Kita Saling Menyelamatkan
Mengingat keprihatinan pandemi, mari kita telusuri penyebab dan pendekatan psikologis kepada mereka agar dapat saling menyelamatkan.
Di awal tahun ini, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 di Tanah Air terus bertambah. Meskipun berulang kali satgas penanganan kesehatan meminta tetap menjaga jarak sosial dan tinggal di rumah demi memperlambat penyebaran virus, warga masih banyak yang tidak mau menjalaninya. Mengingat keprihatinan ini, mari kita telusuri penyebab dan pendekatan psikologis kepada mereka agar dapat saling menyelamatkan.
Scottie Andrew (2020) merangkum pandangan tiga tokoh psikologi, yakni Gordon Asmundson, Steven Taylor, dan Vaile Wright, mengenai alasan mengapa sulit membuat orang tetap tinggal di rumah.
Kurang Tanggap
Asmundson, profesor psikologi di University of Regina di Saskatchewan, membagi masyarakat dalam tiga kelompok berdasarkan tanggapannya terhadap pandemi. Ada responden yang berlebihan, responden yang kurang tanggap, dan mereka yang di antara keduanya.
Secara singkat, responden kurang tanggap adalah yang tidak mematuhi protokol kesehatan, menganggap diri kebal. Mereka tidak jaga jarak karena yakin tidak akan sakit meski dapat mencegah orang yang lebih rentan terinfeksi.
Pegang kendali lagi
Vaile Wright mengatakan, seperti pembeli panik, mereka yang antijarak sosial terus berkumpul dalam kelompok dan mengabaikan saran karena dasarnya merasa tidak berdaya. Melatih pembangkangan membuat virus tampak lebih kecil bagi mereka. Salah satu tantangan dari situasi ketidakpastian, mengingatkan kita semua pada hal-hal yang di luar kendali kita. Jadi, sampai batas tertentu, dengan membangkang mereka mencoba mendapatkan kembali kendali diri.
Mati rasa
Virus Corona menciptakan apa yang disebut Taylor, penulis The Psychology of Pandemics, sebagai ”infodemik”. Dimana pun dan dengan siapa pun, pembicaraan hanya mengenai Covid-19. Karena itu, orang-orang mungkin menjadi menurun rasa khawatir terhadap keparahannya, mereka mulai mati rasa.
Kelebihan informasi ini juga berkontribusi pada pesan campuran. Orang dewasa muda telah diberi tahu berulang kali bahwa mereka berisiko lebih rendah terkena infeksi, ditambah kecenderungan mereka untuk berani mengambil risiko, maka mereka makin tidak takut dengan virus.
Berpikir individual
Ini bukan hanya masalah generasi. Dunia Barat dan perkotaan telah lama menghargai kebebasan individu, kadang bahkan melebihi manfaat komunitas. Selama pandemi, pola pikir itu bisa berakibat fatal bagi mereka yang paling rentan, kata Taylor.
Karenanya, para petugas perawatan kesehatan ataupun orang awam terus memohon kepada masyarakat agar tinggal di rumah, bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk kepentingan orang lain. Khususnya, untuk para lansia, orang dengan sistem kekebalan yang terganggu, dan dokter serta perawat di garis depan.
Kesepian
Ketiga psikolog sepakat bahwa manusia mendambakan koneksi. Apabila ditolak melakukan interaksi sosial untuk waktu yang lama, bisa menyengat dan menyakitkan hati. Hal ini tentu sangat sulit bagi lansia, yang memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat depresi dan kesepian. Lansia mungkin kurang mau menggunakan alat teknologi, seperti Facetime atau Zoom, untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah.
Satu hal yang disepakati para ahli adalah bahwa meyakinkan orang untuk tinggal di rumah adalah taruhan terbaik kita menghadapi pandemi.
Cara Mendekati
Joe Pinsker (2020), penulis majalah The Atlantic yang meliput masalah keluarga dan relasi menghimpun pandangan para ahli mengenai cara untuk mengajak orang tetap tinggal di rumah.
1. Mengingatkan kepentingan orang lain
Menurut Taylor, beberapa orang tidak menyadari bahwa adalah kepentingan setiap orang untuk menjaga jarak secara sosial dan mematuhi protokol kesehatan lainnya. Ketika orang berperilaku dengan cara yang merusak kepentingan bersama, seperti terus bertemu dengan cucu atau teman, mereka berfokus pada risiko yang mereka hadapi secara pribadi.
Mungkin sangat efektif untuk memberi tahu bahwa kehati-hatian mereka akan melindungi seseorang yang tinggal bersama mereka, apakah itu orangtua, pasangan, atau anak.
2. Hindari angka, sampaikan cerita
Wabah virus adalah kisah yang sering diceritakan secara numerik, jumlah kasus, tingkat kematian, kapasitas tempat tidur rumah sakit, dan seterusnya. Mencoba mengidentifikasi kondisi seseorang yang pernah terinfeksi mungkin memiliki peluang lebih baik untuk memengaruhi mereka yang belum melihat dampak bencana virus secara langsung, kata Rachael Piltch-Loeb.
Pendekatan naratif atau anekdot cenderung beresonansi dengan perasaan seseorang. Cerita yang efektif mungkin melibatkan anggota keluarganya atau seseorang yang dikenal dekat atau tokoh publik yang mereka kagumi. Cobalah berbicara tentang proses perjalanan gejala yang mendadak atau tak terduga dari korban kepada mereka yang tidak patuh protokol.
3. Daripada melarang, minta melakukan hal lain
Taylor merekomendasikan untuk berhati-hati saat membahas topik yang ingin Anda bicarakan dalam bentuk perintah. ”Ayah, jangan keluar rumah lagi atau ”Jangan lupa vitaminnya, ya, Bu” adalah pernyataan yang terkadang bisa menjadi bumerang.
Orang melakukan apa pun untuk mempertahankan rasa kendali atas situasi, untuk merasa seperti melindungi diri sendiri. Jadi, Anda bisa memberi pilihan lain untuk mencapai efek serupa.
Lebih baik mengatakan, ”Mengapa ayah tidak mulai membereskan lemari di garasi sesuai keinginan tahun lalu atau bisakah Ibu membuatkan sop buah untuk kita semua?”
4. Bersikap baik
Menurut Joshua Coleman, orang umumnya lebih terbuka untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka tolak ketika merasa diperhatikan dan dipahami. Bersikap empatik, tidak menghakimi, tidak mengeritik, bernada kasih, akan lebih memotivasi orang lain untuk peduli dengan apa yang Anda katakan. Meskipun sangat manusiawi, cara ini juga sekaligus paling persuasif.
5. Pertimbangkan relasi dengan orang yang diajak berkomunikasi
Coleman menyarankan untuk peka dalam membagikan informasi tentang pandemi berdasarkan riwayat interaksi Anda dengan orang tertentu.
Contoh, apabila dia adalah adik yang selalu iri dan suka bersaing dengan Anda, pertimbangkan bahwa hampir semua hal yang keluar dari mulut Anda akan didengar dengan cara defensif. Meskipun Anda menyampaikannya dengan kasih sayang, mungkin dia cenderung memikirkannya dalam konteks bahwa Anda hanya mencoba mengendalikan atau mempermalukan dia. Meminta kerabat lain yang lebih berwibawa baginya untuk berbicara mungkin merupakan cara lebih bijak.
Bagaimana cara berbicara dengan orangtua Anda (lansia) yang mengatakan bahwa mereka baik-baik saja walau sering keluar rumah?
Rukhsana Ahmed, seorang spesialis komunikasi kesehatan Kanada, menyarankan untuk mencoba membuat daya tarik emosional daripada mencoba untuk ”menang”. Katakan kepada ayah bahwa Anda khawatir dan tidak dapat membayangkan wisuda/pernikahan/kelahiran cucu pertamanya tanpa dia. Beri tahu ibu bahwa Anda sedang bergumul dengan kecemasan dan perilaku Ibu menyulitkan Anda untuk tidur tenang.
Dengan kata lain, upayakan mereka berpikir bahwa mereka dapat membantu Anda. Mungkin ini bukan cara yang paling jujur, tetapi bagi banyak orangtua, menerima perintah dan larangan dari anak-anak mereka adalah penyesuaian yang sulit.
Bagi kebanyakan lansia, rasa bangga dan kemandirian tidak dapat dipisahkan. Anda dapat memberi tahu bahwa jika sistem perawatan kesehatan kita jadi terlalu terbebani, orang yang sangat senior mungkin tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan tempat tidur dan alat bantu pernapasan.
Hal itu akan diberikan kepada orang-orang yang paling mungkin mendapat manfaat dari perawatan medis. Lebih baik lagi, ketuklah rasa tanggung jawabnya: jika dia membutuhkan perhatian medis, itu bisa berarti orang lain tidak akan mendapatkannya.
Kita semua melakukan bagian kita untuk melindungi orang yang membutuhkannya.