Silang Kelindan Narasi Tentang Bali
Dalam delapan bab yang merangkai buku ini, Picard berhasil memberi pembaca gambaran reflektif tentang Bali mengenai citra yang terus bertumbuh, berkembang dalam diaspora pemikiran para orientalis peneliti, intelektual.
Judul Buku : Kebalian, Konstruksi Dialogis Identitas Bali
Penulis : Michel Picard
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)bekerja sama dengan Ecole française d\' Extrême-Orient
Cetakan : I, Juli 2020
Tebal Buku: viii+390 hlm.
ISBN : 978-602-481-425-0
Sebagai orang dalam maupun sebagai orang luar sesungguhnya cukup sulit untuk mendefinisikan baik Kebalian maupun Hinduisme di mata orang Bali. Hal ini terjadi justru saat keyakinan-keyakinan religius orang Bali kian dibingkai dengan formalisme yang dipinjam dari agama-agama abrahamik yang monoteistik. Selalu muncul silang pandang saling berkelindan tentang apa itu Kebalian bagi orang Bali maupun apa itu Hinduisme bagi mereka.
Kini, dengan terbitnya buku terakhir Michel Picard: Kebalian, Konstruksi Dialogis Identitas Bali, apakah kita dapat menarik kesimpulan yang tuntas tentang apa Kebalian dan apa Hinduisme di atas? Hemat saya, tidak bisa, dan memang bukanlah tujuan Michel Picard.
Yang dia coba mendefinisikan bukanlah sosok esensi lintas-sejarah Kebalian, melainkan proses historisnya: bagaimana Kebalian sebagai identitas dan Hinduisme sebagai agama muncul akibat intervensi unsur-unsur luar yang telah merombak seluruh tatanan berpikir Bali, yaitu tatanan intelektual-konseptual, jati diri dan konstruksi keagamaan.
Namun, dia tidak sampai disitu saja. Baginya, intervensi luar ini, baik kolonial maupun nasional, memicu juga reaksi dari masyarakat setempat. Maka terjadilah suatu dialektika--Michel Picard memakai istilah konstruksi dialogis-- antara input luar Bali yang intrusif dan input Bali yang reaktif. Terlahirlah di dalam dialektika itu konsep Kebalian sebagai rumus identitas dan Hinduisme sebagai rumus agama.
Sebagaimana dicatat Michel Picard dalam pendahuluan buku ini, pada awal karir akademiknya dia hanya tertarik untuk meneliti pengaruh pariwisata internasional terhadap kebudayaan lokal Bali, dengan pertanyaan tunggal: apakah kebudayaan Bali sanggup bertahan menghadapi dampak pariwisata.
Bermula dari pertanyaan dasar ini dia menghasilkan buku bertajuk: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006), yang dikenal luas di kalangan studi kepariwisataan. Di dalam buku ini, Michel Picard menelaah bagaimana kebijakan pihak luar, disini Orde Baru, memicu reaksi lokal elite Bali, yang menawarkan suatu konsep performatif, yang diharapkan bakal menjadi realita lapangan, yaitu pariwisata budaya sebagai lawan dari budaya pariwisata, yang destruktif itu. Dengan pariwisata budaya, pikir elite Bali, kedaulatan kultural Bali akan tetap terjaga.
Di dalam buku Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata Michel Picard sudah meneliti wacana dan menyentuh problematika konseptual. Di buku Kebalian, dia maju selangkah lagi. Dia memperlihatkannya secara mendetil bagaimana dialektika antara intervensi luar dan reaksi lokal memicu revolusi konseptual yang bermuara pada perombakan konstruk identiter dan keagamaan serta, lebih jauh, perombakan pola berpikir masyarakat. Pendeknya, dia menyentuh masalah modernisasi kultural.
Problematik ini sebenarnya bersifat global, dan muncul setiap kali terjadi pertemuan antara budaya yang berbeda. Namun, dengan kasus Bali, yang telah menjadi lapangan penelitiannya selama puluhan tahun, Michel Picard mengungkap problematik ini secara sangat dalam nan brilian . Oleh karena itu buku "Kebalian" ini termasuk salah satu hasil kajian akademis pasca-kolonial yang penting, di mana Michel Picard tampil sebagai perintis pendekatan yang mutakhir.
Di dalam buku "Kebalian", Michel Picard terutama memperlihatkan bagaimana proses dialektis di atas melahirkan konsep-konsep operasional baru. Menariknya, konsep-konsep itu pada umumnya bukan terdiri dari kata asing Barat yang dipinjam dengan begitu saja, seperti terjadi sekarang ini, tetapi terangkat dari kata bahasa Melayu-Indonesia, Arab-Indonesia atau Sanskerta-Kawi yang dipetik dari kosa kata aslinya untuk diberikan arti yang baru.
Kata-kata seperti adat, agama, budaya, seni dan lain-lain disulap artinya untuk menanggapi segi-segi baru tertentu dari dinamika budaya Bali, dimana pemilahan konseptual analitis sebelumnya tidak eksis. Istilah-istilah itu lalu menjadi instrumen konseptual bagi konstruksi dialogis antara pihak luar, sebagai penentu kebijakan atas Bali (Belanda, Orde Baru) dan pihak asli Bali, yang mereaksikannya. Jadi Michel Picard menelanjangi segi konseptual, yaitu inti yang sesungguhnya, dari proses modernisasi masyarakat Bali.
Namun senjata makan tuan: hasil yang dicapai dari konstruksi dialogis itu bukanlah sebagaimana diharapkan oleh kedua pihak. Berbagai faktor berperan: kekuatan politik yang tak setara antara kedua pihak, perubahan pada ekonomi, perluasaan pendidikan, intervensi militer Jepang dan konflik politik di Bali.
Semua faktor itu, meskipun tidak dikaji secara spesifik di buku Kebalian ini, turut mempengaruhi bagaimana Kebalian sebagai identitas dan Hinduisme sebagai agama semakin mengerucut sebagai realita historis baru, kian jauh dari situasi awal.
Bila pada awalnya orang Bali "dituntut menyesuaikan diri dengan citra mereka, tak hanya harus menjadi orang Bali, tetapi lebih dari itu juga harus menjadi duta terhormat identitas budaya mereka, menjadi lambang-lambang bagi diri mereka sendiri (hlm.6)"; bila orang Bali kemudian "berlindung dalam suatu visi idaman mereka -- dalam apa yang mereka namakan "kebalian" yang gemar ditampilkan sebagai sebatang pohon yang berakar "agama" berbatang "adat" dan berbuah "budaya" (hlm.7)", mereka kini berhadapan dengan situasi yang sangat berbeda.
Paling sedikit itulah yang terlihat dari pembacaan buku Kebalian dan dari pengamatan di lapangan: Konstruk identitas orang Bali menjadi kian kaku. Istilah Kebalian berubah arti. Terlahir pada tahun 1920an sebagai suatu konsep baru yang berkandungan kultural, istilah Kebalian kini menjadi umum penggunaannya dan kian erat kaitannya dengan sistem keyakinan yang juga kian kaku.
Memanglah, dari kultus leluhur lokal yang semula serba luwes, sistem keyakinan itu kian tampil sebagai \'agama\' Hindu yang, meski berstatus nasional, berada di bawah pengaruh retorika modern dari Hinduisme India. Jadi "kebalian" sebagai identitas kian cenderung bergeser menjadi keHinduan. Itulah yang tampil in limine dari buku Kebalian ini.
Namun buku Michel Picard tidak hanya menarik karena kekayaan konseptualnya dan peringatan akan evolusi Bali. Bahannya melimpah dan sangat berdetil. Juga menarik dibaca karena kajian historisnya yang lengkap, terutama dari sudut peristiwa kultural religius dan evolusi mentalitas.
Dalam delapan bab yang merangkai buku ini, Picard berhasil memberi pembaca gambaran reflektif tentang Bali mengenai citra yang terus bertumbuh, berkembang dalam diaspora pemikiran para orientalis, peneliti, intelektual, serta produk-produk timbang pikir para terdidik Bali di media massa dari zaman ke zaman.
Dengan daftar pustaka yang melimpah, buku ini menjadi rujukan penting bagi siapa saja yang ingin mendalami Bali lebih jauh. Buku ini wajib dibaca bagi siapa saja yang tertarik secara intelektual pada evolusi Bali, lebih-lebih bagi siapa saja yang ingin memahami problematika identitas orang Bali.
Sebagai catatan dan pertanyaan terakhir, Picard memulai kajian tentang Bali dengan bentukan citra kolonial dan para orientalis --dengan merujuk pada peninggalan-peninggalan India dan Jawa. Para orientalis itu, kata Picard terperdaya oleh acuan-acuan India mereka, yang awalnya menafsirkan apa yang mereka lihat di Bali "dengan kaca mata Hindu" dan dari pandangan ini mereka kemudian menjadikan Bali sebagai "musium hidup" peradaban Indo-Jawa (hlm.30).
Apakah Michel Picard, dan kedua pengulas buku ini juga buta seperti para Orientalis masa lalu. Biarlah pembaca menilainya.
(Jean Couteau Peneliti Budaya)