Saat mendengar terjadinya musibah jatuhnya pesawat Sriwijaya Air bernomor SJ 182 Sabtu (9/10), tersirat pertanyaan, antara lain, apa penyebabnya.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Namun, perasaan yang pertama-tama datang adalah sedih dan prihatin. Duka cita kita untuk seluruh keluarga penumpang dan awak penerbangan yang malang ini. Semoga korban dapat segera dievakuasi dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dapat menyelidiki sebab-musabab terjadinya musibah ini.
Terkait dengan ini kita juga menyampaikan apresiasi, bahwa semua pihak mulai dari TNI, khususnya TNI-AL, Polri, Kementerian Perhubungan, maskapai penerbangan, bahkan perusahaan asuransi, selain KNKT dan Basarnas, segera turun dalam upaya SAR dan evakuasi korban.
Masih di tengah pandemi Covid-19, melakukan perjalanan meniscayakan adanya urgensi. Di sini lah kita lebih tersentuh oleh tragedi ini, karena para penumpang bersedia menempuh risiko terpapar dan menjalani proses perjalanan yang lebih repot dari biasanya karena penerapan protokol kesehatan, demi urusan pekerjaan atau silaturahmi keluarga.
Kita apresiasi juga maskapai penerbangan yang masih terus memberikan pelayanan di masa pandemi yang ditandai merosotnya jumlah penumpang. Kita bisa membayangkan dilema yang dihadapi: tidak terbang sama sekali kosong pendapatan, tapi terus melayani, faktanya jumlah penumpang terbatas.
Lebih dari sekadar dilema bisnis, merosotnya frekuensi terbang ada catatannya sendiri. Seperti kita baca dalam analisis Marsekal (Purn) Chappy Hakim, mantan KSAU dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Badan Penerbangan Federal AS (FAA) dilaporkan telah mengeluarkan peringatan tentang jenis pesawat Boeing 737 berbagai varian yang berpotensi mengalami kegagalan mesin (engine failure) karena lebih dari tujuh hari tidak diterbangkan.
Boeing juga dikabarkan telah memberitahukan hal ini kepada pengguna Boeing 737 di seluruh dunia. Meski mungkin ada perbedaan cuaca, namun adanya pemberitahuan semacam itu oleh pabrikan pessawat biasanya akan ditindaklanjuti oleh operator dan otoritas penerbangan yang mengawasinya.
Boleh jadi ada berbagai kemungkinan dimajukan, namun kita beri kesempatan kepada KNKT untuk menemukan penyebab paling mungkin (the most probable cause) dari jatuhnya penerbangan SJ 182.
Masyarakat umum sering berpandangan, umur pesawat menjadi salah satu faktor keselamatan, dan umur Boeing 737-500 PK-CLC yang diproduksi 1994, jadi sudah 26 tahun, bisa jadi sudah termasuk tua, mengingat ada maskapai yang memutakhirkan armadanya setiap 5-7 tahun. Namun kita diingatkan, tua pun jika perawatannya mengikuti tuntutan prosedur yang ada, pesawat masih laik terbang, sebagaimana disebut untuk SJ 182.
Kita, dalam suasana duka, mewacanakan hal ini mengingat kita akan terus menjadi bangsa pengguna transportasi udara, namun pandemi menghadapkan kita pada kendala khusus pada penerbangan. Kita wajib terus hati-hati dan seksama dalam mengoperasikan pesawat.
Kita berikan yang terbaik untuk para korban SJ 182 dan kita selidiki musibah ini. Penyelidikan pertama-tama tidak untuk mencari pihak yang salah, namun untuk mencegah agar musibah serupa tidak terulang di masa yang akan datang.