Infrastruktur Politik dan Kualitas Demokrasi
Kita perlu sambut baik usulan pada RUU tentang Pemilu yang hendak dibahas di DPR, bahwa sistem pemilu ke depan adalah sistem proporsional tertutup. Kesempatan partai-partai politik memperkuat kelembagaan jadi terbuka.
Tulisan Azyumardi Azra, “Membangun Infrastruktur Politik” (Kompas, 7/1/2020) menarik untuk ditanggapi. Dalam tulisan tersebut, Azyumardi mengulas pentingnya membangun infrastruktur politik, bagi penguatan demokrasi.
Yang dimaksud dengan infrastruktur politik, menurutnya, adalah individu, kelompok, pranata, dan lembaga yang langsung atau tidak, mendukung kinerja suprastruktur, seperti ideologi, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan aparat pemerintahan.
Baca juga: Asa Politik 2021
Sesungguhnya, kendatipun terdapat berbagai keterbatasan, infrastruktur politik kita selama ini telah terbangun. Karenanya, guna meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air, infrastruktur politik harus diperkuat. Penguatan infrastruktur politik sejalan dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi yang demokratis (UUD 1945).
Dalam kerangka tersebut, demokrasi dikembangkan dalam bingkai Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machstaats). Negara memiliki tanggung jawab pembangunan bidang politik dan demokrasi, sebagai fondasi yang penting dalam mendorong terwujudnya cita-cita nasional dalam upaya untuk menyejahterakan rakyat.
Sesungguhnya, kendatipun terdapat berbagai keterbatasan, infrastruktur politik kita selama ini telah terbangun.
Penguatan masyarakat madani dan parpol
Memperkuat pendapat Azyumardi, perlu digarisbawahi, bahwa pembangunan infrastruktur politik mempersyaratkan adanya kemandirian masyarakat yang ditunjukkan terutama melalui keberadaan masyarakat madani (civil society). Konstitusi kita menjamin adanya organisasi sebagai saluran aspirasi masyarakat dan kebebasan menyatakan pendapat, sehingga memberikan kesempatan yang terbuka bagi hadirnya kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang mencerminkan keberadaan civil society.
Dalam suatu negara yang majemuk seperti Indonesia, hadirnya beragam aspirasi masyarakat melalui berbagai kelompok kepentingan, merupakan hal yang wajar dan seyogianya terus dikembangkan selaras dengan tradisi kehidupan bangsa yang demokratis sesuai dengan cita-cita nasional.
Baca juga: Ketahanan Masyarakat Sipil
Selain memperkuat kelembagaan dan peran civil society, penguatan infrastruktur politik juga berkaitan dengan penguatan peran dan fungsi media massa sebagai pilar keempat demokrasi, tentu juga penguatan kelembagaan partai-partai politik. Terkait dengan partai-partai politik, sejarah politik dan demokrasi di Tanah Air, mencatat kehadirannya secara formal, setelah adanya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945.
Maklumat yang menyebutkan, “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik,” tersebut segera disambut antusias oleh masyarakat melalui pendirian partai-partai politik, seperti antara lain Masyumi pada 7 November 1945 serta Partai Nasional Indonesia (PNI) yang juga hadir kembali, yang kesemuanya turut ambil bagian dalam Pemilu 1955, yang jumlah peserta pemilunya 29 parpol.
Hingga dewasa ini, di tengah perkembangan politik dan demokrasi Tanah Air yang dinamis, partai-partai politik terus dituntut untuk semakin berperan dalam upaya peningkatan kualitas demokrasi.
Partai-partai politik memiliki posisi dan peran yang strategis dalam menjembatani infrastruktur dan suprastruktur politik. Partai politik berjuang untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik yang harus sejalan dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Partai politik memiliki berbagai fungsi utama, antara lain fungsi penyerapan dan penyaluran aspirasi masyarakat, melakukan perkaderan, pendidikan, dan sosialisasi politik di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Parpol Terasa Jalan di Tempat
Keberadaan partai politik dapat dikatakan merupakan syarat utama dalam sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi, yang ditandai oleh penyelenggaraan pemilu secara berkala dalam rangka menjamin rotasi kekuasaan, sekaligus dapat berfungsi menjadi kekuatan penyeimbang.
Dalam konteks inilah, selaras dengan penguatan infrastruktur politik di Tanah Air, penguatan kelembagaan partai-partai politik, sangat penting dan mendasar. Sebagaimana saya sampaikan dalam disertasi yang saya pertahankan dalam kajian ilmu politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2007, selain faktor kepemimpinan (leadership), kuatnya kelembagaan partai politik mempersyaratkan adanya kesisteman (systemness) dan infrastruktur partai yang kokoh, kuatnya kemandirian dan adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis (autonomous decision), serta melekatnya di benak masyarakat program-program utama yang menjadi agenda perjuangan partai-partai politik (reification).
Dalam konteks inilah, selaras dengan penguatan infrastruktur politik di Tanah Air, penguatan kelembagaan partai-partai politik, sangat penting dan mendasar.
Sistem pemerintahan dan pemilu
Penguatan kelembagaan partai-partai politik, mengisyaratkan bahwa hanya partai-partai politik yang kuat kelembagaannya lah yang mampu bertahan dalam kontestasi elektoral yang demokratis. Sehingga, dalam konteks ini, penguatan kelembagaan partai juga berkontribusi dalam mendorong proses penyederhanaan sistem kepartaian, sekaligus memperkuat sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Secara teoretis, penguatan sistem pemerintahan presidensial akan berjalan efektif, manakala ditopang oleh sistem kepartaian sederhana, dengan jumlah partai politik yang tidak terlalu banyak, di mana satu sama lain terdorong untuk membiasakan terbentuknya tradisi koalisi politik yang efektif.
Baca juga: Penerapan Sistem Proporsional Tertutup Harus Disertai Reformasi Partai Politik
Dalam rangka penguatan kelembagaan partai politik, juga patut dipertimbangkan konteks keselarasannya dengan sistem pemilu yang diterapkan. Sistem pemilu yang sangat berpotensi memperkuat kelembagaan partai politik adalah sistem pemilu yang dilakukan dengan memilih partai politik, bukan perorangan.
Dari pengalaman yang mengemuka dalam perjalanan pemilu di Indonesia sejak 1955 hingga dewasa ini, sistem pemilu yang memberi kesempatan pemilih untuk memilih partai politik atau dengan mencoblos tanda gambar partai politik, ialah sistem proporsional tertutup. Sistem ini pernah diterapkan sejak Pemilu 1955, berlanjut ke pemilu-pemilu semasa Orde Baru (dari 1971 hingga 1997).
Sistem proporsional tertutup lebih menjamin penguatan kelembagaan partai politik, ketimbang sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak seperti dewasa ini. Implementasi sistem proporsional terbuka, telah memperoleh berbagai kritik dari masyarakat, ketika yang mengemuka sering kali adalah praktik-praktik pragmatisme transaksional dan maraknya politik uang.
Di sisi lain, dalam konteks kelembagaan partai politik, sistem tersebut cenderung memperlemah. Partai-partai politik dihadapkan pada pilihan yang sering kali mengabaikan proses perkaderan internal partai, dan cenderung sekadar menonjolkan keterkenalan serta kemampuan finansial calon.
Oleh karena itu, kita perlu menyambut baik salah satu usulan yang mengemuka pada RUU tentang Pemilu yang hendak dibahas di DPR, bahwa sistem pemilu yang diusulkan adalah sistem proporsional tertutup, di mana pemilih memilih tanda gambar parpol. Manakala sistem itu disetujui, maka kesempatan partai-partai politik untuk memperkuat kelembagaannya, semakin terbuka.
Juga, partai-partai politik akan memperkuat proses perkaderan internalnya, dan melalui proses demokrasi internal, hanya kader-kader yang memenuhi kualifikasi terbaik yang mampu mengemban visi dan misi partainya lah, yang layak diajukan sebagai calon dalam pemilu. Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilih dalam pemilu, juga tidak tergoda untuk melakukan praktik-praktik pragmatisme-transaksional. Semua ini, arahnya adalah dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi di Tanah Air.
Akbar Tandjung, Pendiri Akbar Tandjung Institute, Jakarta.