Kerja Sama Investasi di Indonesia
Indonesia menganut kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Kolaborasi akan dilakukan dengan seluruh negara, termasuk China, dengan mengedepankan kesetaraan dan kemaslahatan bersama.
Konfigurasi ekonomi dan politik dunia terus mengalami perubahan. Sejak dekade 2000-an, konstelasi ekonomi juga berubah, yaitu beberapa negara Asia menjadi pemain penting dalam panggung internasional, salah satunya China. Relasi Indonesia dan China telah berusia 70 tahun dan terus membaik dari waktu ke waktu, khususnya dalam hubungan ekonomi.
Sejak periode pertama pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengedepankan doktrin Poros Maritim Dunia (PMD) sebagai haluan politik luar negeri dan menggunakan diplomasi ekonomi untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia.
Doktrin PMD tersebut merupakan upaya mengaitkan dengan One Belt One Road (OBOR)—yang dipelopori China—yang kemudian berevolusi menjadi Belt and Road Initiative (BRI) sebagai ambisi besar menghubungkan Asia, Eropa, hingga Afrika dengan China sebagai pemimpin orkestranya.
Potret investasi China
Pada periode kedua ini, kepemimpinan Jokowi konsisten meningkatkan kerja sama ekonomi dengan China dengan tetap membuka pintu lebar-lebar bagi negara lain. Hal ini terlihat dari kontribusi China yang semakin besar dan nyata.
Apabila dilihat dari investasi asing langsung (foreign direct investment) selama 2015-2020 (triwulan III), China menempati posisi ketiga terbesar dengan nilai 17,29 miliar dollar AS di bawah Jepang (24,67 miliar dollar AS) dan Singapura (46,50 miliar dollar AS) (BKPM, 2020).
Investasi China pada 2015 hanya sebesar 0,63 miliar dollar AS dan menjadi 3,51 miliar dollar AS pada tahun 2020 atau naik sebesar 559 persen. Apabila dihitung pada triwulan III-2020 saja, posisi investasi China berada pada urutan kedua setelah Singapura.
Peningkatan investasi China di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari proyek BRI yang berfokus pada pengembangan jalur konektivitas, baik darat maupun laut, via pembangunan infrastruktur yang masif di berbagai negara yang didukung oleh China.
Gambaran data di atas memperlihatkan betapa pentingnya China bagi Indonesia; demikian pula sebaliknya. Indonesia melihat munculnya peluang meningkatkan pembangunan infrastruktur yang membutuhkan biaya sekitar Rp 4.796 triliun dengan adanya BRI. Indonesia memanfaatkan peluang yang ada untuk membangun infrastruktur di Indonesia, termasuk pembangunan tol laut.
Selain meningkatkan pembangunan infrastruktur yang digagas oleh Presiden Jokowi, BRI yang memiliki visi untuk menghubungkan jalur laut di Asia, Eropa, dan Afrika juga sejalan dengan visi PMD. Sejumlah proyek yang dijalankan antara lain pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Pembangunan pelabuhan ini guna mendukung infrastruktur jalur laut dan meningkatkan infrastruktur dan logistik dalam kegiatan ekspor dan impor melalui jalur laut.
Tentu saja tiap kolaborasi akan menemui kerikil dan aneka tantangan lainnya, tetapi secara keseluruhan kerja sama ini berjalan dengan baik. Tercatat sejumlah 10.083 proyek dan 228.563 pekerjaan tercipta untuk pekerja lokal selama tahun 2015-triwulan III-2020 (BKPM, 2020).
Rintangan yang baru adalah adanya global pandemic, yaitu investasi di seluruh dunia diproyeksi akan menurun. Sungguh pun begitu, berita bagusnya, hal ini tidak memengaruhi investasi China di Indonesia, yaitu jumlah investasi pada semester I-2020 meningkat sebesar 8,3 persen dari 1,2 miliar dollar AS menjadi 1,3 miliar dollar AS dibandingkan dengan semester I-2019.
Jika dilihat dari tiga sektor terbesar yang selama ini menjadi tujuan investasi China di Indonesia ialah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (42 persen); diikuti transportasi, gudang dan telekomunikasi (20 persen); serta listrik, gas, dan air (19 persen) selama 2015-triwulan III-2020 (BKPM, 2020).
Total investasi masing-masing sektor secara berurutan adalah 7,32 miliar dollar AS, 3,43 miliar dollar AS, dan 3,28 miliar dollar AS. Sektor sekunder mendominasi sebesar 51 persen dari total investasi yang tersebar di tiga lokasi utama, yaitu Sulawesi Tengah (28 persen), Jawa Barat (15 persen), dan Banten (12 persen). Hal ini bisa menjadi gambaran bahwa tiga sektor utama ini menjadi ketertarikan China kepada Indonesia sekaligus peluang yang bisa terus dirawat.
Pada masa depan, adanya perjanjian pembangunan smelter nikel untuk diproduksi menjadi baterai di Indonesia, tentu akan menambah peluang baru investasi China di Indonesia. Pada posisi ini keuntungan bagi Indonesia tidak hanya di bidang infrastruktur, tetapi juga di bidang pengolahan sumber daya alam.
Investasi yang semakin berkembang (meskipun dalam situasi pandemi) merupakan pencapaian positif, sambil harus diingat pemerintah masih mempunyai banyak pekerjaan untuk menciptakan lingkungan investasi yang baik dan ekosistem bisnis yang sehat.
Investasi bernilai tambah
Industri logam dasar menjadi fokus utama dari tujuan investasi China di Indonesia sebesar 42 persen. Di sisi lain, perkembangan mobil listrik yang Indonesia juga prospektif karena mempunyai cadangan nikel yang banyak (seperempat cadangan nikel di dunia). Hal ini membuka peluang bagi Indonesia membuka investasi pengolahan baterai bagi penggunaan mobil listrik.
Sebagai contoh, Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) sudah merencanakan investasi pengembangan baterai litium sebesar 5 miliar dollar AS, antara lain untuk mendukung produksi kendaraan listrik di Indonesia. Tentu saja ini membuka peluang baru lagi bagi perusahaan lainnya, termasuk dari China, untuk mengembangkan nikel di Indonesia.
Pengembangan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah dan Kawasan Industri Weda Bay di Maluku Utara, yang dibangun sejak Januari 2018 dan Mei 2019 telah menjadi showcase investasi China di Indonesia. Kedua kawasan merupakan kawasan industri terpadu yang mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang hingga menjadi berbagai produk akhir. Di antaranya, perusahaan-perusahaan di kawasan Morowali akan memproduksi baja nirkarat sebanyak 1 juta ton per tahun. Sementara itu, perusahaan-perusahaan di kawasan Weda Bay akan memproduksi berbagai olahan nikel termasuk baterai kendaraan listrik.
Sektor gudang dan transportasi juga terbuka menjadi primadona investasi China di Indonesia. Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung merupakan flagship di sektor ini. Nilai investasi total yang direncanakan sebesar Rp 81,3 triliun membuat proyek ini tidak hanya akan menghubungkan Jakarta dan Bandung, tetapi juga menumbuhkan kawasan yang dilewatinya, khususnya pengembangan kawasan Walini, Karawang, dan Halim di sektor perumahan dan bisnis.
Perkembangan hard infrastructure di Indonesia masih berkembang secara masif dan perlu diiringi dengan perkembangan soft infrastructure, seperti suplai listrik, kesejahteraan sosial, dan kesehatan. Aspek-aspek inilah yang akan mendukung perkembangan ekonomi dan juga meningkatkan daya tarik investasi asing lainnya ke Indonesia, sehingga ruang pengembangan bisnis di bidang soft infrastructure ini juga terbuka lebar. Apalagi, dengan jumlah penduduk sebanyak 267,7 juta jiwa, tentu Indonesia menjadi potensi pasar yang sangat besar untuk investasi.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memainkan peran yang semakin penting dalam mengurus kemudahan berusaha di Indonesia. Tugas utama yang diberikan Presiden antara lain adalah memastikan peningkatan peringkat ease of doing business (EODB), mengevaluasi pelaksanaan perizinan berusaha dan fasilitas investasi yang dilakukan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, dan memfasilitasi pemberian perizinan kepada pelaku usaha dan fasilitasi investasi.
Peningkatan peran yang semakin strategis ini mendorong BKPM fokus pada peningkatan investasi di sektor-sektor yang memberikan nilai tambah, di antaranya adalah industri padat karya berorientasi ekspor, hilirisasi pertambangan, energi baru terbarukan, dan infrastruktur.
Sebagai kalam penutup, Indonesia menganut kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Kolaborasi akan dilakukan dengan seluruh negara, termasuk China, dengan mengedepankan kesetaraan dan kemaslahatan bersama. Ke depannya, kerja sama investasi Indonesia dan China akan fokus pada penyerapan tenaga kerja lokal secara maksimal.
Interaksi ekonomi dengan negara lain, termasuk di bidang investasi, semuanya diselenggarakan untuk menyangga kepentingan nasional, seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan yang lain.
Di atas itu semua, hal yang tidak kalah penting adalah menjalankan kebijakan investasi inklusif, yakni penanaman modal yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan, mencegah ketimpangan, memastikan kolaborasi dengan pengusaha nasional, pengusaha nasional di daerah beserta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan menumbuhkan pelaku usaha kecil (UMKM). Inilah prinsip-prinsip yang harus dijadikan rujukan oleh Indonesia ketika bekerja sama di bidang ekonomi/investasi dengan semua negara.
Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal RI
*Konten ini merupakan kolaborasi Harian Kompas dan Kedutaan Besar China