Transformasi Sistem Kesejahteraan Sosial
Pada saat semua negara mengalami hibernasi dan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi, inilah momen tepat untuk me-”reset” ulang kebijakan dan skema kesejahteraan kita. Pandemi menciptakan peluang bertransformasi.
Dominasi negara-negara Nordik sebagai ”kiblat” negara kesejahteraan memudar sejak pertengahan 1980-an.
Sistem welfare state, seperti ilustrasi Gosta Esping-Andersen (1990), di mana negara menjadi satu-satunya penyedia program-program kesejahteraan, mengalami tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal muncul karena berkurangnya penerimaan negara dari angkatan kerja untuk membiayai skema kesejahteraan, sedangkan beban anggaran untuk menjamin hari tua para pensiunan bertambah.
Defisit pembiayaan ini adalah dampak dari agenda ekonomi neoklasik (neoclassical) dengan gagasan fleksibilitas rezim ketenagakerjaan secara global. Perubahan daya dukung negara untuk mengalokasikan anggaran kebijakan sosial membuka peluang partai-partai kanan mendorong arsitektur ”negara ramping”. Salah satunya dengan penyunatan skema-skema kesejahteraan sosial.
Skema pemberdayaan-produktif
Varian sistem kesejahteraan produktif ala Asia Timur mulai diperbincangkan sejak akhir 1990-an. Beberapa sarjana menganggap tipologi rezim negara kesejahteraan uraian Esping-Andersen belum meliputi model Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong, negara-negara dengan sebutan Newly Industrialising Countries (NIEs).
Pada negara-negara tersebut, skema productive welfare, di mana pemerintah mengutamakan melakukan investasi sosial pada bidang pendidikan dan kesehatan untuk mendapatkan angkatan kerja produktif. Program jaminan sosial, seperti dana pensiun, berupa asuransi sosial dengan premi kepesertaan dan sifatnya sukarela serta nonuniversal.
Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh tenaga kerja terdidik mampu menghasilkan lompatan kemajuan secara ekonomi dan perbaikan taraf hidup.
Kebijakan sosial menjadi pendukung untuk kebijakan ekonomi (Holliday 2000; Kuhnle 2002). Walau dengan model berbeda dengan skema Nordik, capaian indikator kesejahteraan tidak kalah mengagumkan.
Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh tenaga kerja terdidik mampu menghasilkan lompatan kemajuan secara ekonomi dan perbaikan taraf hidup. Tak dinyana, terpaan pandemi virus korona membuat ekonomi pasar mati suri, negara di berbagai belahan bumi menjadi tumpuan pemberian bantalan pengaman sosial.
Ribuan triliun dollar anggaran dikucurkan untuk menyangga hidup miliaran warga bumi. Dan, skema-skema perlindungan sosial inovatif bermunculan. Sejarah evolusi sistem kesejahteraan global memperlihatkan kemunculan dan perluasan skema perlindungan sosial di saat terjadi bencana dengan kategori alam, pandemi, ataupun krisis ekonomi.
Fenomena ini juga terjadi di negara-negara Asia Timur yang melakukan penambahan skema kesejahteraan dari corak produktif menjadi hibrida karena mengawinkannya dengan skema protektif dan universal (Holliday 2005; Ramesh dan Asher 2000).
Perkembangan sistem kesejahteraan di Indonesia setali tiga uang. Pascakrisis moneter 1998 memperlihatkan bertambahnya variasi skema program dan perluasan cakupan penerima manfaat. Sebagai contoh, skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang universal dan mandatori dikembangkan dari skema Jaring Pengaman Kesehatan yang diperkenalkan saat krisis moneter.
Pada masa pandemi saat ini, pemerintah kembali melakukan ekspansi dan perluasan program bantuan dan jaminan sosial. Beberapa skema baru diperkenalkan, seperti pemberian bantuan bagi pekerja (program padat karya tunai, subsidi gaji, insentif untuk UMKM) dan jaminan akibat guncangan ekonomi (economic shock), di antaranya Kartu Prakerja dan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang sedang digodok.
Perluasan skema kesejahteraan ini menunjukkan komitmen negara untuk memastikan segenap tumpah darah terlindungi dan mendapatkan jaminan kehidupan yang layak. Dengan bertambahnya skema kesejahteraan semasa pandemi, Indonesia memiliki variasi jenis program perlindungan sosial terlengkap di dunia.
Hanya saja, secara tren perbaikan kualitas hidup dilihat dari beberapa indikator, seperti tingkat kemiskinan, indeks gini, Indeks Pembangunan Manusia mengalami perlambatan. Walaupun anggaran perlindungan sosial terus meningkat sejak awal 2000, terjadi stagnasi dalam perbaikan indikator kesejahteraan pada dekade terakhir.
Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengindikasikan, proporsi cukup besar warga miskin adalah para manula. Bisa diprediksi, mereka sebagian pada masa mudanya adalah pekerja informal, buruh tanpa keahlian, sehingga penghasilan hanya untuk menyambung hidup tanpa bekal untuk hari tua. Tidak heran jika angka kemiskinan sulit untuk dipangkas lagi.
Mukjizat pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi ditopang tenaga kerja cakap.
Menilik keberhasilan kebijakan sosial di Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong, resep apa yang dapat digunakan untuk Indonesia? Konsep dan arah kebijakan sosial yang dianut negara-negara Asia Timur tersebut fokus dan aktualisasi kebijakan persisten guna mencapai tujuan. Variasi skema pun tidak beragam sehingga lebih mudah mengelola dan mengukur keberhasilannya.
Pemilihan pada model produktif membuat alokasi anggaran terkonsentrasi pada pendidikan yang meningkatkan keahlian, perlindungan kerja agar produktivitas meningkat, dan ada jaminan kesehatan bagi pekerja. Mukjizat pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi ditopang tenaga kerja cakap. Tak heran mereka bisa melompat dari negara dunia ketiga menjadi dunia pertama.
Institusi pentransformasi program
Kondisi Indonesia sendiri dan perkembangan ekonomi kawasan sudah berbeda dibandingkan dengan saat macan Asia Timur mulai menggeliat. Apalagi selama pandemi ini, strata aspiring middle class (calon kelas menengah) mengalami degradasi turun kelas, bahkan menjadi tuna-pekerjaan. Maka, arah kebijakan yang logik adalah menggandengkan program perlindungan sosial antara yang charity (amal) dan produktif.
Rumah tangga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) harus dipastikan tak hanya mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, tetapi juga menerima pelatihan kerja, dana microfinance/UMKM, dan jaminan BPJS Ketenagakerjaan.
Penggabungan ini, sebut saja sebagai skema pemberdayaan produktif, juga melingkupi pekerja informal, seperti asisten rumah tangga, pedagang kelontong, buruh tani, buruh rumahan, dan sebagainya, agar mereka dapat mengakses untuk peningkatan keahlian, permodalan usaha sekaligus jaminan ketenagakerjaan (jaminan kecelakaan kerja, jaminan kerja layak (employment guarantee), serta dana pensiun).
Peran negara menjadi vital dalam skema kesejahteraan pemberdayaan produktif, tidak hanya sebagai pengayom, tetapi juga enabler untuk memperbaiki taraf hidup sekaligus mendorong produktivitas. Jika pada macan Asia Timur kebijakan sosial dirancang untuk melayani kebijakan ekonomi, dalam kondisi saat ini paradigma itu diputarbalikkan menjadi kebijakan ekonomi untuk melayani kesejahteraan.
Tentu saja diperlukan institusi untuk mentransformasikan program-program perlindungan sosial menjadi skema kesejahteraan pemberdayaan produktif. Pandemi sebenarnya menciptakan peluang untuk itu. Di saat semua negara mengalami hibernasi dan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi, inilah momen tepat untuk me-reset ulang kebijakan dan skema kesejahteraan kita.
Juga, prahara pada Kementerian Sosial menjadi pintu masuk untuk menjadikannya Kementerian Pemberdayaan dan Kesejahteraan, dan berperan sebagai wali skema perlindungan sosial pemberdayaan-produktif. Jangan biarkan peluang tersia-siakan.
(Luky Djani Peneliti Institute for Strategic Initiatives)