Sinyal ”Ping” Kotak Hitam Terdeteksi, Awal Terkuak Jatuhnya SJ-182
Kecelakaan Boeing 737-500 Sriwijaya Air menjadi sorotan dunia aviasi yang kembali mempertanyakan tingkat keselamatan penerbangan Indonesia di tengah pandemik Covid-19, di mana ratusan pesawat terpaksa tidak terbang.
Peralatan sistem penginderaan dan survei bawah laut kapal survei TNI AL KRI Rigel, Minggu (9/1/2021) siang, berhasil menangkap sinyal ”ping-ping” dari emergency locator transmitter (ELT) pesawat Boeing 737-500 Sriwijaya Air yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Sabtu (8/1).
Dua kapal survei dikerahkan dalam pencarian peawat registrasi PK-CLC tersebut: KRI Rigel dan KRI Sica buatan Perancis yang memiliki sistem penginderaan dan survei bawah laut termodern di Asia Tenggara.
Sabtu pekan lalu, sinyal darurat pada frekuensi 121.5 MHz sampai 406 MHz yang dipancarkan ELT tersebut setiap 50 detik selama 24 hingga 48 jam belum tertangkap. Alat ini menyatu pada kotak hitam flight data recorder (FDR)/cockpit voice recorder (CVR) yang dirancang tahan segala benturan, g-force (tarikan bumi), suhu panas ekstrem, ataupun suhu minus 20 derajat celsius.
Baca Juga: Menduga Penyebab Jatuhnya Pesawat
ELT terbaru yang terpasang pada fin (sirip tegak) bagian belakang badan pesawat sekarang mampu memancarkan sinyal ping hingga 90 hari. Penempatan alat itu di bagian ekor pesawat karena tempat tersebut adalah yang paling aman apabila terjadi kecelakaan.
Terdeteksinya pancaran sinyal ELT berarti lokasi kotak hitam (black-box) berwarna bright orange sudah ditemukan. Akan tetapi, akibat cuaca buruk, sampai Senin (11/1) belum bisa diambil dari dasar laut.
Apabila data kotak hitam yang direkam FDR dan CVR sudah dapat dibaca dan dibahas oleh tim investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), yakni badan penyelidik resmi pemerintah yang berwenang dalam melakukan investigasi, baru bisa terkuak the most probable cause, atau penyebab yang paling memungkinkan atas jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182.
Dalam kecelakaan SJ-182, faktor cuaca yang sedang hujan tampaknya kemungkinan ikut juga menyumbang penyebab pesawat jatuh.
Multifaktor
Penyebab kecelakaan pesawat kontributornya multifaktor, di antaranya adalah cuaca, perawatan pesawat, human error yang umumnya dikaitkan dengan pilot-error meskipun bukan selalu pilot saja.
Dalam kecelakaan SJ-182, faktor cuaca yang sedang hujan tampaknya kemungkinan ikut juga menyumbang penyebab pesawat jatuh. Yang menjadi pertanyaan adalah pesawat terlihat tidak ke arah 075 derajat, tetapi tiba-tiba berbelok ke barat laut. Air Traffic Control (ATC) yang meminta laporan perubahan arah tersebut tidak menerima jawaban karena pesawat sudah hilang dari pantauan radar.
Dari analisis awal tanpa dasar data kuat dari kotak hitam, kemungkinan perubahan arah itu terjadi tiba-tiba oleh masalah teknis pada control surface pada rudder (kemudi kelok) atau oleh elevator (kemudi turun-naik). Pilot berusaha memperbaiki kembali ke arah 075, dan hal ini menyibukkan dirinya dalam hitungan detik sehingga ia tak sempat melapor.
Baca Juga: Penemuan Kotak Hitam Percepat Pengungkapan Penyebab Kecelakaan
Sayang, saksi mata nelayan yang melihat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air tidak dapat menjelaskan dengan detail perilaku jatuhnya ke laut, apakah jatuh menghunjam langsung ke perairan dengan sudut tajam atau masih meluncur melayang.
Pada kasus jatuhnya pesawat Boeing 737MAX Lion Air di perairan Karawang dalam penerbangan Jakarta-Bangka Belitung pada 29 Oktober 2018, sebelum pesawat jatuh ke laut, saksi mata melihat pesawat meluncur melayang meliuk naik-turun sebelum impak dengan permukaan air.
Pilot saat itu sedang berusaha mengambil alih kendali dari alat anti-stall, perangkat baru yang diperkenalkan oleh pabrik Boeing. Semua 189 penumpang dan awaknya meninggal. Apabila nanti data kotak hitam penerbangan SJ-182 menunjukkan ada masalah pada rudder dan elevator, yakni salah satu kemungkinan kontributor faktor jatuhnya 737-500 Sriwijaya tersebut, hal itu tidak terlepas dari masalah perawatan pesawatnya. Tentunya juga, tidak terlepas dari budget keuangan perusahaan.
”Downdraft”
Dalam perbincangan dengan Capt John Brata yang mantan penerbang Kepolisian Negara RI, ia berpendapat bahwa kemungkinan Boeing 737-500 Sriwijaya Air tersebut tersedot downdraft pada detik-detik berbelok ke kanan.
Analisisnya didasarkan pada pengalaman pribadinya dua kali kena downdraft. Kejadian pertama, dalam penerbangan Padang-Jambi, ia terkena downdraft pada ketinggian 16.000 kaki, dalam hitungan detik tersedot sampai pada ketinggian 12.000 kaki. Pengalaman kedua terjadi saat pada penerbangan Pulau Rote ke Kupang, ia tersedot sampai titik ketinggian 7.500 kaki.
”Cuaca saat itu terang benderang... tiba-tiba saja terkena downdraft,” Captain John Brata mengenang pengalamannya tersebut.
Downdraft merupakan fenomena cuaca yang membuat ruangan udara kehilangan tekanan atau hampa tiba-tiba.
Istilah populer adalah masuk ruang hampa udara sehingga pesawat tiba-tiba ”anjlok”, seperti pengalaman pribadi saya dalam penerbangan Singapura-Los Angeles di atas Samudra Pasifik.
Pesawat jumbo jet Boeing 747 Singapore Airlines tiba-tiba anjlok 2.000 kaki saat sedang terbang di ketinggian jelajah 40.000 kaki dalam cuaca cerah. Itulah salah satu sebab para penumpang selalu diminta mengenakan seat belt demi keselamatannya.
Baca Juga: Mesin SJ-182 Diduga Masih Hidup Sebelum Membentur Air
Apabila terkena fenomena cuaca ini, pesawat akan kehilangan tenaga dan tersedot ke bawah diiringi dengan kehilangan ketinggian yang drastis dalam hitungan detik. Akan sangat fatal sekali apabila saat itu pesawat sedang meluncur naik menuju ketinggian aman terbang jelajahnya.
Dalam penerbangan SJ-182, pesawat sedang meluncur pada 10.000 kaki menuju ketinggian 11.000 kaki, tiba-tiba saat berbelok ke kanan kemungkinan langsung terjebak dalam downdraft dan terempas sampai 250 kaki, yakni ketinggian terakhir yang terpantau radar sebelum jatuh ke perairan Kepulauan Seribu.
Kejadiannya sangat singkat, hanya 4 menit setelah Boeing 737-500 Sriwijaya Air yang dipiloti Captain Afwan lepas landas dari Soekarno-Hatta International Airport pukul 14.35 WIB. Tiba-tiba, pesawat bekas pakai maskapai AS Continental Airlines dan United Airlines tersebut terpantau berbelok ke kanan dan hilang kontak.
Kecelakaan fatal Boeing 737-500 Sriwijaya Air ini menjadi sorotan dunia aviasi yang kembali mempertanyakan tingkat keselamatan penerbangan Indonesia di tengah pandemik Covid-19, di mana ratusan pesawat terpaksa tidak terbang dan diparkir, tidak terlepas butuh biaya tambahan untuk merawatnya.
Belum lagi menjaga keterampilan para awak dan tenaga teknisinya. Jadi, tidak mengherankan menjadi sorotan dunia karena kecelakaan terjadi di pembuka tahun 2021. Kita mencatat, dalam kurun 18 tahun sejak tahun 2002, sebanyak 12 pesawat komersial jatuh.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Tahapan Perawatan Pesawat Terbang
Jumlah ini belum terhitung insiden-insiden yang terjadi yang mengakibatkan sejak tahun 2007 Indonesia ditempatkan ke dalam kelompok negara yang dinilai tidak mampu memenuhi syarat standar keselamatan penerbangan internasional yang ditetapkan badan dunia, International Civil Aviation Organisation (ICAO). Akibatnya, pesawat komersial registrasi Indonesia dilarang masuk wilayah udara Eropa dan Amerika sekitar sepuluh tahun lamanya.
Baru setelah membenahi diri pada 2016, Indonesia berhasil masuk kembali ke dalam kelompok negara yang memenuhi persyaratan standar keselamatan penerbangan internasional.
Bahkan, pada audit terakhir, ICAO menilai pencapaian Indonesia dalam aspek keselamatan penerbangan berada di atas rata-rata dunia. Suatu prestasi luar biasa!
Sekarang, yang menjadi pertanyaan, apakah prestasi tersebut masih mampu dipertahankan dengan terjadinya kecelakaan fatal SJ-182? Masih menjadi pertanyaan sebab masih menunggu hasil investigasi yang akan dilaksanakan setelah kotak hitam sudah dibaca dan dibahas oleh KNKT.
(Dudi Sudibyo, Wartawan Senior)