Untuk mewujudkan pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan, tak ada salahnya terbuka terhadap cara baru melihat pertumbuhan. Apalagi, pembangunan harus memanfaatkan sumber daya alam berkelanjutan dan bersifat inklusif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pemerintah merespons dampak negatif pandemi dengan menyegerakan pencairan dana APBN. Kita menginginkan terjadi pertumbuhan berkualitas.
Presiden Joko Widodo mendorong agar pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dapat dilaksanakan segera, seperti pemberian bantuan sosial dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur pada Januari ini.
Merespons situasi pandemi, pemerintah memperbesar defisit APBN tahun 2021 menjadi 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran sebelum terjadi pandemi sebesar maksimum 3 persen.
Dalam pemulihan ekonomi, pemerintah menggunakan target pertumbuhan sebagai ukuran; tahun ini sebesar 4-5,5 persen. Pada sisi lain, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal, mulai dari cara bekerja dan berbisnis yang kian mengandalkan internet hingga perdagangan dan lalu lintas manusia antarnegara. Karena itu, banyak ahli berpendapat perlu ada cara baru untuk sintas, terutama ketika tujuan pemulihan ekonomi adalah kesejahteraan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDB menjadi ukuran yang paling banyak dipakai. PDB tidak persis menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Tiga ekonom, yakni Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi, dalam Mengukur Kesejahteraan (2011, terjemahan), mengajukan tesis PDB bukan cara tepat mengukur kesejahteraan. Meskipun pandangan itu muncul jauh sebelum pandemi Covid-19, pendapat mereka tetap relevan.
Ketiganya mengusulkan untuk memperhitungkan juga pendapatan dan konsumsi selain produksi. Pendapatan dan konsumsi rumah tangga yang dapat menggambarkan layanan pemerintah, seperti kesehatan dan pendidikan; memperhatikan distribusi pendapatan selain konsumsi dan kekayaan semua kelompok masyarakat; mengukur aktivitas nonpasar, seperti layanan yang diproduksi rumah tangga untuk digunakan sendiri; dan memperhitungkan pendapatan dan konsumsi masyarakat dan kekayaan negara, berupa modal fisik, alam, manusia dan sosial untuk memperkirakan keberlanjutan.
Saat ini prioritas pemulihan ekonomi adalah membantu kelompok masyarakat paling rentan. Namun, untuk pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan, tidak ada salahnya terbuka terhadap cara baru melihat pertumbuhan. Apalagi, ke depan, pembangunan dituntut harus memanfaatkan sumber daya alam berkelanjutan, inklusif dengan mengikutsertakan semua, dan bertumpu pada sumber daya manusia.
Seperti juga diadvokasikan ekonom Abhijit V Banarjee dan Esther Duflo dalam Good Economics for Hard Times (2019), PDB bukan satu-satunya ukuran pertumbuhan seperti diperlihatkan pengalaman negara kaya. Penting mengalokasikan anggaran secara tepat sasaran dengan memberikan perhatian pada kelompok paling rentan dan membutuhkan.
Dalam konteks Indonesia, pemulihan ekonomi haruslah memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur dan itu harus tecermin dalam indikator pertumbuhan berkualitas.