Ekonomi Kesehatan dan Tingkat Serapan Vaksin
Ada potensi alternatif kebijakan berbiaya murah dengan dampak lebih efektif dalam meningkatkan serapan vaksin, yaitu dengan memanfaatkan berbagai program perlindungan sosial yang ada, khususnya bantuan tunai bersyarat.
”Tantangan keberhasilan serapan vaksin tidak hanya ada di sisi suplai, tetapi juga di sisi permintaan.”
Demikian diungkapkan Dr Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Amerika Serikat. ”Untuk memastikan serapan vaksin yang tinggi, terutama pada kelompok berpendapatan rendah, ada alternatif kebijakan berbiaya murah,” katanya lebih lanjut.
Meskipun efektivitas vaksin (Covid-19) mencapai 100 persen, tetap dibutuhkan usaha untuk meyakinkan orang-orang agar mau menerima vaksin itu.
Kita tentu menyambut baik rencana pembiayaan penuh vaksin Covid-19 oleh pemerintah, tetapi ucapan Fauci mengingatkan bahwa meski dari sisi suplai, seperti pengadaan vaksin, pembiayaan, dan alur logistik telah disiapkan, kesuksesan program vaksinasi tetap bergantung pada permintaan.
Sayangnya, perilaku pencarian kesehatan (health seeking behaviour) bukan perkara sederhana. Faktor nonfinansial lain, seperti kemudahan akses dan kepercayaan masyarakat terhadap manfaat vaksin, sangat menentukan serapan vaksin (immunization uptake). Dengan kata lain, akseptabilitas dan kemauan masyarakat untuk divaksin menjadi kunci.
Sayangnya, perilaku pencarian kesehatan (health seeking behaviour) bukan perkara sederhana.
Faktor permintaan
Dalam konteks ini, penting untuk memperhatikan beberapa aspek faktor permintaan dari sudut pandang ekonomi.
Pertama, kita dapat memetik wawasan Michael Grossman, ekonom yang berpengaruh dalam mengukuhkan bidang ekonomika kesehatan. Hampir 50 tahun lalu, Grossman memperkenalkan konsep yang intuitif mengenai permintaan untuk kesehatan (demand for health). Ia meyakini, manusia memiliki stok kesehatan yang seiring waktu akan terdepresiasi. Untuk terus mempertahankan stok tersebut, manusia perlu berinvestasi pada tubuhnya.
Untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan, kita dapat mengonsumsi makanan sehat, berolahraga secara teratur, dan memeriksakan diri ke dokter. Namun, semua itu membutuhkan waktu dan biaya.
Tentu sulit membayangkan seseorang menghabiskan seluruh waktu dan usahanya untuk jadi sehat. Sebab, itu artinya aktivitas penting lain, seperti mencari nafkah dan menikmati waktu senggang, dikorbankan.
Dari konsep Grossman, kita juga tahu bahwa mereka yang berpendapatan tinggi dan berpendidikan akan melakukan aktivitas investasi lebih terhadap kesehatan mereka. Kedua aspek ini memengaruhi persepsi mereka mengenai manfaat kesehatan. Dengan kata lain, variasi pola health seeking behaviour tidak terelakkan.
Kedua, studi TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) tahun 2018 yang menilik dampak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap penggunaan layanan kesehatan mengonfirmasi prediksi Grossman. Kehadiran program JKN tahun 2014 yang bersifat wajib praktis menghilangkan rintangan finansial (financial barrier) bagi masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.
Namun, peningkatan penggunaan layanan kesehatan didominasi oleh kelompok yang relatif berpendapatan menengah atas. Sementara 40 persen kelompok termiskin yang termasuk dalam penerima bantuan iuran (PBI) justru lebih jarang mengunjungi fasilitas kesehatan ketimbang mereka yang membayar iuran secara mandiri.
Hal ini sebenarnya kontraintuitif. Tidak sedikit kajian epidemiologi justru mendokumentasikan bahwa kelompok yang relatif miskin itulah yang sebenarnya lebih sakit.
Tentu ada persoalan disparitas akses ke fasilitas kesehatan. Namun, perilaku yang sama ditemukan di kelompok miskin kota di mana akses ke fasilitas kesehatan lebih baik. Ini artinya kelompok miskin, meski seluruh biaya layanan kesehatan dijamin pemerintah, punya pertimbangan yang berbeda.
Bagi banyak pekerja sektor informal yang bergantung pada pendapatan harian, keputusan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan berdampak besar: berarti mengorbankan pendapatan mereka, hari itu.
Persoalan serapan imunisasi juga terjadi di Indonesia, padahal skema pembiayaan melalui anggaran belanja pemerintah telah siap menjamin penuh.
Maka, tidak mengherankan bahwa pola serupa berlaku untuk imunisasi. Meskipun imunisasi adalah bentuk intervensi efektif biaya (cost effective) dalam meningkatkan kelangsungan hidup di negara berkembang, data WHO tahun 2019 menyebutkan, secara global masih terdapat 19,7 juta anak di bawah usia 1 tahun yang belum mendapat vaksin dasar lengkap.
Tantangan serapan vaksin
Persoalan serapan imunisasi juga terjadi di Indonesia, padahal skema pembiayaan melalui anggaran belanja pemerintah telah siap menjamin penuh. Terlepas berbagai upaya untuk meningkatkan serapan, cakupan vaksinasi lengkap pada anak berusia 12-23 bulan menurun dari 59,2 persen pada 2013 menjadi 57,9 persen tahun 2018 (Riskesdas 2018).
Jika dicocokkan dengan data Kependudukan dan Catatan Sipil tahun 2020, dengan pertumbuhan populasi sekitar 2,5 juta penduduk, artinya ada sekitar 1 juta anak berusia 12-23 bulan yang tidak mendapatkan paket vaksinasi lengkap setiap tahunnya. Selain itu, cakupan 60 persen sebenarnya jauh dari ideal, terutama dalam konteks pembentukan kekebalan komunitas (herd immunity).
Kontra argumennya adalah vaksin Covid-19 mayoritas untuk kelompok usia dewasa dan bahwa konteks pandemi seharusnya otomatis meningkatkan serapan vaksin. Namun, cakupan vaksinasi anak 60 persen bisa jadi mencerminkan perilaku orang dewasa.
Survei penerimaan vaksin Covid-19 yang dilakukan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) bersama Kementerian Kesehatan turut menguatkan kekhawatiran ini. Dari 115.000 responden yang tersebar di 508 kabupaten/kota, ada 65 persen responden yang menyatakan mau menerima vaksin, sementara ada 28 persen yang menjawab ragu-ragu.
Pola respons ini juga mencerminkan perbedaan tingkat pendapatan. Misalnya, 30 persen responden kelompok miskin hingga kelompok calon kelas menengah, yang meliputi 68 persen total responden, menyatakan ragu-ragu.
Sebaliknya, hanya 20 persen dari kelompok kaya yang menjawab ragu. Tentu idealnya kita ingin memperkecil jumlah yang ragu sehingga semakin banyak populasi yang mau divaksin.
Serapan vaksin pada kelompok miskin dan rentan miskin krusial, selain untuk mendapatkan perlindungan dari virus, juga untuk terlindungi dari dampak ekonomi yang berkepanjangan. Ini mengingat mayoritas pekerja sektor informal Indonesia bergantung pada pendapatan harian. Terkena Covid-19 berarti menimbulkan guncangan ekonomi yang akan mengacaukan pola konsumsi rumah tangga, yang pada gilirannya akan berdampak pada asupan nutrisi anak di dalam rumah tangga tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana meyakinkan kelompok miskin hingga calon kelas menengah agar bersedia diimunisasi?
Opsi kebijakan
Tentunya wajar untuk menitikberatkan kebijakan pada ekspansi promosi dan edukasi ke seluruh lapisan masyarakat agar mau menerima vaksin. Namun, ada potensi alternatif kebijakan berbiaya murah dengan dampak lebih efektif dalam meningkatkan serapan vaksin, yaitu dengan memanfaatkan berbagai program perlindungan sosial yang ada, khususnya bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer/CCT).
Dengan modifikasi sederhana ini, pemerintah juga tidak perlu menambah alokasi pendanaan untuk program.
Ada tiga alasan mengapa ini patut dipertimbangkan. Pertama, mekanisme CCT tidak bermaksud mengubah status pembiayaan penuh vaksin oleh pemerintah. Dengan sedikit memodifikasi ketentuan penerimaan manfaat pada program perlindungan yang ada, pemerintah dapat memberikan insentif finansial kepada keluarga penerima manfaat jika bersedia divaksin. Dengan modifikasi sederhana ini, pemerintah juga tidak perlu menambah alokasi pendanaan untuk program.
Perlu dicatat bahwa kita sudah memiliki preseden dalam implementasi program berbasis CCT ini. Program sosial reguler, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang dirintis sejak 2007, adalah salah satunya. PKH setiap tahunnya membantu 10 juta keluarga dari 20 persen populasi termiskin dan memiliki berbagai komponen bantuan.
Sebagai contoh, PKH memberikan tambahan bantuan tunai jika ada anak di dalam keluarga itu menyelesaikan program vaksin secara lengkap.
Teknis implementasi pemberian insentif untuk vaksin Covid-19 dapat menggunakan kriteria anggota keluarga rentan (berusia di atas 55 tahun) ataupun pencari nafkah utama untuk divaksin lebih awal pada fase pertama.
Sisa insentif diberikan pada fase selanjutnya ketika semua anggota keluarga telah divaksin. Hal ini tentu perlu didukung sinkronisasi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan juga pendamping desa untuk memastikan program tepat sasaran dan efektif.
Kedua, kebijakan CCT untuk mendongkrak serapan vaksin sama sekali bukan hal baru. Program serupa pernah diuji di negara berkembang, seperti Meksiko, Brasil, dan India.
Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, keduanya peraih Nobel Ekonomi, dalam studi mereka di perdesaan India dan dipublikasikan di jurnal terkemuka British Medical Journal pada 2010, menemukan bahwa kebijakan CCT 20 persen lebih efektif dalam meningkatkan serapan. Selain itu, kebijakan CCT juga memiliki ekses positif terhadap mereka yang bukan penerima bantuan.
Ketiga, pengalaman pemerintah di PKH tentu dapat menjadi acuan untuk mereplikasi pendekatan serupa di program perlindungan sosial lainnya, termasuk dalam konteks meningkatkan serapan vaksin. Selain PKH, pemerintah juga dapat memanfaatkan program bantuan langsung tunai (BLT) dana desa yang menyasar 50 persen dari populasi termiskin, yakni 12,3 juta keluarga penerima program bantuan sosial reguler.
Modifikasi program
Modifikasi ketentuan program juga sangat mungkin dilakukan pada program lainnya, seperti bantuan beras ataupun program serupa yang pengelolaannya ada di daerah.
Tanpa perubahan jumlah alokasi anggaran, modifikasi ketentuan ini dapat dilakukan pada petunjuk teknis program PKH ataupun BLT dana desa melalui pembahasan bersama kementerian terkait. Di antaranya Kementerian Sosial, Bappenas, dan Kementerian Kesehatan.
Ucapan Fauci mengingatkan pada adagium To govern is to foresee. Maka dari itu, tak ada salahnya bersikap antisipatif.
(Giovanni van Empel, Peneliti Doktoral Bidang Ekonomika Kesehatan di Monash Business School, Melbourne, Australia)