Mengapa Varian Baru Covid-19 Lebih Berbahaya
Sambil menunggu mendapatkan informasi yang lebih terang soal varian baru virus Covid-19, amatlah penting sekarang ini melakukan upaya menekan kurva angka penularan yang ada. Sebab ada ancaman pertumbuhan eksponensial .

Varian baru virus Covid-19 terjadi karena mutasi, sebuah peristiwa yang selalu terjadi pada virus.
Akan tetapi, sebelum membahas itu, bayangkan ini: pada sebuah kompleks perumahan, ada 14 keluarga ”baik-baik” dari empat RT berbeda yang pindah. Lalu, rumah mereka kemudian dihuni teroris, ”preman”, dan kelompok radikal. Tiga rumah lain di kompleks juga roboh. Situasi menjadi gawat sehingga polisi pun kini terus mengintai kegiatan di tempat itu.
Perumahan itu ibarat virus SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) yang memiliki banyak spike (bayangkan ”duri” pada kulit durian), dan perpindahan 14 penduduk dan robohnya tiga rumah analog dengan mutasi yang terjadi pada gen-gen dalam virus, sedangkan ”polisi” adalah para ilmuwan yang terus menginvestigasi perkembangan varian baru itu.
Yang terjadi pada varian ini adalah 14 mutasi yang menghasilkan perubahan susunan asam amino dan tiga bagian yang menghilang (deletions) pada ”tubuh” virus itu. Sebagian perubahan itu diyakini membawa pengaruh terhadap daya tular (transmissibility) pada manusia. Sementara, bagian yang hilang pada posisi spike protein 69-70 di ”tubuh” virus membawa dampak pada salah satu analisis (assay) hasil reaksi pemeriksaan dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 20 Desember lalu melaporkan, terhapusnya spike 69-70 menggagalkan target PCR pada gen S (spike). Namun, kebanyakan PCR yang digunakan di dunia, untungnya, menggunakan multitarget sehingga PCR masih akan menunjukkan hasil diagnosis yang baik.
Pada SARS-Cov-2, sejumlah spike yang melingkari tubuh virus menjadikannya mirip mahkota (crown); dari situlah muncul nama corona.
Berada di bagian paling luar virus, spike protein menjadi semacam ”kunci” bagi virus untuk ”menggaet” reseptor sel sasaran host di badan kita, lalu masuk dan ”meleburkan” dirinya (berfusi) ke dalam sel, untuk kemudian mereproduksi diri.
Vaksin memang tidak kawin. Untuk memperbanyak dirinya (reproduksi), virus melakukannya di dalam sel tuan rumah (host): ada yang menyelusup ke inti sel, atau menyelinap ke bagian sel yang disebut ribosome seperti virus korona.
Pada SARS-CoV-2, sejumlah spike yang melingkari tubuh virus menjadikannya mirip mahkota (crown); dari situlah muncul nama corona. Bagian di bawah spike adalah amplop protein, di lapisan dalam amplop ada lapisan membran yang melingkupi ”isi” virus yang tadi berfusi dengan sel host.
Investigasi para ”polisi” melihat varian baru ini lebih menular daripada ”orangtuanya”. Bukti-bukti terakhir yang dilaporkan ilmuwan Inggris Desember lalu, varian baru ini 71 persen lebih tinggi daya tularnya dibandingkan varian lain. Varian yang berada dalam investigasi ini dikenal dengan B.1.1.7, atau disebut juga VUI 202012/01 (singkatan dari variant under investigation, tahun 2020, bulan 12, varian 01).

Sebagaimana ditulis Elisabeth Mahase dalam British Medical Journal (BMJ), 23 Desember lalu, varian baru ini pertama kali ditemukan 2 September, lalu diteliti kandungannya (sequenced) awal Oktober, dan baru dijelaskan bahwa ia ”penting” pada Desember 2020.
Sebagaimana lazimnya virus, biang kerok Covid-19 ini juga selalu bermutasi. Sebenarnya sejak Maret lalu, kata epidemiolog Inggris, Susan Hopkins, di BMJ, sudah terlihat adanya delapan calon turunan mutasi yang telah dipilah-pilah, berkat penelitian kandungan virus secara mendalam (sequencing), tetapi varian baru B.1.1.7 inilah yang punya ”keistimewaan” mencolok. Pada 16 Desember lalu WHO melaporkan, setidaknya telah ditemukan adanya 1.439 total kasus yang terkonfirmasi varian baru di Inggris.
Menjadi parasit sejati
Bicara virus, mau tidak mau harus membahas gen, unsur terpenting pada makhluk hidup. Juga pada setiap virus, yang jumlahnya di dunia, menurut The Economist, 22 Agustus 2020, mencapai 1031, yakni 1 dengan 31 nol di belakangnya, mengalahkan semua bentuk kehidupan yang ada di planet kita.
Virus adalah sebuah materi genetik yang mengeksploitasi metabolisme organisme lain (host) demi reproduksi diri sang virus. Mereka adalah parasit dalam makna paling sejati. Di luar kode genetik yang dimilikinya (sehingga menjadikan mereka eksis), virus-virus itu meminjam segalanya dari host tempat mereka bercokol, mulai dari hewan bersel satu, protozoa, bakteri, kelelawar, manusia, atau host lainnya.
Berbeda dengan virus, makhluk lain memiliki sejumlah sel yang mengalirkan energi dan menyimpan informasi.
Berbeda dengan virus, makhluk lain memiliki sejumlah sel yang mengalirkan energi dan menyimpan informasi. Metabolisme sel-sel ini memanfaatkan energi yang diperolehnya dari matahari atau makanan, untuk membangun molekul-molekul baru dan mengganti yang menua, menggunakan mekanisme yang ada dalam gen-gen yang diwarisinya dan mungkin diwariskan juga ke anak-cucu.
Namun, tidak ada metabolisme dalam diri virus karena putusnya hubungan antara metabolisme dan gen-gen. Partikel superkecil, virion, tempat di mana gen-gen itu dibungkus, sepenuhnya ”beku” (mati). Virion ini hanya sebuah rancangan materi, sebuah aransemen ”benda”. Namun, virus bukanlah virion. Virus itu sebuah proses, bukan sesuatu (benda).
Ia hanya bisa hidup di dalam sel-sel lain, sebuah organisme yang berjalan pada perangkat keras yang dipinjam sang virus untuk memproduksi lebih banyak copy genome dirinya. Virus tak punya rencana ataupun kehendak, tetapi ketika menginfeksi sebuah sel host, virus akan memaksa sel itu memproduksi ribuan copy virus yang identik dengan virus asal secara amat cepat. Istilah awam: beranak-pinak.
Meski selalu bermutasi sepanjang waktu, sering kali mutasi itu tak membawa dampak. Namun, pada mutasi varian baru ini beda: ia lebih banyak bertransmisi (berpindah tempat, atau menyebabkan penularan) ketimbang varian-varian lain, yang artinya lebih mudah menyebar. Contoh: hanya selang sehari sesudah ditemukannya varian baru ini di Colorado, AS, sebuah kasus baru muncul di California.
Awalnya para ahli khawatir varian baru ini akan mengganggu keampuhan (efikasi) vaksin atau bakal memperparah penyakit. Untunglah tidak ada indikasi ke arah itu. Meski para ”polisi” masih membutuhkan lebih banyak data guna memastikannya, banyak ilmuwan yakin bahwa varian ini, kalaupun ada pengaruhnya, tidak akan mengurangi efikasi vaksin. Juga tidak cukup bukti bahwa varian ini akan memperparah gejala penyakit korona.

Walakin, ini yang penting: varian Covid-19 lebih mudah bertransmisi (transmissible). Berarti ia punya potensi membawa malapetaka besar. Menengok situasi pandemi sekarang ini, satu varian yang ”lebih mudah bertransmisi” akan lebih berbahaya daripada varian yang ”lebih ganas” (severe variant).
Ini karena virus dengan angka transmisi tinggi menyebabkan sang virus lebih mudah menular (contagious) dengan risiko pertumbuhan eksponensial, sedangkan naiknya keganasan cuma akan meningkatkan risiko pertumbuhannya secara linear, membawa dampak hanya pada yang sudah terinfeksi.
Berbeda dengan hitungan linear, pertumbuhan eksponensial, yang biasa terjadi pada makhluk biologis yang membelah diri, bertambah amat cepat. Dimulai dari ”seekor” makhluk, menjadi dua, lalu ”melompat” menjadi empat, dari empat ke delapan, delapan menjadi 16, dan seterusnya 16 menjadi 32, 64, 128, 256, lalu 512, kemudian mendadak naik jadi 1.024, dan seterusnya. Maka, peningkatan eksponensial menyebabkan jumlah orang yang terinfeksi virus itu dalam waktu singkat melonjak menjadi puluhan ribu, bahkan jutaan.
Gambaran risiko kedua hal itu bisa ditilik dari contoh yang dikemukakan Guru Besar London School of Hygiene & Tropical Medicine Adam Kucharski yang ahli dalam analisis wabah secara matematis. Ia menyimulasikan adanya peningkatan 50 persen letalitas (daya bunuh) virus dibandingkan dengan peningkatan 50 persen transmisibilitas virus.
Ketika itu, sebagaimana ditulis Zeynep Tufekci dalam theatlantic.com, Kucharski mengacu pada angka reproduksi 1,1 dan risiko fatalitas infeksi 0,8 pada 10.000 kasus aktif—sebuah skenario yang saat itu sesuai dengan keadaan di sejumlah kota di Eropa.
Nah, berdasarkan hitungan enam hari periode infeksi, hasil simulasinya menunjukkan bahwa ketika terjadi 129 kematian dalam sebulan, kenaikan fatalitas 50 persen akan menambah jumlah peti mati menjadi 193. Adapun kenaikan transmisibilitas 50 persen pada skenario yang sama akan melejitkan angka kematian dalam sebulan menjadi 978.
Memang masih ada beberapa spekulasi, termasuk ketidakpastian dalam memahami mekanisme detail pada varian baru ini.
Memang transmisibilitas amat cepat melebarkan penyebaran risiko: setiap satu penderita baru secara potensial akan menginfeksi sejumlah besar orang lain. Tentu saja infeksi itu tragis, dan varian baru ini (untungnya) tidak seberapa ganas (letal) yang berarti varian ini tidak lebih mengancam bagi yang terinfeksi. Namun, ia membawa ancaman lebih besar bagi masyarakat sekitarnya karena dapat menambah jumlah yang tertular secara dramatis.
Dalam kalimat lain, persentase kecil dari angka raksasa tentu masih jauh lebih besar ketimbang persentase besar dari sebuah angka kecil. Satu persen dari 10 juta (100.000) tentu jauh lebih besar daripada 25 persennya sejuta (2.500).
Makin serius mencegah
Meski belum sepenuhnya diyakini, data yang ada menunjukkan varian baru ini 71 persen lebih menular, disebabkan varian B.1.1.7 ini mempunyai sejumlah besar perubahan genetik yang unik, khususnya pada bagian ”spike protein” tadi. Memang masih ada beberapa spekulasi, termasuk ketidakpastian dalam memahami mekanisme detail pada varian baru ini.
Namun, fakta menunjukkan bahwa cara-cara mencegah dengan protokol kesehatan justru harus dilaksanakan secara lebih serius: masker yang lebih melindungi, waktu dalam ruangan yang kian berkurang, ventilasi yang lebih baik, dan kian banyak disinfeksi pada permukaan yang mudah bersentuhan—demi memperoleh pukulan yang sama mematikan untuk peningkatan proteksi.
Pasalnya, mengingat bahwa virus selalu bermutasi, bukan mustahil muncul juga varian baru di Indonesia, meski tidak kita harapkan. Sedikitnya lima negara lain sudah mengonfirmasi adanya varian baru, yakni Australia, Italia, Denmark, Belanda, dan Eslandia.

Masyarakat memanfaatkan layanan KRL Commuter Line Maja-Tanah Abang, Kamis (24/12/2020). KAI Commuter sebagai operator KRL Commuter Line Jabodetabek melakukan sejumlah penyeseuaian layanan dan operasional pada masa Angkutan Natal dan Tahun Baru (Nataru) untuk mengendalikan penyebaran virus Covid-19 dengan tetap melayani kebutuhan mobilitas esensial dari masyarakat. Sejak 20 Desembe lalu hingga 8 Januari mendatang, KRL Commuter Line Jabodetabek beroperasi mulai pukul 04:00 hingga 22:00 WIB. KAI Commuter mengoperasikan 964 perjalanan KRL Commuter Line per harinya dengan 91 rangkaian kereta.
Hopkins mewanti-wanti, sangat mungkin banyak negara lain akan melaporkan kasus varian baru ini tergantung berapa banyak tes yang dilakukan. Inggris sendiri melakukan 10 persen sampel yang diuji dalam genome sequencing, di atas rata-rata yang dilakukan banyak negara Eropa lain, yakni satu persen.
Walhasil, sambil menunggu mendapatkan informasi yang lebih terang soal varian baru ini, yang amat penting dilakukan sekarang ini adalah menekan kurva angka penularan yang ada. Sebab—sementara kejamnya ancaman pertumbuhan eksponensial membayangi kita—kurva yang makin landai akan menunda potensi infeksi selama beberapa pekan, dan itu bisa menyebabkan perbedaan hasil yang amat besar ketika vaksinasi yang efektif telah dilaksanakan.
(Syafiq Basri Assegaff Dokter, dan Pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta)