Kewajiban Vaksin dan Hukum Pidana Administrasi
Jika memang menerima vaksin dapat menjauhkan masyarakat dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, sudah seharusnya itu menjadi "kewajiban" bersama kita untuk ikut serta penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, memasuki babak baru, dengan mulai dilancarkannya vaksinasi, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, pemerintah akan mulai melakukan vaksinasi, diawali dengan penggunaan vaksin Covid-19 Sinovac, yang telah diberikan izin penggunaan darurat (emergency use authorization) oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM).
Baca juga: Aspek Etis Vaksinasi
Presiden Joko Widowo, seperti dinyatakan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, bakal menjadi orang pertama yang akan menerima vaksin, dan sangat mungkin proses vaksinasinya dapat dilihat secara langsung oleh masyarakat.
Ini mungkin sebagai asas transparansi sekaligus edukasi kepada masyarakat perihal pentingnya vaksinasi.
Saking pentingnya, ada wacana yang menyatakan orang yang menolak divaksin (bagi yang memenuhi syarat divaksin) dapat dipidana dengan menggunakan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sanksi pidana
Menarik kemudian, apakah ini dibenarkan secara teori, khususnya dalam hukum administrasi negara? Harus diakui, dalam menjawab pertanyaan ini, sangat mungkin terdapat anti-teori lainnya yang bisa jadi menghasilkan analisis yang berbeda.
Indonesia yang menganut konsep welfare state, membawa konsekuensi bahwa pemerintah bertugas memberi kesejahteraan bagi rakyatnya.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia mengatur dalam Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, yang dalam hal ini adalah hak mendasar untuk memiliki kesehatan yang baik.
Indonesia yang menganut konsep welfare state , membawa konsekuensi bahwa pemerintah bertugas memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Kewajiban pemerintah adalah mewujudkan bestuurszoorg (kesejahteraan umum), dengan konsekuensinya pemerintah memiliki kewenangan untuk campur tangan (staatsbemoeienis) dalam segala sisi kehidupan masyarakat (Ridwan, 2016:229).
Baca juga: Problematika Vaksin Covid-19
Bentuk campur tangan itu salah satunya dapat dilihat dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, yang memerintahkan setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, yaitu upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 1 Angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan).
Ketentuan itu bisa dibaca sebagai bentuk pengaturan hukum administrasi negara, yang didefinisikan De La Bassecour Caan sebagai himpunan peraturan tertentu yang menjadi sebab negara berfungsi/beraksi, atau tegasnya peraturan yang mengatur hubungan warga negara dengan negara, yang dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah (Mustafa, 1985:48).
Selanjutnya, ketidakpatuhan terhadap “kewajiban” itu diancam Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, yang pada intinya setiap orang yang tak mematuhi dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, diancam pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Dengan melihat ketentuan tersebut, terlihat jelas UU Kekarantinaan Kesehatan ditempatkan sebagai hukum pidana administrasi (administrative penal law), yaitu regulasi dan/atau produk legislasi atau peraturan perundang-undangan yang berdimensi hukum administrasi negara, namun memiliki sanksi pidana (Tjandra, 2018:22).
Baca juga: Komunikasi Vaksin
Hal tersebut merupakan perwujudan kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi yang merupakan bentuk fungsionalisasi hukum pidana (Arief, 2003:11). Dengan mendasarkan teori-teori tersebut, dapat dipahami bahwa menggunakan hukum pidana untuk memaksa keberlakuan hukum administrasi negara pada dasarnya memiliki dasar teoretik.
Efektivitas sanksi
In casu a quo, dapat dipahami bahwa kemungkinan untuk menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan adalah merupakan “upaya paksa” pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas hingga 70 persen atau sekitar 182 juta rakyat yang mendapat vaksin.
Dalam penggunaannya, sanksi pidana harus sesuai dengan asas kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, serta keseimbangan.
Diksi “kemungkinan” digunakan penulis, mengingat karena hukum pidana mengenal prinsip dasar sebagai ultima ratio principle atau ultimum remidium atau upaya hukum terakhir yang akan digunakan apabila upaya hukum lain tiada berdaya guna. Sanksi pidana dirasakan jauh lebih berat dibandingkan sanksi dalam hukum perdata dan hukum administrasi (Muladi, 2016:2).
Dalam penggunaannya, sanksi pidana harus sesuai dengan asas kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, serta keseimbangan. Prinsip penerapan sanksi sebagai bentuk hukuman adalah tidak boleh disalahgunakan, harus bersifat efektif, tidak boleh terlalu berlebihan, serta tidak boleh terlalu merugikan (Bentham, 2010:361).
Baca juga: Tidak Ada Vaksin Gratis
Oleh karenanya untuk mengendalikan perkembangan dalam penggunaan hukum pidana, perlu mengacu pada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas sistem peradilan pidana yang mencakup “efficiency, effectiveness and fairness”, di antaranya profesionalisme penegak hukum (expertise, responsibility, and corporateness) (Muladi:14).
Berkaitan dengan upaya vaksinasi oleh pemerintah, hemat penulis penggunaan sanksi pidana hanya jika hukum pidana tak digunakan sebagai primum remidium, maka akan menimbulkan korban sangat besar dan/atau kerugian yang tidak bisa dipulihkan (Atmasasmita, 2010).
Tujuan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah melindungi masyarakat dari penyakit, mencegah dan menangkal penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat, dan memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.
Dari tujuan tersebut, jika memang menerima vaksin dapat menjauhkan masyarakat dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, sudah seharusnya itu menjadi “kewajiban” bersama kita pula untuk ikut serta penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana amanah Pasal 9 ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan.
Hendry Julian Noor, Dosen Departemen HAN FH UGM.