Sebaiknya tidak ”ujug-ujug” membeli saham jika ingin selamat di belantara investasi. Apalagi kalau modalnya didapat dengan cara berutang dan keputusan investasinya hanya bermodalkan informasi dari media sosial.
Oleh
Joice Tauris Santi
·3 menit baca
Akhir pekan lalu beredar tangkapan layar percakapan yang cukup mengejutkan di kalangan para investor saham ritel. Intinya, ada seorang investor membeli saham ABCD yang modalnya diperoleh dari hasil berutang kepada 10 peminjam daring senilai hampir Rp 200 juta. Sialnya, setelah membeli saham itu, harga sahamnya melorot.
Memang, saham ABCD sempat naik dalam satu pekan terakhir ini. Saham itu juga disebut-sebut di sosial media. Dalam sekejap, investor tersebut merugi karena penurunan harga saham. Ia juga harus segera membayar cicilan utangnya di pinjaman online dengan bunga tinggi.
Idealnya, dana yang digunakan untuk berinvestasi adalah uang ”dingin” atau uang nganggur. Bukan uang yang digunakan untuk jatah konsumsi sehari-hari, apalagi uang hasil berutang.
Uang nganggur diperoleh dengan terlebih dulu memiliki arus kas positif. Artinya, uang masuk lebih banyak daripada uang keluar. Misal, pendapatan Rp 10 juta dan pengeluaran hanya Rp 8 juta. Sisa dana sebesar Rp 2 juta inilah yang disebut uang menganggur.
Apakah bisa langsung diinvestasikan? Tunggu dulu. Investasi idealnya dilakukan setelah kita memiliki dana darurat dan asuransi. Dana darurat berfungsi menutupi jika ada pengeluaran mendadak. Besarnya 3-12 bulan pengeluaran, tergantung dari jumlah anggota keluarga.
Dana darurat juga diperoleh dari dana yang disisihkan dan tidak digunakan untuk konsumsi. Setelah dana darurat mencukupi, tibalah saatnya membangun proteksi melalui polis asuransi jiwa. Uang pertanggungan dari asuransi ini dapat digunakan jika pencari nafkah utama tidak dapat bekerja lagi sehingga keluarga masih menerima penghasilan.
Dana darurat dan proteksi sudah ada, barulah langkah selanjutnya melakukan investasi. Ada bermacam-macam investasi. Dilihat dari durasinya, ada investasi jangka pendek hingga jangka panjang yang durasinya hingga puluhan tahun. Dapat pula dilihat dari risikonya, yakni investasi berisiko rendah dan tinggi.
Investasi jangka pendek adalah investasi yang berdurasi di bawah satu tahun. Instrumennya bisa saja deposito atau reksa dana pasar uang. Risiko instrumen investasi jangka pendek ini paling rendah dibandingkan dengan jenis instrumen lainnya. Imbal hasilnya pun rendah dibandingkan dengan instrumen investasi berisiko tinggi.
Investasi jangka menengah berdurasi satu tahun hingga lima tahun. Instrumennya, antara lain, adalah obligasi ritel, obligasi seri fixed rate berjangka menengah, dan reksa dana terproteksi. Investasi jangka panjang biasanya lebih dari lima tahun.
Instrumennya, antara lain, reksa dana saham, obligasi jangka panjang, investasi pada perusahaan peer to peer landing, investasi pada perusahaan urun dana, properti, mata uang kripto, valuta asing dan lainnya.
Risiko instrumen investasi ini biasanya memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen investasi lainnya, baik karena fluktuasi harga maupun likuiditas. Dengan risiko tinggi, potensi imbal hasilnya pun tinggi.
Jadi, pemilihan instrumen investasi pun sebaiknya sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan. Sama seperti sekolah, investasi pun sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Memahami instrumen investasi berisiko rendah dan berjangka pendek terlebih dulu jauh lebih baik ketimbang berinvestasi ke instrumen berisiko tinggi.
Misalnya, mengenal dunia investasi dengan membeli reksa dana pasar uang. Lalu, setelah paham dan merasa nyaman, naik ke instrumen yang lebih panjang durasinya dan lebih tinggi risikonya.
Pemilihan jenis instrumen investasi juga bergantung pada profil risiko masing-masing. Memperluas pengetahuan dan keterampilan juga merupakan modal untuk berinvestasi.
Jadi, meski telah tersedia uang nganggur, dana darurat dan asuransi sebaiknya tidak ujug-ujug membeli saham jika ingin selamat di belantara investasi. Apalagi kalau modalnya didapat dengan cara berutang dan keputusan investasinya hanya bermodalkan informasi dari media sosial tanpa mencermati dan menganalisis lebih lanjut saham yang akan dibeli.