Akses Berkeadilan Layanan Kesehatan Covid-19
Keputusan pemerintah untuk memberikan vaksin gratis perlu diapresiasi karena mencerminkan tanggungjawab pemerintah untuk melaksanakan amanat konstitusi dalam menjamin hak masyarakat atas layanan kesehatan.
Seiring perjalanan 10 bulan pandemi Covid-19, terdapat tiga permasalahan penting tentang layanan kesehatan terkait Covid-19 di Indonesia yaitu kapasitas tes, kapasitas ruang rawat inap isolasi dan rawat intensif dan vaksinasi Covid-19.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator yang cenderung menunjukkan perburukan di awal tahun 2021 diantaranya adalah positivity rate yang hampir mencapai 30%, bed occupancy rate ruang rawat inap isolasi dan rawat intensif yang mencapai lebih dari 90%, dan ketersediaan riil vaksin Covid-19 yang masih jauh dibawah kebutuhan untuk memenuhi herd immunity sesuai target pemerintah.
Keterbatasan kapasitas layanan kesehatan dalam era pandemi Covid-19 ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya layanan kesehatan tersebut didistribusikan secara adil. Hak atas akses layanan kesehatan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Secara umum distribusi layanan kesehatan didasarkan pada prinsip keadilan distributif (distributive justice) yaitu akses layanan kesehatan yang didasarkan pada kebutuhan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, ras, lokasi tinggal, dan karakteristik individual yang lain. Aplikasi prinsip keadilan distributif menjadi semakin krusial dalam konteks pandemi COVID-19 di Indonesia karena beratnya tekanan yang dialami sistem layanan kesehatan Indonesia
Akses terhadap tes
Tes PCR merupakan kunci pengendalian pandemi Covid-19 karena memungkinkan dilakukannya identifikasi kasus dari populasi, memisahkan, dan memutus rantai penularan. Data WHO menunjukkan bahwa pada Desember 2020 jumlah tes yang dilakukan Indonesia secara agregat sudah mendekati standar WHO (1/ 1000 penduduk/minggu). Meskipun demikian terdapat permasalahan distribusi jumlah tes yang timpang antar provinsi dan positivity rate yang masih tinggi dengan rerata lebih dari 15%.
Kapasitas tes merupakan permasalahan utama yang dihadapi sejak awal pandemi Covid-19 di Indonesia. Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu negara dengan rasio jumlah tes dengan jumlah penduduk terendah di dunia. Kapasitas tes yang terbatas dan tidak adanya regulasi yang ketat membuat ketersediaan tes diserahkan pada mekanisme pasar yang berakibat biaya tes yang sangat mahal dan hanya bisa diakses oleh mereka yang bisa membayar.
Adanya koreksi dari pemerintah berupa penerapan tarif maksimal untuk tes dan juga penambahan kapasitas tes secara bertahap sedikit memperbaiki akses masyarakat terhadap tes Covid-19.
Meskipun ada upaya perbaikan, akses terhadap tes Covid-19 di Indonesia belum mencerminkan prinsip keadilan yang seutuhnya. Sesuai dengan prinsip keadilan distributif maka setiap individu yang membutuhkan tes yaitu kasus suspect, kasus probable, maupun kontak erat berhak untuk mendapatkan tes sesuai standar.
Pada kenyataannya, sesuai dengan pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19 revisi ke-5 dari Kementerian Kesehatan yang masih berlaku sampai sekarang, kontak erat tidak berhak mendapatkan tes dari pemerintah. Selain itu masih umum ditemui pelaksanaan tes yang terlambat untuk kasus suspect ataupun waktu tunggu hasil tes yang sangat lama. Keadaan ini selain melanggar prinsip keadilan distributif juga mengakibatkan pengendalian penularan Covid-19 di masyarakat menjadi tidak optimal.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab besar untuk terus meningkatkan kapasitas tes hingga pandemi terkendali yang diindikasikan dengan menurunnya positivity rate sampai mencapai maksimal 5% dan menjamin semua kasus suspect, probable, maupun kontak erat mendapatkan akses tes Covid-19 sesuai standar. Munculnya modalitas pengendalian Covid-19 yang baru seperti vaksin seharusnya tidak mengurangi upaya pemerintah untuk meningkatkan kapasitas tes Covid-19 di Indonesia.
Akses terhadap rawat isolasi dan intensif
Meningkatnya jumlah kasus konfirmasi secara drastis sejak Desember 2020 memberikan tekanan berat pada sistem layanan kesehatan yang ditandai dengan tingginya bed occupancy rate untuk ruang rawat isolasi maupun untuk ruang rawat intensif di Pulau Jawa dan Bali. Hal ini berakibat pada meningkatnya angka case fatality rate (CFR) di Indonesia hingga lebih tinggi dari angka CFR global.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kapasitas ruang rawat isolasi dan intensif sebesar 30% dari kapasitas sekarang sepertinya tidak akan berhasil untuk mencukupi kebutuhan yang terus meningkat karena pertambahan kapasitas layanan kesehatan bersifat linier sedangkan pertambahan jumlah kasus bersifat eksponensial.
Upaya penambahan kapasitas terutama pada rawat intensif akan terkendala ketersediaan alat kesehatan (seperti ventilator), ketersediaan obat-obatan terkini (seperti IL-6 inhibitor), dan terutama ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten.
Keterbatasan kapasitas rawat isolasi dan intensif dalam tingkat yang kritis membuat penerapan prinsip keadilan distributif perlu disesuaikan. Prinsip umum bahwa semua individu mempunyai kedudukan yang setara dan yang lebih membutuhkan harus didahulukan tetap dipertahankan yang berarti bahwa hanya kasus dengan gejala sedang, berat, dan kritis yang bisa dirawat di rumah sakit.
Meskipun aturan ini telah diterapkan di sebagian besar rumah sakit di Indonesia, implementasi yang tegas perlu dilakukan untuk menjamin bahwa hanya kondisi klinis pasien yang menjadi pertimbangan utama dan mencegah privilege yang berdasar status individual seperti tingkat sosial ekonomi. Untuk rawat intensif, prinsip yang banyak diterapkan dalam kondisi kritis adalah maximizing benefit yang berarti perawatan intensif harus diperuntukkan bagi pasien yang dianggap memiliki peluang hidup tertinggi.
Perawatan intensif harus didasarkan pada kriteria prognosis yang disepakati para ahli dan tidak lagi menerapkan prinsip first in first served basis. Kriteria ini harus disepakati oleh organisasi profesi (kolegium) dengan rumah sakit dan dibakukan oleh pemerintah.
Pengecualian dapat dilakukan jika individu tertentu (misal tenaga kesehatan) dipandang memiliki peran tidak tergantikan pada masa pandemi sehingga diberikan akses prioritas. Meskipun demikan pengecualian harus dilakukan seminimal mungkin untuk mencegah kesalahpahaman yang mungkin timbul dan menjaga rasa keadilan di masyarakat.
Akses terhadap vaksin
Kemunculan vaksin Covid-19 dalam waktu singkat merupakan terobosan luar biasa dalam upaya pengendalian Covid-19 dan belum pernah ditemukan dalam sejarah penyakit infeksi sebelumnya. Meskipun demikian, ketidakseimbangan antara jumlah produksi vaksin dengan kebutuhan vaksin global menimbulkan permasalahan dalam hal akses vaksin sehingga kriteria untuk menentukan akses prioritas terhadap vaksin menjadi isu penting.
WHO telah menerbitkan kerangka kerja sebagai acuan untuk menentukan prioritas populasi yang akan divaksin secara adil. Prinsip yang harus dianut adalah kesejahteraan manusia, kesetaraan, keadilan, resiprositas, dan legitimasi. Vaksin diprioritaskan dengan dasar perlindungan kepada populasi yang lebih berisiko dan tidak membedakan populasi berdasarkan karakteristik individual.
Selain itu prioritas dapat diberikan kepada populasi rentan dengan beban kesehatan yang besar atau sebagai penghargaan kepada kelompok yang berperan penting dalam pengendalian Covid-19. Penentuan prioritas tersebut harus didasarkan pada proses yang transparan, melibatkan semua komponen masyarakat, dan berbasis ilmiah. Selain itu akses terhadap vaksin harus dilakukan secara universal, tanpa dipungut biaya, tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata, dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar.
Penyusunan prioritas ini sudah mengikuti kerangka kerja WHO dengan mempertimbangkan ketersediaan vaksin dan profil keamanan vaksin.
Kementerian kesehatan telah merumuskan peta jalan vaksinasi Covid-19 di Indonesia dengan memberikan prioritas kepada tenaga kesehatan yang dilanjutkan dengan pekerja sektor publik, kelompok lanjut usia, masyarakat rentan, dan kelompok masyarakat lain sesuai dengan kluster. Penyusunan prioritas ini sudah mengikuti kerangka kerja WHO dengan mempertimbangkan ketersediaan vaksin dan profil keamanan vaksin.
Tidak diprioritaskannya kelompok lanjut usia sebagai kelompok pertama penerima vaksin didasarkan pada belum tersedianya vaksin yang aman untuk digunakan pada kelompok tersebut di Indonesia. Untuk itu pemerintah bertanggungjawab mengupayakan semaksimal mungkin agar kelompok lanjut usia dapat divaksinasi sesegara mungkin mengingat tujuan utama vaksinasi adalah melindungi populasi yang paling berisiko.
Selain itu kriteria yang lebih rinci perlu ditetapkan pada kelompok lain dengan mengutamakan prinsip perlindungan kelompok yang paling risiko. Sebagai contoh vaksinasi pada kelompok pekerja sektor publik perlu diprioritaskan pada mereka yang berusia diatas 45 tahun atau dengan komorbid sebagai kelompok yang paling berisiko.
Pemerintah juga dituntut untuk konsisten dengan prioritas pemberian vaksin yang telah ditetapkan. Penggunaan public figure dalam aktivitas social marketing program vaksinasi semestinya mempertimbangkan kriteria penentuan kelompok sasaran yang sesuai dengan prinsip akses yang berkeadilan misalnya dengan memilih public figure yang secara kesehatan memiliki risiko tinggi.
Keputusan pemerintah untuk memberikan vaksin gratis perlu diapresiasi karena mencerminkan tanggungjawab pemerintah untuk melaksanakan amanat konstitusi dalam menjamin hak masyarakat atas layanan kesehatan. Adanya pendapat beberapa unsur masyarakat agar sebagian distribusi pasar diserahkan ke mekanisme pasar dan penentuan kelompok prioritas berdasar motif ekonomi murni perlu dipertimbangkan dengan matang dan sebaiknya dihindari karena berpotensi mencederai rasa keadilan di masyarakat.
(Joko Mulyanto Peneliti layanan kesehatan dan dosen di Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman (FK UNSOED), Purwokerto Indonesia. Peneliti tamu di Department of Public and Occupational Health, Amsterdam University Medical Center, University of Amsterdam, Belanda. )