Dunia politik sudah kehilangan pesonanya sebagai jalan untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik sudah kehilangan nilai-nilai seni dan budayanya.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·5 menit baca
Presiden Jokowi bersedia menjadi orang pertama di republik ini untuk disuntik vaksin anti-Covid-19. Guliran berita medis ini terproyeksi jadi berita politik, dalam konteks sosial, di mana keteladan menjadi persoalan penting. Terutama akhir-akhir ini, ketika negeri ini “dibanjiri” kasus para pejabat (penyelenggara negara) yang terlibat korupsi.
Pesan yang bisa ditangkap dari berita di atas adalah bahwa Presiden Jokowi konsisten berada di garda depan dalam menerima setiap risiko vaksinasi. Selain itu, Presiden meyakinkan ke publik bahwa vaksin yang digunakan aman. Tentu saja setelah dilakukan uji klinis cermat, terukur dan intensif.
Presiden meletakkan keselamatan rakyat di atas segala kepentingan. Keselamatan rakyat menjadi orientasi etik tertinggi yang turunannya adalah praksis pembebasan rakyat dari segala ancaman virus yang mematikan. Pilihan nilai ini memberi pesan bahwa seorang pemimpin sejati harus berani menempuh langkah-langkah profetik. Bukan hanya memerintah, apalagi selalu minta dilayani. Di sini, rakyat diposisikan sebagai representasi kedaulatan di mana pemimpin berposisi sebagai pelayan.
Presiden meletakkan keselamatan rakyat di atas segala kepentingan.
Bernegara adalah berkonstusi secara benar dan baik. Kedaulatan rakyat menjadi sumber hukum tertinggi yang dirinci dan di dalam kitab konstitusi. Kewajiban pemimpin adalah mewujudkan nilai-nilai yang ada di dalam narasi konstitusi menjadi tindakan pelayanan dan pengabdian.
Virus korona merupakan fenomena paradoksal. Di satu sisi ia memberikan ancaman kematian, stagnasi kebudayaan/peradaban, keterasingan sosial dan kemacetan roda perekonomian. Di sisi lain ia memberikan tantangan pada kecerdasan manusia untuk berani meninjau kembali proses-proses peradaban yang selama ini terjadi dan menemukan jawaban atas persoalannya.
Ini terlepas dari narasi-narasi politik yang selama ini muncul yakni Covid-19 merupakan rekayasa politik konspirasi global. Percaya atau tidak pada narasi itu, secara riil virus itu sudah hadir dan mengancam seluruh umat manusia. Jalan terbaik adalah mengatasinya daripada sibuk menganalisis narasi konspirasi, tanpa berbuat apa-apa. Akibatnya, pasukan virus berpesta pora dan merayakan kemenangannya.
Begitu juga ketika fenomena virus Covid-19 dikaitkan dengan sistem kepercayaan/keyakinan/keimanan. Misalnya, soal hidup mati jadi otoritas Tuhan. Memang benar. Namun Tuhan juga mewajibkan umat manusia berusaha dan berjuang dengan mengerahkan seluruh potensi diri demi bisa bertahan hidup. Teks-teks kitab suci berbagai agama mengisyaratkan hal itu: Tuhan sangat menghargai usaha manusia. Begitu juga dengan teks-teks yang bersumber dari kearifan budaya lokal.
Perang melawan virus berarti merupakan jalan suci bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan martabatnya di depan Tuhan. Ini yang sering kurang dilihat banyak orang, sehingga kasus virus lebih dipahami sebagai kasus medis dan dilepaskan dari kaitannya dengan sistem keyakinan berbasis Illahiyah dan kultural.
Maka, ketika ada seorang presiden menyatakan dirinya sanggup menjadi orang pertama yang divaksinasi, hal itu sejatinya bisa dipahami sebagai langkah profetik. Profetisisme berorientasi horizontal (pembebasan atas sesama manusia dari segala keburukan/kepunahan) dan vertikal (peningkatan eksistensi manusia secara transendental).
Dalam konteks profetisisme, kejahatan para penyelenggara negara yang tega dan keji menyunat bantuan bagi masyarakat terdampak Covid-19 merupakan pengingkaran atas kebenaran Illahiyah. Ini terkait pemahaman bahwa manusia dihadirkan di dunia pada galibnya untuk jadi pemimpin yang bisa mewujudkan kerajaan Tuhan di bumi. Para pemimpin dituntut mampu mem-breakdown nilai-nilai sifat Tuhan: Maha Pengasih, Penyayang, Pemberi.
Kepemimpinan merupakan representasi nilai-nilai keteladanan.
Dengan demikian, kiprah sosial, politik, ekonomi dan budaya para pemimpin semestinya menjadi rahmat bagi kemanusiaan dan manusia secara kolektif. Konkretnya mampu mengangkat nilai-nilai kemanusiaan berbasis pada keadilan yang diwujudkan melalui distribusi kekuasaan. Kepemimpinan merupakan representasi nilai-nilai keteladanan. Dalam keteladanan terkandung nilai-nilai ideal yang jadi horizon harapan bagi pelaku kekuasaan untuk menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya.
Terkikisnya keteladanan
Kenapa kini keteladan semakin terkikis dan sayup dalam blantika kepemimpinan nasional? Pada era represi Orde Baru, kita harus jujur mengakui banyak pemimpin yang mampu menunjukkan nilai-nilai keteladanan. Di dunia hukum muncul nama-nama jaksa dan hakim yang jadi legenda. Begitu juga di bidang kepolisian, lingkungan, ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, politik dalam/ luar negeri, sosial dan lainnya.
Praktik kekuasaan Orde Baru memang tak sepenuhnya ideal (ditandai kasus penindasan HAM, hegemoni politik dan dominasi ekonomi, korupsi dan lainnya). Namun di tengah kegelapan itu masih muncul individu-individu yang beritegritas, berkapabilitas dan berkomitmen. Ini menunjukkan bahwa kemunculan pribadi unggul yang mampu melampau peran sosialnya, bisa terjadi dalam situasi apa pun. Termasuk dalam sistem kekuasaan yang korup dan represif.
Pada era Reformasi? Kenapa keteladanan kepemimpinan kian tak terlihat? Pertama, negara mengalami semacam pencairan sebagai pusat orientasi nilai keadaban publik. Negara jadi kurang berwibawa justru di era demokratis. Masing-masing kelompok sosial-politik lebih menjelma sebagai komunitas yang berorientasi pada kekuasaan semata. Bukan pada kemaslahatan kolektif berbangsa dan bernegara. Setiap pemimpin lebih memilih jadi aktor kepentingan bukan negarawan.
Kedua, orientasi pada kepemilikan kekayaan material jauh lebih menonjol daripada spirit pengabdian pada rakyat dan negara. Banyak para pemimpin atau yang merasa menjadi pemimpin sangat artikulatif bicara konstitusi tapi ujung-ujungnya hanya memperkaya diri atau ingin menjadi “raja-raja kecil” di berbagai level sosial. Hedonisme keduniawian dipuja. Tak ada asketisme yang dijadikan jalan suci atas peran sosial kelompok elite politik dan ekonomi.
Dua faktor di atas telah menjadikan kewibawaan dunia politik ambruk dan terpuruk. Dunia politik sudah kehilangan pesonanya sebagai jalan untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik sudah kehilangan nilai-nilai seni dan budayanya. Beranikah para pemimpin lain mengikuti jejak Jokowi? Tidak hanya dalam konteks vaksinasi tapi juga ketika mereka menjalankan peran sosial politiknya?