Industri film Indonesia di tahun 2020 diramaikan dengan membanjirnya film-film lewat layanan streaming digital yang dikenal sebagai over the top atau OTT. Sebutlah OTT multinasional, seperti Netflix, Disney-Hotstar, dan Hulu, serta layanan lokal, seperti Go Play, Mola TV, Klik Film, dan Max Stream.
Pelantar (platform) baru ini bertumbuh dalam percepatan deret ukur. Hal ini cukup mengguncangkan industri film Indonesia dan dunia, memengaruhi dasar dan superstrukur industri film Indonesia, serta menumbuhkan ekosistem baru yang menuntut adopsi secara cepat.
Terbaca, percepatan pertumbuhan platform OTT ini berbasis tiga pegas fenomena yang menjadi dasar pertumbuhan industri film Indonesia 2021.
Pegas pertama, cara hidup berbasis protokoler Covid-19 yang memaksa kebiasaan hidup baru serba daring dunia rumah. Demikian pula dalam konsumsi hiburan, khususnya film. Terlebih, ruang tontonan luar rumah dibatasi atau ditutup, seperti terjadi pada gedung bioskop sebagai ruang utama pasar film.
Pada gilirannya, budaya baru ini bertemu dengan budaya waktu senggang masyarakat Indonesia, yakni kebiasaan ngobrol, gosip, dan lebih banyak konsumsi fiksi dan hiburan daripada data dan informasi.
Survei McKinsey mencatat, 45 persen responden mengalokasikan dana untuk belanja hiburan, sementara 85 persen mengurangi belanja luar rumah yang bisa dikonversi jadi pasar OTT.
Pegas kedua, percepatan teknologi media baru melahirkan ekosistem baru hubungan teknologi, industri, konsumen, beragam kebijakan, serta prasyarat industri baru, baik regulasi maupun adopsi standardisasi serta tata kerja.
Perubahan ekosistem ini mengingat OTT merujuk pelantar layanan streaming media digital langsung lewat internet, tidak lagi lewat sistem kabel, broadcast, dan satelit televisi. Menurut survei, penggunaan internet di masa PSBB (pembatasan sosial berskala besar) naik hingga 193 persen.
Layanan OTT terasa menjadi pustaka dalam rumah, menjelajah jenis film dan asal film beragam negara. Layanan ini menjawab tuntutan hiburan dalam relasinya dengan berbagai dampak psikologi dunia rumah dalam pandemi. Kini, lewat OTT, kita bisa menikmati film–film yang dulu sulit diakses, baik film dari Spanyol, Meksiko, Italia, maupun beragam negara Asia.
Pegas ketiga adalah bonus demografi usia produktif atau bertumbuhnya kelas menengah baru dalam populasi penduduk Indonesia. Bank Dunia mencatat 45 persen dari populasi Indonesia mampu bertumbuh dalam kelas menengah baru. Ini berarti lebih dari 100 juta penduduk sangat akrab dengan media digital dalam gaya hidup waktu senggang baru.
Ekosistem baru
Pandemi telah memaksa percepatan ekosistem teknologi baru pada warga dunia, termasuk anak-anak yang melakukan pembelajaran secara daring. Segalanya terintegrasi menjadi prasayarat tumbuhnya pasar industri hiburan. Simaklah contoh kecil, integrasi digital televisi, komputer, telepon pintar, teknologi gim, dan home theater.
Jangan heran, terbaca agresifnya OTT Netflix membangun ekosistem dengan menggandeng industri elektronik. Dengan begitu, pembeli televisi bisa langsung mendapat aplikasi berlangganan Netflix. Lewat strategi ini, Netflix dengan cepat menumbuhkan pelanggan terbesar di Amerika, bahkan menjalar ke Asia dan Indonesia.
Perlu dicatat pula, penetrasi televisi di Indonesia masih sangat tinggi sehingga kue iklan masih berfokus di TV. Mengacu Nielsen, belanja iklan TV menempati porsi terbesar 85 persen, pertumbuhan besar juga terjadi pada iklan layanan daring. Netflix sebagai salah satu raksasa OTT telah mempunyai pelanggan global lebih dari 180 juta. Sementara pertumbuhan menonton film lewat streaming naik antara 27 persen dan 35 persen.
Ekosistem baru yang harus dibaca adalah generasi baru pasar film Indonesia. Pada 2020, pasar Indonesia didominasi penduduk usia produktif (15-64 tahun). Bonus demografi usia produktif 2020-2045 diperhitungkan mencapai grafik tertinggi, yaitu 68,75 persen (16-30 tahun) penduduk bakal ”dekat” dengan media digital dan media baru.
Inilah era ekosistem teknologi baru sekaligus era ekosistem generasi baru usia produktif Indonesia. Era yang dipenuhi pergeseran kebiasaan hidup, gaya hidup, selera, cara pandang lokal dan global, serta aktualisasi diri.
Paradoks pasar
Era OTT ditandai dengan perebutan pasar besar Indonesia. Data menunjukkan, Indonesia adalah pengguna OTT lewat internet tertinggi di ASEAN, mencapai 66 juta. Menurut berbagai riset, penonton Indonesia menyukai film-film lokal, disusul kemudian film Korea. Jangan heran, terjadi pembelian cukup besar film- film Indonesia oleh Netflix hingga Disney, serta OTT lokal yang disiarkan secara regional guna mengambil hati pasar konsumen Indonesia.
Bahkan, Netflix sejak akhir 2020 mulai memproduksi film lokal bekerja sama dengan beberapa perempuan sutradara Indonesia, seperti Hadrah dan Nia Dinata.
Fenomena pasar terpenting adalah terjadinya gejala pergeseran alias penjelajahan jenis film. Tontonan populer konsumen Indonesia di Netflix berfokus pada tema romantis, keluarga, keinginan belajar, dan nilai-nilai berani.
Namun, justru yang menarik adalah pergeseran selera dengan keinginan menjelajah film dari berbagai negara. Simak kepopuleran The Old Guard, Money Heist, The Trial of Chichago 7, dan Umbrella Academy.
Di sisi lain, OTT lokal berlomba memproduksi film-film lokal, khususnya seri-seri pendek. Perlombaan membangun pasar oleh OTT lokal memberi ruang besar bagi pembuat film, khususnya di tengah krisis produksi saat pandemi. Namun, gejala cara produksi serba pendek dengan biaya sangat kecil mengingatkan pada perlombaan memproduksi sinetron (seri opera sabun televisi) oleh televisi swasta.
Akibatnya, alih-alih menumbuhkan ekosistem industri yang produktif dan bertumbuh kualitas, malahan menjadi pasar banal. Demikian juga, bisa terjadi perilaku OTT global membeli film Indonesia yang terkadang kehilangan kemampuan selektifnya, terjerambab dalam ekosistem pasar banal ala televisi Indonesia.
Catatan di atas mengisyaratkan peta besar potensi pasar film Indonesia 2001 lewat layanan OTT. Hal ini selayaknya jadi momentum melahirkan produktivitas para pembuat film dalam ekosistem yang terus bertumbuh sehat dan produktif. Dengan begitu, nantinya, potensi 150 juta pengguna internet di Indonesia dan bonus demografi usia produktif tidak jadi sebatas pasar banal konsumerisme.
Garin Nugroho, sutradara dan penulis