Jangan Manja dengan Rasa, Kembali ke Tempe Koro Saja
Masyarakat jangan manja soal rasa tempe, kembali produksi tempe koro saja untuk mengatasi ketergantungan pada kedelai impor. Bila seluruh kabupaten berpartisipasi, masing-masing hanya perlu menanami 700 ha kacang koro.
Baru saja beredar di media sosial, saking kesal presiden tak kuasa menahan kecewa atas kinerja pembangunan pertanian yang tidak juga kunjung membaik. Impor gandum, kedelai bawang putih tak juga berkurang. Presiden kesal karena berbagai program swasembada pangan belum membuahkan hasil. Triliunan rupiah telah digelontorkan untuk subsidi pupuk, sama sekali tidak efektif.
Menurut data Global Food Security Index (2019), ketahanan pangan Indonesia kini di bawah Ghana dan Botswana, dua negara di Afrika. FAO berulang kali mengingatkan ketersediaan pangan terancam oleh pandemi Covid-19.
Kekecewaan presiden dipicu kejadian akhir-akhir ini. Ribuan perajin tempe tak kuasa menahan diri berunjuk rasa mogok produksi. Tahun baru kali ini sangat menyesakkan bagi mereka, bagaimana tidak? Harga kedelai melonjak hampir 35 persen, menambah beban di tengah impitan pandemi. Naiknya harga kedelai ditengarai akibat produksi kedelai Argentina dan Brasil turun terganggu La Nina. Sementara itu, 60 persen kedelai Amerika diborong China.
Para perajin tempe sebenarnya paham dan tidak banyak berharap dari aksi demo yang dilakukan. Volume impor kedelai Indonesia hanya 1,6 persen dari total perdagangan global, terlalu kecil untuk diperhatikan produsen. Seperti diduga, kali ini pemerintah memilih tidak mengintervensi harga. Alasan klasik; ”produktivitas kedelai petani rendah, daya saing rendah, petani tidak bergairah tanam. Solusinya, jangka pendek impor, jangka menengah diversifikasi, jangka panjang riset untuk menghasilkan inovasi teknologi”. Ini sudah biasa terdengar setiap kali lonjakan harga pangan terjadi.
Sebenarnya, melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2015, upaya khusus peningkatan produksi kedelai telah dicanangkan bersamaan dengan padi dan jagung (program Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai/Upsus Pajale). Saat program dicanangkan, produksi kedelai nasional telah mencapai 960.000 ton. Ironisnya, produksi malah terus menurun, hanya 540.000 ton tahun 2017.
Kedelai adalah tanaman subtropis, diintroduksi ke Indonesia sekitar awal abad ke-18. Tidak heran sulit sekali mencapai 1,5 ton per ha, target rata-rata produktivitas nasional. Di Amerika, produktivitas kedelai sudah di atas 4 ton per ha. Impor kedelai terus meningkat, tahun lalu mencapai rekor tertinggi, 2,7 juta ton.
Efektivitas Upsus Pajale wajar dipertanyakan. Bukan hanya kepada pemerintah, DPR—khususnya Komisi IV, mitra kerja Kementerian Pertanian—tidak bisa berlepas tangan. Mengapa? Sebelum disetujui, usulan program diajukan pemerintah ke DPR, tentu telah dikaji dengan saksama. Artinya, DPR memahami peluang berhasil dan gagalnya program, termasuk menilai kewajaran anggaran yang diajukan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kini harus lebih kritis, kriteria penilaian bukan hanya kelengkapan administrasi, keberhasilan program harus diutamakan. Kinerja pemerintah harus dibuktikan dengan seberapa besar tujuan dan target program dicapai sesuai usulan yang diajukan.
Dua kesalahan
Sejarah sukses kedelai impor sehingga mampu mendominasi bahan baku tempe mengikuti pola mulus derasnya impor gandum. Ini bermula ketika Indonesia mengalami krisis pangan pada awal era Orde Baru. Setidaknya dua kesalahan pemerintah saat itu menjadi benih penyebab kronisnya ketahanan pangan kita hingga kini.
Pertama, tergoda iming-iming pinjaman (baca: perangkap) lunak, pemerintah lebih memilih membuka lebar impor gandum sebagai solusi instan jangka pendek, disertai subsidi sehingga harga terigu menjadi murah (JF Fabiosa: Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia, 2006).
Kedua, pemerintah memilih mengandalkan pengusaha, memberinya hak dan kemudahan mengimpor gandum untuk mempercepat pengadaan bahan pangan saat itu. Petani dan bahan pangan lokal diadu head to head dengan produk impor tanpa proteksi (baca: keberpihakan) pemerintah. Petani dan produk lokal kalah bersaing, keduanya perlahan menghilang termarjinalkan. Mulai saat itu, pengadaan pangan seolah beralih menjadi tanggung jawab swasta.
Dalam kasus kedelai, awalnya impor digagas Bulog akhir dekade 1970-an. Saat itu kedelai impor didistribusikan melalui koperasi produsen tahu tempe Indonesia (Kopti). Menjadi salah satu persyaratan mendapat bantuan IMF saat krisis ekonomi tahun 1998, batasan itu harus dilepas. Sejak itu siapa pun bisa mengimpor kedelai dan bebas menjualnya.
Bukan hanya pemerintah yang terbuai oleh mudah, murah, dan manisnya impor kedelai. Masyarakat pun demikian, cita rasa tempe kedelai impor telanjur meresap, mengakar begitu dalam pada aneka menu keseharian. Konsumsi kedelai meningkat cepat dari 5,8 kg per kapita pada 1976 menjadi 8,4 kg tahun 2012.
Kata ”tempe” tercatat dalam Serat Centini yang ditulis pada tahun 1815, berisi cerita dan kisah pada zaman Mataram sekitar awal abad ke-17. Tempe digambarkan sebagai makanan terbuat dari dele (kacang hitam). Kosakata ”tempe” juga ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda terbitan tahun 1785. Hingga kini, tempe benguk, prototipe tempe tempo dulu dijumpai di Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, kacang koro benguk (Mucuna), dan koro pedang (Canavalia ensiformis) luput dari perhatian.
Kacang koro sebagai alternatif
Kacang koro pedang menjadi kandidat terbaik substitusi kedelai. Kandungan nutrisinya menyerupai kedelai; protein 27-32 persen, karbohidrat 60-63 persen, dan lemak 2,4 persen. Selain tempe, koro pedang bisa dibuat filler abon, bakso, dan nugget, bahkan tepung koro dibuat aneka kue kering. Mirip seperti susu kedelai, susu koro adalah minuman sehat bergizi. Bungkil koro pedang banyak diteliti menjadi pengganti dan substitusi bungkil kedelai pada industri pakan ternak.
Koro pedang tumbuh di berbagai wilayah Indonesia. Tumbuh baik dari ketinggian 40 hingga 1.800 di atas permukaan laut, optimal pada curah hujan 700-4.000 mm, tetapi tahan di musim kering. Akar koro pedang mampu memfiksasi nitrogen, bersimbiosis dengan bakteri di dalam tanah sehingga banyak ditanam sebagai pupuk hijau (green manure).
Kacang koro optimal dengan penyinaran matahari penuh, tapi tumbuh di bawah naungan, cocok tumpang sari dengan singkong atau tanaman perkebunan seperti sengon dan kopi. Koro pedang banyak ditanam di lahan pekarangan, tegalan, dan gunung di antara bebatuan kapur dan lahan berpasir. Dengan menerapkan pertanian intensif produktivitas kacang koro bisa mencapai 8 ton per ha. Pada petani, produktivitas berkisar 4-5 ton per ha, jauh di atas produktivitas kedelai lokal.
Bila serius membangun pertanian, kesalahan kebijakan pangan saatnya dikoreksi. Kebijakan pertanian harus melihat ke dalam mengedepankan sumber daya internal, mengacu padda teori Indigenous Growth Model-nya Paul Rommer, penerima Nobel ekonomi tahun 2018. Implementasinya, pertama, membangun sumber daya manusia (SDM). Petani harus diberdayakan menjadi motor, pemilik, pelaksana, dan penentu keberhasilan. Petani harus dididik menjadi manusia bermental mandiri; jujur, disiplin, berwawasan luas, bekerja keras, siap dengan semangat berkompetisi.
Kebijakan bantuan materi terus-menerus seperti subsidi pupuk terbukti tidak efektif, menjerumuskan petani menjadi bermental pengemis. Demikian pula SDM pemerintah. Kecenderungan memilih jalan pintas, solusi instan jangka pendek, seperti memudahkan impor apa pun alasannya harus segera dihentikan. Terlalu sering petani mengeluh; ”saat panen raya tiba impor malah mengalir deras”. Bila benar mewakili rakyat, DPR harus menjamin ini tidak terjadi lagi.
Implementasi kedua, mengutamakan potensi sumber daya dan kekayaan alam (SDA), serta sumber daya sosial (SDS), termasuk budaya, inovasi, dan kearifan lokal. Tempe koro adalah produk bioteknologi pangan berbahan baku lokal warisan leluhur. Dari tempe koro cara pengolahan bahan pangan lainnya bisa dikembangkan menjadi penggerak sumber daya ekonomi (SDE) di masyarakat.
Bukan hanya Indonesia, Jepang juga mengalami gencarnya serangan budaya dan pangan luar. Namun, Pemerintah Jepang waspada, segera (tahun 2005) meluncurkan Shokuiku, program food and nutrition education/ promotion. Shokuiku menanamkan pemahaman berbagai aspek makanan; bahan, sumber, nilai nutrisi, cara mengolah dan memproduksi aneka bahan pangan berbasis budaya dan kearifan Jepang. Shokuiku diterapkan secara nasional, dijadikan kurikulum dan dipraktikkan di sekolah-sekolah. Shokuiku tidak hanya berhasil menahan pengaruh barat, tetapi juga menguatkan tradisi dan budaya kuliner tradisional Jepang.
Petani kita sudah terbukti pekerja keras, masyarakat cukup kreatif mengolah aneka pangan. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian telah banyak melakukan riset, termasuk pemanfaatan kacang koro. Food estate berbasis korporasi usaha tani modern pro-rakyat, yang sedang dikembangkan pemerintah, harus menjadi contoh upaya kemandirian tempe. Bila seluruh kabupaten berpartisipasi, masing-masing hanya perlu menanami 1400 ha kacang koro. Masyarakat jangan manja soal rasa, kembali tempe koro saja.
(Agus Somamihardja; Penggerak Kemandirian Pangan, Mantan Anggota Komisi Teknis Pangan dan Pertanian Dewan Riset Nasional 2019-2020)