Sekarang yang ada malah kontradiksi. Ada peraturan batas kecepatan mobil di jalan tol dan jalan raya, tetapi banyak mobil yang dapat melaju 200 km per jam.
Oleh
Handjono Suwono
·3 menit baca
Belakangan ini semakin sering terjadi kecelakaan fatal di jalan tol dan jalan raya. Faktor utamanya adalah ngebut dan tidak jaga jarak. Batas kecepatan 100 km per jam di jalan tol dan 80 km per jam di jalan raya seperti dianggap angin lalu oleh banyak pengemudi.
Saya menyarankan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat peraturan bahwa di setiap mobil (baru dan lama) harus ada pembatas kecepatan maksimal 100 km per jam. Pasang alarm bising yang berbunyi di dalam mobil jika kecepatan di atas 100 km per jam.
Sekarang yang ada malah kontradiksi. Ada peraturan batas kecepatan mobil di jalan tol dan jalan raya, tetapi banyak mobil yang dapat melaju 200 km per jam.
Pemerintah RI juga saya sarankan untuk mengatur produsen mobil agar memasang alat deteksi jarak dengan mobil di depan yang terkait dengan kecepatan mobil.
Alat deteksi jarak nantinya akan membunyikan alarm di dalam mobil jika posisi mobil terlalu dekat dengan mobil di depannya pada kecepatan tertentu. Makin tinggi kecepatan mobil, makin jauh juga jarak yang harus ditaati mobil terhadap mobil di depannya.
Handjono Suwono
Jl Bintaro Raya Tengah, Tangerang Selatan
Hilangnya Nurani
Satu per satu kenalan kami, tenaga medis, pergi menghadap-Nya. Mereka pergi setelah berjuang siang malam menyelamatkan pasien Covid-19.
Lelah karena harus bekerja berjam-jam, berhari-hari. Mereka juga tak bisa berjumpa keluarga dan teman karena bisa berpotensi menulari.
Mereka ”membungkus diri” dengan pakaian khusus yang membuat peluh bercucuran, bahkan ke toilet pun susah.
Akan tetapi, ada saja yang tidak peduli. ”Siapa suruh mereka melakukan itu? Kami tidak meminta! Bukankah mereka mendapat imbalan lumayan? Itu risiko pekerjaan!”
”Kematian sudah digariskan Tuhan, bukan manusia!”
Begitu kira-kira pandangan sebagian orang dengan berbusung dada, tetap berkerumun dan melanggar berbagai protokol kesehatan.
Korona tidak bergerak. Ia dipindahkan dan tersebar luas oleh manusia yang bergerak! Siapa peduli?
Berita kematian seorang dokter—yang sempat mengimbau khalayak melalui media sosial untuk serius menghadapi Covid-19—”hilang” di tengah kebisingan. Almarhum bahkan sempat berharap agar warga masyarakat mematuhi anjuran pemerintah.
Tak ada rasa getir, prihatin, sesal di hati, apalagi rasa bersalah karena telah melakukan hal-hal yang justru ”mendukung” penyebarluasan virus.
Kabar di media menunjukkan, kasus pandemi masih tinggi karena pergerakan manusia di negeri kita belum bisa dikendalikan. Entah kapan pandemi akan berakhir.
Seorang teman yang ”geram” melihat ketidakpedulian sebagian warga masyarakat kita bertanya: ”Tidakkah mereka punya nurani?”
Kenyataannya, ada saja perilaku yang mengabaikan kehidupan bersama, tak tergerak untuk memadukan langkah menanggulangi Covid-19.
Mereka bahkan dengan arogan ”menentang” aturan pemerintah yang berupaya menyelamatkan negeri dari keterpurukan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Mereka adalah sosok-sosok hantu dengan ”dendam kesumat” tak jelas.
Seorang pakar kecerdasan moral, Borba (2001), menyatakan, ada tiga kebajikan yang menjadi fondasi moral masyarakat: empati, nurani atau suara hati (conscience), dan kendali diri. Ketiga kebajikan ini menjadi landasan bagi tumbuh kembangnya kecerdasan moral untuk ”mengikat dan menerapkan kebersamaan” di dalam suatu masyarakat.
Nurani adalah suara hati yang membantu kita memilah apa yang benar dan salah, lalu bertindak menegakkan kebenaran sesuai dengan bisikannya.
Sebagian mengatakan, nurani adalah representasi ”suara Tuhan”. Lainnya menyatakan hal itu merupakan sikap hidup yang terbentuk melalui proses pendidikan moral.
Yang pasti, ”suara hati” harus ditumbuhkan dan diasah, pada diri kita dan generasi muda kita, melalui pendidikan di sekolah, di rumah, di masyarakat, juga agama.
Hilangkan ”ketidakpedulian” pada kehidupan bersama. Kembangkan nurani kita.