Retorika Hiperbolik Donald Trump
Model komunikasi Trump layak menjadi pelajaran bagi para (calon) pemimpin masa depan di Indonesia. Meski orang punya gaya bicara menarik, dengan penampilan fisik menyenangkan, jika kredibilitasnya rendah akan terjungkal.
Tanggal 20 Januari mendatang, Donald Trump, presiden Amerika ke-45, akan digantikan Joe Biden. Kegagalan Trump menjadi presiden Amerika kedua kalinya (2021-2025) tak lepas dari gaya komunikasinya yang tak efektif meski mengandung secuil sisi positif.
Banyak model analisis untuk membedah komunikasi Trump. Namun, mengingat kesalahan komunikasi Trump yang mendasar dan mencolok, model klasik Aristoteles tentang kredibilitas komunikator dirasa paling cocok.
Model ini mengandung tiga unsur: etos (kejujuran, keikhlasan), patos (imbauan emosional), dan logos (pengetahuan, kecakapan). Meski dapat dibedakan, ketiga unsur ini saling berkaitan.
Dari aspek logos, Trump dianggap kurang kompeten. Ia antisains dengan meremehkan penyebaran pandemi Covid-19. Ia pernah mengira bahwa Finlandia adalah bagian dari Rusia. Keterampilannya untuk mendengarkan orang lain, termasuk para penasihatnya, sangat rendah.
Puluhan bawahan dan pembantunya yang mengkritik kebijakannya ia pecat atau mengundurkan diri dari jabatannya. Padahal, bagi pemimpin dalam level mana pun, mendengarkan adalah keterampilan yang lebih penting daripada berbicara.
Sebagai bagian dari patos, gaya bicara Trump alamiah dengan kata-kata sederhana dan menarik, tanpa istilah-istilah canggih, meski gaya bahasa demikian mencerminkan kedangkalan pengetahuannya (logos).
Berdasarkan tes membaca yang dirancang Flesch-Kinkaid, pidato Trump bahkan dapat dipahami oleh siswa-siswa kelas 4 SD, seperti ungkapan ”Make America great again” atau ”No one is better than me at building walls.” Namun, seperti diisyaratkan Shari Graydon (2020), keterampilan komunikasi Trump sangat terbatas untuk beradaptasi dengan khalayak lebih luas.
Dalam pidato dan wawancara, Trump sering menggunakan kata ganti pertama (”Saya”) dan kata ganti kedua (”Anda” atau ”Kalian”) yang menandakan kelangsungan, informalitas, dan keintiman. Contohnya adalah, ”Anda tahu, saya telah lama melakukannya” atau ”Percayalah pada saya” tanpa disertai bukti memadai.
Intinya, alih-alih menyampaikan gagasan, ia mengekspresikan perasaannya, yang membuat khalayak berempati dengannya. Morini (2020) menyerupakan bahasa Trump yang terus mengalir, kelakar, olok-olok, dan berbagai slogannya yang khas dengan strategi retorika kaum Nazi dekade 1930-an, seakan hanya ia sendiri yang mampu menyelamatkan massa.
Strategi itu membantunya menonjolkan citranya sebagai rakyat biasa untuk melawan kaum elite. Lewat perangkat bahasa seperti itu, Trump dianggap berbicara apa adanya, tidak berpura-pura.
Sebagai pebisnis berpengalaman, Trump sering mengulangi kata-kata kunci agar selalu diingat khalayak yang mendengarkannya. ”Dominasinya atas lingkaran berita juga merefleksikan hasratnya untuk tetap menempati rating lebih tinggi di televisi dan di internet. Trump telah mengeksploitasi logika berita media dan memanfaatkan kekurangpercayaan publik Amerika kepada jurnalistik,” tambah Morini.
Berdasarkan aspek patos, Trump memiliki kepercayaan diri yang tinggi, tetapi mengarah kepada kesombongan dan narsisisme. Ia misalnya pernah berucap, ”Saya lebih tahu mengenai ISIS daripada para jenderal,” ”Saya genius yang stabil,” atau ”Saya adalah yang Terpilih,” dengan wajah mendongak ke atas, seolah ia seorang nabi. Tak lama setelah ia dilantik menjadi presiden Amerika, ia berkata, ”Saya dapat berdiri di tengah 5th Avenue dan menembak seseorang, dan saya takkan kehilangan pendukung saya.”
Dari aspek etos-nya, Trump dikenal tidak jujur. Selama masa kepresidenannya, menurut beberapa pengamat, ia telah menyampaikan kira-kira 2.000 kebohongan. Misalnya, ia menyatakan bahwa Pilpres AS 2020 telah dicuri lawan politiknya di Negara Bagian Georgia dan lima negara bagian lainnya tanpa menyediakan bukti, membuat jutaan pendukungnya memercayai kebohongan tersebut.
Kebiasaan berbohongnya memang sudah akut, jauh sebelum ia menjadi presiden. Saat masih pengusaha, Trump pernah mengatakan bahwa ayahnya lahir di Jerman, padahal lahirnya di Bronx, New York.
Ia pernah menyatakan bahwa balai konvensinya di Trump Tower New York adalah terbesar di dunia, padahal bukan. Sebagian orang menganggap perkataan Trump bersifat hiperbolik atau berlebihan alih-alih kebohongan. Intinya Trump sulit membedakan antara fakta dan fiksi.
Latar belakang Trump sebagai seorang anak pengusaha kaya, yang tidak pernah kekurangan, menjadikan Trump orang yang kurang berempati dengan orang lain. Sebagian pengamat menganggap Trump sangat egosentrik, rasis, seksis, dan tak memiliki kepekaan sosial. Ia dikenal pemberang yang suka menyerang lawan-lawan politiknya, juga jurnalis dan media yang mengkritiknya, dengan kata-kata kasar dan bombastis.
Lebih dari dari 100 tokoh politik, tokoh media dan selebritis pernah mendapatkan julukannya, termasuk lawan politiknya, Joe Biden yang pernah ia gelari Slow Joe. Dalam debat pertama Pilpres 2020, Trump berkata kepada Biden, ”Jangan pernah menggunakan kata ’cerdas’ bersama saya. Anda tidak cerdas, Joe” dan ”Selama 47 bulan saya telah melakukan lebih banyak daripada yang Anda kerjakan selama 47 tahun.”
Komentar Trump mengenai saingannya, Hillary Clinton, tahun 2016 adalah, ”Ia Menteri Luar Negeri terburuk dan satu-satunya dalam sejarah Amerika.” Hilary pernah disebut Trump sebagai gila, menjijikkan, dan pembohong, sedangkan suaminya disebut Wild Bill.
Obama pun dikomentari Trump sebagai penipu, presiden paling bodoh dalam sejarah Amerika dan sebagai pendiri ISIS. Hinaan seperti ”babi gemuk,” ”muka kuda,” dan ”anjing” ditujukan kepada sejumlah perempuan yang tidak ia sukai. Disaksikan banyak orang, Trump terlalu sering memotong pertanyaan jurnalis, dan tak jarang menyebut pertanyaan mereka sebagai buruk atau bodoh.
Sejumlah pemimpin negara lain pernah ia beri julukan negatif, misalnya Bashar al-Assad Presiden Suriah sebagai ”Animal Assad”, Abdel Fattah el-Sisi presiden ke-6 Mesir sebagai ”diktator favorit saya”, dan Kim Jong-Un pemimpin Korea Utara sebagai ”Rocket Man”.
Imajinasi Trump yang liar lewat ucapan yang ceplas-ceplos dan menohok sekaligus juga menghibur dan dramatik karena mengandung ketegangan dan tak terduga. Gaya komunikasi Trump seperti dialog aktor yang enak dilihat. Karena sifat itu ia menjadi media darling meski tidak selalu dalam arti positif. Apalagi, bahasa tubuh Trump pun cukup ikonik sehingga sejumlah orang mampu menirukannya, terutama gerak bibir (bukaan mulut)-nya, seperti yang dapat kita lihat di Youtube.
Bakat akting Donald Trump bukan tanpa bukti. Ia pernah menjadi bintang reality show Amerika berjudul ”The Apprentice” dengan slogannya ”You’re Fired”. Terlihat dalam acara itu, Trump memang pandai berakting yang terus dipertahankannya hingga ia menduduki Gedung Putih.
Namun, ia tak jarang dianggap sebagai pelawak karena perilakunya yang norak di depan publik, misalnya berjoget atau memeluk bendera Amerika. Seperti diisyaratkan Ahmadian dkk (2017), kualitas vokal Trump yang mumpuni, artikulasinya yang jelas, dan rentang variasi nada suaranya yang luas, sering diasosiasikan dengan kharisma dan kesuksesan. Itu boleh jadi berlaku dalam Pilpres Amerika 2016, namun tidak lagi dalam Pilpres Amerika 2020, setelah lebih banyak warga Amerika yang memahami karakter Trump yang sebenarnya.
Model komunikasi Trump layak menjadi pelajaran bagi para (calon) pemimpin masa depan di Indonesia. Meski orang memiliki gaya bicara menarik, dengan penampilan fisik menyenangkan, jika kredibilitas (terutama etos)-nya rendah, cepat atau lambat ia akan terjungkal juga. Buktinya, itulah yang dialami sebagian pemimpin korup di negeri kita yang kini menghuni penjara.
Deddy Mulyana, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad