Kumpul keluarga selama Natal dan Tahun Baru menjadi sarana utama penularan Covid-19 pada penghujung tahun. Kini, kluster keluarga menjadi penyebab melonjaknya jumlah pasien Covid-19.
Oleh
Windoro Adi
·6 menit baca
Pasca Libur Natal dan Tahun Baru, hanya dalam tempo sekitar sepekan jumlah penderita Covid-19 langsung melesat. Sekitar 40 persen penambahan jumlah pasien di seluruh kota besar di Indonesia itu berasal dari kluster keluarga. Pemicu umumnya adalah pesta keluarga besar merayakan Tahun Baru. Melepas rindu yang mengimpit di tengah pandemik Covid dengan berwisata, makan, berkumpul, dan bermain bersama. Sulit bagi para petugas memonitor kerumunan keluarga besar. Sebab, wilayah tersebut tergolong domain privat. Selain itu, jumlah personil para petugas juga terbatas.
Bagi sebagian besar orang di dunia, keluarga menjadi pusat hidup mereka. Aktivitas ke mal, pasar rakyat, kafe, restoran, kedai nasi, ke kantor, ke tempat ibadah, atau ke sekolah, boleh saja dibendung. Namun, kebiasaan menggelar perayaan Natal atau Tahun Baru bersama keluarga besar sulit untuk ditahan.
Hanya pada kesempatan itulah, di tengah pandemi Covid, mereka bisa lebih merdeka memenuhi kebutuhan sosial mereka. Ketika kerumunan pesta pernikahan, khitanan, ibadah bersama, mulai dilarang, dimonitor, dan dijaga ketat para petugas terkait, maka satu-satunya kesempatan emas melepas bahagia bersama, tinggal berkumpul bersama keluarga besar.
Maka, cium pipi kanan dan kiri antar kakak, adik, keponakan, sepupu, orangtua, kakek – nenek bahkan buyut, mewarnai pertemuan tersebut. Acara makan pun tiba. Melepas masker, bercakap, berdiskusi, bersenda gurau, sambil makan dan minum. Acara seru-seruan berlanjut di tempat tidur. Tidur bersama dan tentu saja tanpa masker.
Sebagian memilih pertemuan keluarga di rumah keluarga anggota tertua. Sebagian memilih menyewa penginapan di luar. Namun, acara makan, dan tidur, tetap bersama, tanpa masker, dan sering lupa, cuci tangan, dan jaga jarak. Buat mereka, kewajiban bermasker, cuci tangan, dan jaga jarak hanya akan mengurangi suasana akrab penuh kegembiraan. Mereka seolah lupa kepada virus Covid-19, sang pembawa kematian.
Dan…bencana itu pun terjadi. Dua hari sampai tiga hari setelah pesta selesai, bermunculan kabar di WA grup keluarga, salah satu atau beberapa anggota keluarga terserang virus Covid. Mendengar kabar tersebut, sebagian besar anggota keluarga lain yang cepat tanggap, swab antigen atau PCR, dan hasilnya mengejutkan, sepertiga, bahkan lebih dari separuh anggota keluarga besar yang ikut merayakan Natal atau Tahun Baru bersama, terjangkit Covid. Satu demi satu di antara mereka, berguguran, meninggal.
Rumah sakit kewalahan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat, ada 5.662 kluster keluarga yang terpapar Covid. "Temuan kasus positif ini merupakan 47,1% dari seluruh total kasus positif yang kami temukan,” ungkap Gubernur DKI Anies Baswedan.
Dampaknya, kata Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Covid-19, Dewi Nur Aisyah, ketersediaan tempat tidur isolasi dan intensive care unit (ICU) harian di 98 RS rujukan Covid, melonjak. Sebanyak 87 persen dari 7.379 tempat tidur isolasi, sebanyak 6.385 di antaranya terisi pasien. Pada periode yang sama tahun lalu, jumlahnya, 85 persen, atau naik dua persen. Tempat tidur ICU terisi 79 persen dari 960 tempat tidur yang tersedia, atau, terisi 762 pasien.
Di Kota Depok, Jawa Barat (Jabar), menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita, tingkat hunian rumah sakit melonjak mencapai sekitar 90 persen. Ia menjelaskan, di Depok ada 591 ruang isolasi Covid-19 yang tersebar di 21 rumah sakit (RS). Dari 591 ruangan tersebut, ketersediaan ICU ada 56 ruangan. Ruang-ruang ICU tersebut saat ini sudah terisi penuh.
Di Bekasi, Jabar, jumlah tempat tidur di rumah sakit yang tersedia tinggal 286 dari total 1.589 tempat tidur. Itu artinya, tingkat hunian di 12 RS yang berkapasitas total 1.589 tempat tidur, sudah mencapai 82 persen. Angka kematian akibat Covid di Bekasi mencapai 243 orang.
Wali Kota Bandung, Jabar, Oded M Danial juga mengakui, kini kluster keluarga menjadi penyumbang terbesar pandemik Covid 19. Dari kluster keluarga ini, angkanya sudah melampaui 200 kasus.
Di Jabar, zona merah bertambah di delapan daerah, antara lain di Garut, Majalengka, Karawang, Bekasi. Pemicunya, kata Gubernur Jabar, Ridwan Kamil yang juga Ketua Umum Penanggulangan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Jabar, adalah kluster keluarga.
Di Jawa Tengah (Jateng), Kepala Dinas Kesehatan Jateng, Yulianto juga mengakui, pemicu melambungnya kasus Covid saat ini adalah kluster keluarga menyusul kluster pondok pesantren. Warga Jateng yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 3.459 orang.
Hal serupa terjadi di Bali seperti disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Bali, Dokter Ketut Suarjaya. Klaster keluarga telah memicu membumbungnya kasus Covid di Pulau Dewata tersebut. Demikian pula di Madura seperti disampaikan Bupati Pamekasan Badrut Tamam dan Bupati Sumenep A Busyro Karim.
Bukan hanya di Pulau Jawa, Bali, dan Madura saja kluster keluarga menjadi pemicu merebaknya kasus Covid 19, tetapi di seluruh Tanah Air, pasca Natal dan Tahun Baru. Kluster tempat ibadah, dan pasar, tergeser oleh kluster keluarga.
Di Kalimantan Timur (Kaltim) misalnya, kluster keluarga bahkan menyumbang 70 persen kasus dari total kasus Covid yang terjadi belakangan ini, seperti disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kaltim, Padilah Mante Runa.
Melonjaknya pasien Covid pekan pekan belakangan ini bukan hanya membuat kalangan tenaga medis kelelahan, tetapi juga menyebabkan di antara mereka, meninggal. Karena hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan masyarakat Indonesia agar tidak bepergian pada tanggal 11-25 Januari 2021.
“Sampai sekarang sudah lebih dari 500 dokter, meninggal karena Covid,” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Dokter Adib Khumaidi. Menurut dia, tingkat kematian dokter di Indonesia, sudah tertinggi di Asia, dan nomor lima di dunia.
Adib menambahkan, jumlah dokter yang meninggal akibat Covid, 52 orang, atau naik lima kali lipat dari awal pandemik. “Risiko penularan saat ini sudah di titik tertinggi. Rasio positif Covid sudah pada angka 29,4 persen,” ungkap Adib.
Disiplin diri
Tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah, dan aparat terkait lainnya untuk memutus mata rantai Covid bila klaster keluarga menjadi pemicu utama. Tugas mereka memutus mata rantai Covid di ruang ruang publik, sudah cukup menguras tenaga di tengah tenaga dan fasilitas yang terbatas. Sulit pula bagi mereka memonitor, melacak, atau membubarkan kerumunan keluarga, terutama bila hal itu berlangsung di rumah pribadi, atau di ruang tertutup lainnya yang sifatnya privat.
Kini, masyarakat Indonesia hanya bisa mengandalkan disiplin pribadi. Dengan atau tanpa pengawasan, dengan atau tanpa sanksi, dan imbauan, mereka wajib menjalankan protokol kesehatan. Mereka harus mampu memilah antara disiplin pribadi, dengan empati, toleransi, kasih sayang, dan aspek kemanusiaan lainnya dalam diri mereka.
Percayalah, menegakkan disiplin pribadi dengan mematuhi protokol kesehatan, tidak akan membuat masyarakat Indonesia kehilangan semua aspek kemanusiaan tersebut. Hanya dengan menegakkan disiplin pribadi, masyarakat Indonesia bisa lebih cepat mengakhiri pandemik Covid 19. Atau, masih menunggu kematian mengetuk pintu rumah Anda?