"Dekedelai-sasi" dan Republik Undur-undur
Kedelai telah jadi mata rantai ekonomi mahapenting, harus ada kebijakan menjadikan kedelai bagian dari kebijakan stabilisasi dengan beleid stok. Tanpa rangkaian kebijakan gonjang ganjing kedelai akan terus berulang.
Setelah mogok selama tiga hari, 1-3 Januari 2021, produsen tahu dan tempe kembali berproduksi. Dapur harus tetap mengebul, karena itu mereka tak mungkin mogok produksi lebih lama. Meskipun sudah kembali berproduksi dan tahu-tempe bisa ditemui di pasar, masalah utama yang mendorong mereka mogok belum tersentuh.
Ibarat kebakaran, api tak lagi berkobar, tetapi sumber api tak sepenuhnya dijinakkan. Ketika situasi pemungkin muncul, setiap saat api siap membakar lagi. Mogok produsen tahu-tempe bakal berulang.
Seperti memutar ulang jarum jam, situasi ini pengulangan kejadian tahun 2008, 2010, 2012, 2013, dan 2015. Penyebabnya sama: harga kedelai impor naik tinggi. Krisis kedelai berulang karena pemerintah tak merespons dengan kebijakan memadai.
Pada krisis kali ini pun belum ada kebijakan yang memadai. Pemerintah, lewat Kementerian Perdagangan, memastikan tak akan mengintervensi pasar. Harga kedelai tetap diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan ketergantungan impor kedelai 75-80 persen dari kebutuhan, harga kedelai domestik akan naik-turun mengikuti irama harga di pasar internasional.
Ini artinya, produsen tahu-tempe harus selalu siap apabila harga kedelai bergerak bagai roller coaster. Konsumen tahu-tempe pun demikian. Situasi ini akan menambah ketidakpastian produsen tahu-tempe. Karena salah satu faktor penting dalam berusaha adalah kestabilan harga bahan baku.
Bagi konsumen, lenyapnya tahu-tempe amat tinggi dari pasar adalah kerugian besar.
Menaikkan harga, produsen terkendala daya beli yang jauh dari pulih. Lagi pula, tak seperti sektor yang hambatan untuk keluar-masuk (entry-exit barrier)-nya tinggi, konsumen tahu-tempe peka harga (price elastic). Ketika harga naik, permintaan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha. Jika itu terjadi, barisan penganggur akan semakin panjang.
Sektor ini telah menghidupi ratusan ribu rakyat jelata, dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap, pedagang tahu-tempe hingga penjual gorengan pinggir jalan. Bagi konsumen, lenyapnya tahu-tempe dari pasar adalah kerugian besar. Kandungan gizi dan vitamin tahu-tempe amat tinggi. Ia bisa jadi makanan diet, pengganti makanan kaya lemak. Ahli gizi menyebut tempe makanan super karena tak tertandingi makanan sejenis.
Dari sisi harga, protein tahu-tempe jauh lebih murah ketimbang telur dan daging. Karena itu, tahu-tempe sebenarnya menjadi solusi masalah kekurangan energi protein warga miskin.
Krisis kedelai yang berulang tak mungkin diselesaikan dengan cara-cara ad hoc, dan instan. Selain itu, solusi harus menusuk jantung masalah, meminjam istilah Pantjar Simatupang (2012), yaitu fenomena ”dekedelaisasi”. Dekedelaisasi terjadi lantaran tiga segitiga ini: penurunan hasil relatif kedelai, penurunan harga relatif, dan serbuan impor.
Penurunan hasil relatif kedelai terjadi karena daya saing kedelai terhadap jagung, tebu, dan padi merosot. Produktivitas dan harga relatif menurun. Ujung-ujungnya usaha tani kedelai kurang menguntungkan. Ini yang membuat petani meninggalkan kedelai.
Keuntungan usaha tani kedelai selama satu musim tanam (3-4 bulan) hanya 11,95 persen (BPS, 2017), tidak ada separuh dari keuntungan bertanam padi (26,76 persen) dan jagung (29,06 persen). Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, wajar petani enggan bertanam kedelai. Emoh menanam kedelai saat ini sudah amat gawat.
Dampak liberalisasi pasar
Tahun 1992, luas panen kedelai masih 1.665.706 hektar, tetapi pada 2018 tinggal 680.373 hektar (40,8 persen dari 1992). Karena produktivitas tidak bergerak dari 1,4-1,5 ton per hektar, konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton per hektar (1992) tinggal 0,982 juta ton hektar (2018) atau tinggal 52,5 persen.
Ini terjadi karena jalinan dua faktor: liberalisasi dan kesenjangan antara hasil penelitian dengan adopsi petani.
Liberalisasi pasar pangan, termasuk kedelai, dimulai sejak Indonesia menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997-1998. Tak hanya subsidi, benteng pertahanan dari serbuan impor pun dilucuti.
Pada saat yang sama, perhatian pada kedelai mengendur. Fokus kebijakan saat itu at all cost bias pada beras. Hasil-hasil riset tak memadai. Belakangan, sejumlah riset menemukan varietas berproduktivitas tinggi, genjah, dan tahan sejumlah hama penyakit.
Varietas Mutiara 1 rakitan Batan (2010), yang warnanya kuning, ukurannya besar dan cocok untuk tempe, misalnya, potensi produksinya 4,1 ton per hektar.
Lalu, varietas Dega 1 rakitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (2016) ukuran biji kedelai besar, cocok untuk tempe dengan potensi produksi 3,8 ton per hektar. Masalahnya, varietas unggul ini tak serta-merta diadopsi petani karena beragam alasan.
Dukungan kebijakan
Penurunan harga relatif terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai. Saat Orde Baru, harga kedelai diatur 1,5 dari gabah. Kini, lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 pemerintah menetapkan harga acuan pembelian kedelai di petani dan harga penjualan di perajin tahu-tempe masing-masing Rp 8.500 dan Rp 9.200 per kilogram.
Ada juga harga acuan kedelai impor di level importir sebesar Rp 6.550 per kilogram dan di level perajin tahu-tempe sebesar Rp 6.800 per kilogram. Tetapi ini hanya acuan. Jika acuan tidak dilaksanakan, tidak ada sanksi yang dikenakan.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 20 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No 48/2016 tentang Penugasan kepada Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, sebetulnya pemerintah secara eksplisit menugaskan ke Bulog untuk menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga kedelai (plus padi dan jagung) di tingkat konsumen dan produsen. Masalahnya, untuk eksekusi kebijakan ini mesti ada penugasan dari Menteri Perdagangan lewat peraturan menteri.
Masalahnya, untuk eksekusi kebijakan ini mesti ada penugasan dari Menteri Perdagangan lewat peraturan menteri.
Penugasan inilah yang tak kunjung keluar. Yang ada justru macan ompong berbentuk harga acuan. Konfigurasi ini menunjukkan bahwa tak ada upaya serius pemerintah mewujudkan swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak dua dekade lalu. Tanda-tanda swasembada makin jauh.
Kealpaan membuat kebijakan kedelai sebagai bagian pembangunan kedaulatan pangan berlanjut hingga kini. Pembiaran itu akhirnya berujung ketergantungan mutlak pada impor kedelai dari Amerika Serikat (AS). Serbuan impor kedelai, yang mayoritas transgenik, didorong oleh inkonsistensi kebijakan kedelai transgenik dan beleid ofensif AS lewat subsidi (langsung dan ekspor).
Produksi kedelai transgenik dilarang, sementara di sisi lain impor kedelai transgenik dari AS diberi jalan tol. Beleid ofensif AS itu membuat harga kedelai impor supermurah. Ini yang sering menjadi alasan banyak pihak melegalisasi impor ketimbang membeli kedelai petani domestik dengan alasan produksi petani dalam negeri tidak efisien.
Argumen di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Argumen ini ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi oleh subsidi.
Di AS, kedelai adalah satu dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari 24,3 miliar dollar AS subsidi pada 2005, 70-80 persen diterima 20 komoditas ini. Ujung beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai AS naik dari 2 persen menjadi 13 persen.
Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa saja untuk impor. Kebijakan ini kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak di kemudian hari. Jika pada 1990-an kita swasembada kedelai, kini produksi domestik kian meluruh.
Menimbang problem struktural di atas, tak ada jalan mudah untuk berswasembada kedelai. Politik pembiaran (hands-of economic policy) telah menghancurkan modal sosial petani kedelai. Dibutuhkan kebijakan yang komprehensif dan berdimensi jangka panjang di level usaha tani, perdagangan, dan riset.
Selain dukungan modal, di level usaha tani harus ada beleid harga yang menjamin keuntungan yang memungkinkan petani tertarik kembali menanam kedelai. Liberalisasi pasar kedelai yang menjadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan harus dikoreksi. Proteksi bisa dilakukan dengan kombinasi tarif dan nontarif, termasuk pengaturan ketat impor kedelai transgenik.
Riset mesti jadi pemandu pengembangan kedelai ke depan. Keberhasilan Brasil merekayasa kedelai tropis bisa jadi acuan. Pada saat yang sama, perluasan lahan kedelai tidak bisa ditawar-tawar. Terakhir, karena kedelai telah jadi mata rantai ekonomi mahapenting, harus ada kebijakan menjadikan kedelai bagian dari kebijakan stabilisasi dengan beleid stok.
Tanpa rangkaian kebijakan ini, gonjang-gonjang kedelai di republik ini akan berulang. Itu sama artinya target swasembada akan semakin jauh. Bukan mustahil, tahun target pencapaian swasembada kembali diundur. Jika itu terjadi, negeri ini memang layak disebut ”republik undur-undur”, jasad renik yang hidup di tanah dan berjalan mundur.
(Khudori Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)