Keseimbangan alam merupakan kunci untuk menjaga keselarasan kehidupan manusia dengan lingkungan. Alam akan memberikan kehidupan yang lebih jika dijaga dengan baik dan tidak dieksploitasi secara berlebihan.
Oleh
PUTRI DIAH EKOWATI
·5 menit baca
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Merespons hal tersebut, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Sesuai dengan definisi pada Undang-Undang Penanggulangan Bencana, disebut sebagai bencana nonalam karena pandemi Covid-19 merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam. Dengan kata lain, pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia adalah bencana yang manusia buat sendiri.
Hari Lingkungan Hidup 10 Januari ini dapat menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan hubungan sebab akibat antara krisis lingkungan hidup dan bencana pandemi Covid-19, yang sepertinya tidak berhubungan tetapi sejatinya amat terkait. Masing-masing muncul dari keengganan untuk menghormati hubungan antara manusia dan keanekaragaman hayati pada alam.
Wabah penyakit baru yang berbahaya dengan potensi menjadi pandemi telah meningkat, dari HIV, flu babi, SARS, zika, ebola, hingga sekarang Covid-19. WHO memperkirakan, 61 persen dari semua penyakit menular manusia berasal dari zoonosis, sedangkan 75 persen penyakit menular baru yang ditemukan dalam dekade terakhir adalah zoonosis.
Banyak wilayah di China merupakan daerah berisiko tinggi karena komunitasnya yang padat, beberapa di antaranya memiliki tradisi mengonsumsi dan beternak satwa liar. Seperti pendahulunya, SARS, Covid-19 diperkirakan berasal dari kelelawar dan kemudian ditularkan ke manusia melalui inang hewan lain, kemungkinan di pasar basah yang memperdagangkan hewan hidup.
Namun, masalah tersebut tidak hanya terbatas di China, tetapi juga di banyak negara. Di Afrika, perdagangan hewan liar yang sebagian besar tidak terkendali terus ada dengan risiko besar bagi orang-orang di seluruh dunia. Krisis HIV/AIDS pada 1980-an terkait dengan konsumsi beberapa kera besar.
Wabah ebola muncul di Afrika Tengah ketika penggunaan lahan berubah serta kondisi iklim yang berubah memaksa kelelawar dan simpanse berkumpul di sekitar area terkonsentrasi pada sumber makanan, juga terkait dengan perdagangan daging hewan liar.
Menurut laporan Preventing the Next Pandemic dari UN Environment Programme, selama dua dekade terakhir dan sebelum Covid-19, penyakit zoonosis menyebabkan kerusakan ekonomi sebesar 100 miliar dollar AS. Tragisnya, 2 juta orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah meninggal setiap tahun akibat penyakit zoonosis endemik yang terabaikan, seperti antraks, tuberkulosis sapi, dan rabies. Hal ini sering kali dialami oleh komunitas dengan masalah pembangunan wilayah, ketergantungan tinggi pada ternak, dan kedekatan dengan satwa liar.
Kita harus dapat mengidentifikasi akar masalah dari wabah zoonosis tersebut. Banyak ahli sekarang percaya bahwa lonjakan penyakit menular baru ini sebagian didorong oleh beberapa praktik manusia yang paling merusak lingkungan, seperti penggundulan hutan dan perburuan, yang mengarah pada peningkatan kontak antara populasi manusia yang berpindah-pindah dan hewan liar.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia memperburuk keadaan ini. Seiring dengan hilangnya habitat, pergeseran zona iklim menyebabkan satwa liar bermigrasi ke tempat baru, tempat mereka berinteraksi dengan spesies lain yang belum pernah mereka temui sebelumnya yang meningkatkan risiko munculnya penyakit baru.
Perubahan iklim juga memengaruhi kesehatan dan penyakit manusia dengan berbagai cara. Beberapa ancaman kesehatan yang ada akan semakin intensif dan ancaman kesehatan baru akan muncul. Dampak kesehatan dari gangguan ini, misalnya, dapat berupa peningkatan penyakit pernapasan dan kardiovaskular serta cedera dan kematian dini terkait dengan cuaca ekstrem. Hal ini dapat meningkatkan risiko yang memperburuk kerentanan kita terhadap berbagai ancaman kesehatan.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada masa pandemi Covid-19 juga patut diwaspadai. Sistem imun di saluran pernapasan bisa jadi menurun karena menghirup asap karhutla. Pencemaran udara dan asap karhutla dapat meningkatkan penyebaran virus Covid-19 karena partikel debu halus dapat menjerat virus dan kondisi aerosol yang diciptakan asap memberikan peluang virus melayang lebih lama di udara.
Kesiapan tenaga medis di area rawan karhutla sangat penting untuk bisa mendeteksi lebih dini apakah pasien mengalami gangguan ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) biasa atau Covid-19 karena gejalanya mirip.
Untuk memahami dan merespons Covid-19 secara efektif serta penyakit menular baru lainnya yang mungkin akan kita temui di masa mendatang, pembuat kebijakan perlu mengakui dan merespons dengan memandang kesehatan masyarakat secara holistik yang mencakup kesehatan lingkungan alam.
Kesehatan manusia bergantung pada ekosistem yang sehat, tetapi hal ini terkadang tidak dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan pada kegiatan dan proyek yang memengaruhi ekosistem alam, seperti pembukaan lahan, proyek infrastruktur, transportasi, dan pertanian skala industri.
Pandemi Covid-19 saat ini merupakan peringatan dari konsekuensi akan abainya kita pada keterkaitan tersebut. Jika kita ingin membatasi munculnya wabah baru dan pandemi di masa depan, kita harus menghentikan eksploitasi dan degradasi lingkungan serta segera mengurangi emisi karbon kita.
Penanganan pandemi saat ini memang masih berfokus pada 3T (testing, tracing, treatment) dan penegakan protokol kesehatan. Namun, penting bagi kita untuk juga berinvestasi dalam mengatasi penyebab utama masalah melalui konservasi keanekaragaman hayati dan menstabilkan iklim. Hal ini akan membantu menghindari penularan penyakit dari hewan ke manusia sejak awal.
Konsekuensi kesehatan, sosial, dan ekonomi dari Covid-19 dapat menjadi peringatan bagi pemerintah dan stakeholder untuk mengambil peran memastikan peningkatan kualitas lingkungan hidup pasca-Covid-19.
Keseimbangan alam merupakan kunci untuk menjaga keselarasan kehidupan manusia dengan lingkungan. Alam akan memberikan kehidupan yang lebih jika dijaga dengan baik dan tidak dieksploitasi secara berlebihan. Kita jaga alam, alam jaga kita.
(Putri Diah Ekowati, Analis Mitigasi Bencana pada Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)