Namun, ketika etika ruang redaksi menjadi lebih sekuler, agama surut ke belakang, berubah menjadi hukum, praktik lembaga dan perilaku yang diharapkan dari para profesional di banyak bidang.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·4 menit baca
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Idi Subandy Ibrahim
Semua agama memandang korupsi sebagai perilaku tercela. Dengan berbagai istilah literatur agama menyebutnya sebagai perbuatan dosa. Sayangnya, tindakan manusia tak selalu dibimbing keyakinan batinnya.
Profesor Emeritus Demokrasi, Demokratisasi, dan Hak Asasi Manusia di Universitas Michigan, AS, Ronald F Inglehart, mencermati bahwa negara-negara yang kurang religius cenderung kurang korup dibanding negara-negara yang lebih religius. Padahal, menurut dia, sudah jelas, agama tidak mendorong korupsi dan kejahatan.
Menurut penulis buku Religion’s Sudden Decline: What’s Causing it, and What Comes Next? (2021) tersebut, pandangan kaum konservatif agama mengenai kemunduran keyakinan akan menyebabkan runtuhnya moralitas publik dan kohesi sosial terbukti tidak mendukung klaim ini.
Fenomena yang diteliti Inglehart mencerminkan fakta bahwa seiring dengan berkembangnya masyarakat, kelangsungan hidup menjadi lebih terjamin: kelaparan menjadi tidak biasa; harapan hidup meningkat; pembunuhan dan kekerasan berkurang.
Rupanya ada gejala tak terduga, saat tingkat keamanan meningkat, orang cenderung menjadi kurang religius. Agama seperti tempat pelarian dari ketidakamanan.
Sementara kaum agama berkeyakinan bahwa agama akan mendorong individu bertindak lebih etis. Pada dasarnya, agama memberikan peringatan dan bimbingan serta mengajarkan individu antara yang baik dan yang jahat. Keyakinan ini memperkuat isyarat bahwa agama dapat meningkatkan kejujuran dan perilaku etis.
Agama memberi individu keyakinan dan standar norma, memandunya dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam masalah korupsi. Di satu sisi, individu dengan norma religiositas yang tinggi akan cenderung tidak menerima atau terlibat dalam korupsi. Di sisi lain, kurangnya norma religiositas individu akan meningkatkan kecenderungan untuk ikut serta dalam tindakan korupsi atau penerimaan korupsi.
Bagaimanapun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi bisa mengganggu norma dan keyakinan agama tentang etika. Argumen ini didukung oleh hasil penelitian, di mana individu terlepas dari ajaran agamanya tentang hukuman keras karena pencurian dan persepsi tentang Tuhan, ketika menghadapi pengangguran, cenderung lebih toleran terhadap korupsi di masyarakat (Zakaria, 2018).
Kemudian, religiositas sebagai keyakinan pada Tuhan yang pemaaf lebih kuat ketimbang religiositas sebagai keyakinan pada Tuhan sebagai penghukum atau pemberi karma. Hal ini membuahkan sikap cenderung lebih toleran terhadap perilaku korup.
Pers melawan
Lalu, kalau kita menilik pada pers, apakah religiositas memengaruhi budaya ruang redaksi dalam perang melawan korupsi? Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers, meminjam kata-kata Alexis de Tocqueville (1840), adalah ”instrumen utama kebebasan demokrasi”, karena merupakan sarana untuk mengungkap korupsi serta menuntut transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah.
Sejarah pergantian abad ke-20 menyaksikan tradisi reformasi dalam jurnalisme di Barat serta gerakan progresif dan populis yang mengilhami para muckraker (pembongkar korupsi) dengan cara yang tetap hidup dalam jurnalisme kini.
Tokoh-tokoh, seperti SS McClure, Ida Tarbell, John S Phillips, Ray S Baker, William A White, dan David G Phillips, menjadi tersohor karena artikel investigasinya untuk membersihkan korupsi dan kepentingan pribadi dalam industri, pemerintahan, dan politik.
Menarik bahwa sosiolog Herbert Gans (1980) telah mencatat sebagian besar jurnalis muckraker awal adalah kaum progresif yang dimotivasi oleh kepercayaan pada kapitalisme yang bertanggung jawab untuk menjaga kepentingan rakyat tanpa terlalu mengguncang tatanan komersial yang berlaku. Para muckraker tersebut ternyata berasal dari latar belakang sangat religius.
Di antara mereka menggunakan pendekatan profetik untuk menantang korupsi dan ketidakadilan di lembaga-lembaga publik yang korup. Mereka menggunakan tokoh religius sebagai model etika dan moral serta tak henti-hentinya mengkritik kaum agamawan yang terlibat dalam dosa kapitalisme (Hutchings, 2021).
Namun, ketika etika ruang redaksi menjadi lebih sekuler, agama surut ke belakang, berubah menjadi hukum, praktik lembaga dan perilaku yang diharapkan dari para profesional di banyak bidang.
Banyak jurnalis tidak menganggap diri mereka religius, tetapi sebenarnya agama tetap hidup dalam apa yang oleh sosiolog Robert Bellah (1967) disebut sebagai ”agama sipil”. Sisa-sisa nilai-nilai etika agama tetap dipertahankan dalam penerapan kode etik media dan standar yang diadopsi oleh organisasi profesional (Underwood, 2021).
Rupanya, baik secara langsung maupun tidak, norma-norma religius tetap memainkan peran penting dalam ruang publik. Seperti tekad pers kini untuk jujur dan terus memerangi ketidakjujuran seperti korupsi demi kepentingan publik.
*Idi Subandy Ibrahim, Penulis buku Melawan Korupsi di Sektor Publik (2003); Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar Luar Biasa di Program Doktor Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung; dan Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya Malang