah oleh kekuatan asing. Kerugian negara ini akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing setiap tahun tak kurang dari 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 282,56 triliun.
Nelayan asing, terutama dari Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, dan China, pernah merasa jeri untuk memasuki perairan Indonesia, terutama di zona ekonomi eksklusif (ZEE), yakni 200 mil laut dari garis dasar pantai. Aturan ZEE, diakui oleh hampir semua negara di dunia, tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Pada masa pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo, periode 2014-2019, tak kurang dari 558 kapal nelayan asing ditenggelamkan. Saat itu penenggelaman dipilih oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Penangkapan dan penenggelaman kapal nelayan asing saat itu memang menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Namun, nelayan Indonesia merasa dilindungi dan diberi kesempatan tumbuh. Dari sisi sarana, nelayan Indonesia tertinggal jauh dari nelayan asing, yang tak jarang dikawal aparat militernya. Kapal nelayan di Natuna, Kepulauan Riau, yang perairannya sering kali dimasuki nelayan asing, hanya memakai kapal kayu berbobot 3-7 gros ton (GT), dengan alat pancing saat mencari ikan. Sebaliknya, kapal berbendera Vietnam atau China yang mengambil ikan di kawasan itu berbobot 30-100 GT dan memakai jaring pukat harimau.
Desember 2019, saat sebagian penyelenggara negara berganti, sejumlah nelayan dari China pun secara tanpa izin memasuki wilayah Indonesia. Mereka bisa diusir. Januari 2020, lagi-lagi puluhan kapal nelayan China memasuki laut Natuna Utara dengan kawalan kapal penjaga pantai. Kembali mereka dapat diusir. Nelayan asing pun tahun lalu berulang kali memasuki perairan Nusantara dan mencuri ikan. Januari tahun ini, kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) menghalau kapal pengawas perikanan Vietnam di Laut Natuna (Kompas.id, 17/1/2021).
Selain pencurian ikan, awal tahun ini di lautan kita juga ditemukan wahana nirawak (drone), sea glider asing. Temuan ini bukanlah yang pertama. Tahun 2019 dan 2020 ditemukan sea glider asing oleh nelayan yang mengindikasikan ada persoalan dengan keamanan laut kita. Persoalan laut kita bertambah lagi dengan klaim sepihak China atas sebagian wilayah ZEE dan sengketa perbatasan di Ambalat dengan Malaysia.
Tentu Indonesia tidak bisa hanya reaktif menghadapi persoalan di lautan negeri ini. Perlu langkah nyata dan terencana, yang menunjukkan eksistensi bangsa ini di perairannya sendiri. Cukuplah Sipadan dan Ligitan yang lepas tahun 2002.