Kejahatan Melawan Aparat
Potensi terjadi penggunaan kekuatan fisik yang mematikan atau bahkan police brutallity perlu diuji kebenarannya. Namun, senantiasa perlu dipandang seimbang dengan kemungkinan terjadi kekerasan masyarakat terhadap polisi.
”When justice fails, public opinion takes over. When the law is lost in the extremes of legalism, or bends under the weight of money, mobs begin to burn and murder.” (Ketika keadilan gagal, opini publik mengambil alih. Ketika hukum tersesat dalam kekakuan undang-undang atau dibengkokkan karena uang, massa mulai membakar dan membunuh).
Demikianlah sepenggal kata pengantar yang disampaikan Nono Makarim, sosok advokat senior dan kenamaan sekaligus ayah dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, dalam buku karangan OC Kaligis yang berjudul Cross Examination (Pemeriksaan Silang).
Maraknya kekerasan kolektif berupa tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu merupakan konsekuensi dari pembiaran dan penegakkan hukum yang lemah. Dampak dari pembiaran ini juga seolah memberikan legitimasi kepada sekelompok masyarakat tersebut untuk melakukan tindakan yang menyerupai wewenang penegak hukum, misalnya menyegel rumah ibadah yang dianggap tidak berizin, menertibkan tempat hiburan malam, dan melakukan tindakan represif lainnya, dengan alasan tidak sesuai pandangan subyektif mereka.
Pada saat anggota kelompok masyarakat tertentu berbenturan secara fisik dengan aparat kepolisian, bayangan pertama yang muncul di benak masyarakat adalah kekuatan yang tidak berimbang karena merupakan suatu pengetahuan umum (notoir feiten) aparat kepolisian pasti diperlengkapi dengan senjata, sedangkan masyarakat sipil akan terikat pada UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang memuat sanksi pidana, misalnya bagi setiap orang yang menguasai dan menggunakan senjata api tanpa disertai izin penggunaan.
Namun, bagaimana hukumnya jika kelompok masyarakat tertentu membawa senjata tajam atau bahkan senjata api untuk melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian, dan sejauh mana batasan dari tindakan tegas dan terukur yang dapat dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Hal ini mengingat di lapangan selalu terdapat kemungkinan ada diskresi dari aparat kepolisian untuk menggunakan kekuatan fisik yang mematikan (to use of deadly force), atau dalam konteks negatif melakukan ”police brutality”.
Pasal 212 KUHP
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Kepolisian, kepolisian dapat dikatakan merupakan satu-satunya institusi penegak hukum yang menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi dari kepolisian ini senantiasa perlu dijaga integritas dan obyektivitasnya agar tidak melahirkan fenomena ”a police state”, yang dapat bertentangan dengan demokrasi Pancasila sebagai Staatsfundamentalnoorm.
Dalam menjalankan tugas penyidikan yang disertai upaya paksa (dwang middelen), misalnya penangkapan atas seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, besar kemungkinan aparat kepolisian akan mendapatkan perlawanan yang disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Untuk itu, Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai Delik Kekerasan terhadap Aparat telah memberikan perlindungan hukum, semata-mata bertujuan agar aparat kepolisian tidak bertindak represif, dan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) sehingga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dari masyarakat sipil.
Menurut pandangan R Soesilo, paling tidak terdapat 3 (tiga) parameter dari penerapan Pasal 212 KUHP tersebut, yaitu pertama harus adanya perlawanan dengan mengggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menurut ketentuan Pasal 89 KUHP, misalnya dilakukan dengan cara merebut dan melepaskan seseorang yang hendak ditangkap oleh aparat kepolisian.
Kedua, perlawanan tersebut dilakukan oleh seseorang itu terhadap aparat kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya yang sah. Ketiga, seseorang yang melawan anggota kepolisian tersebut haruslah mengetahui atau setidak-tidaknya menyadari bahwa ia sedang melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian.
Meskipun sudah dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya, dalam praktik di lapangan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Potensi penggunaan kekuatan fisik yang mematikan (to use of deadly force) dan terjadinya police brutality sangat mungkin dilakukan oleh aparat kepolisian, yang kehilangan kendali dalam menjalankan diskresinya.
Hal ini pernah diungkapkan kriminolog senior TB Ronny Rahman Nitibaskara, yang mengutip pandangan dari Katzs, yaitu dalam kondisi lelah, penuh tekanan, dan keadaan yang tidak pasti dapat menyebabkan polisi mengalami penurunan kemampuan untuk mengontrol diri.
Selain itu, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya di Pasal 48, telah memberikan pedoman bagi aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api, yaitu memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti atau meletakkan senjatanya, dan memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi, serta mengatur kemungkinan berada dalam keadaan yang sangat mendesak, di mana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya sehingga peringatan tersebut menjadi tidak perlu dilakukan.
Praduga bersalah
Dalam pengungkapan suatu peristiwa meninggalnya anggota kelompok masyarakat tertentu yang diduga melibatkan anggota kepolisian, apalagi diwarnai dengan dugaan pelanggaran HAM, tentunya tidak mudah untuk dilakukan, khususnya mengenai pengambilan keterangan para saksi yang berkualitas dan pengumpulan alat bukti yang sah lainnya dalam upaya mencari kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran materiil).
Meski demikian, dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses penyidikan seharusnya tidak lagi menggunakan cara-cara lama dengan menggunakan alat bukti yang bersifat konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga dapat menggunakan metode penyidikan yang berbasis ilmiah (scientific investigation), yaitu dengan menggunakan alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 5 Ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Selain itu, diperlukan pergeseran paradigma dalam melakukan penyidikan atas perkara-perkara yang pembuktiannya terbilang sulit dan memiliki dua versi fakta yang berbeda satu sama lain, yaitu dengan mengedepankan ”praduga bersalah” (presumption of guilt) yang obyektif dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moralitas dan hukum tanpa mengurangi berlakunya presumption of innocence.
Misalnya, apakah dapat dibuktikan dengan bukti permulaan yang cukup bahwa pihak yang melakukan perlawanan tersebut benar-benar memiliki senjata api atau senjata tajam, serta patut diduga kuat memiliki guilty mind untuk melakukan perlawanan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan.
Sebagai penutup, penulis teringat adagium, ”In Casu Extremae Necessitatis Omnia Sunt Communia”, yang dapat dimaknai bahwa dalam keadaan terpaksa, tindakan yang diambil perlu (dilakukan). Dengan kata lain, potensi terjadinya penggunaan kekuatan fisik yang mematikan (to use of deadly force) atau bahkan police brutality perlu diuji kebenarannya, tetapi senantiasa perlu dipandang seimbang dengan kemungkinan terjadinya kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap aparat kepolisian (mass brutality).
(Albert Aries, Pengajar FH Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia)