Bangsa ini memerlukan ”muazin”, yakni sosok yang berseru-seru tentang kondisi bangsa, seperti adanya ketidakadilan, korupsi, dan politik transaksional. Sosok seperti Gus Dur dan Nurcholish Madjid dirindukan,
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Jagat virtual begitu gaduh. Bising. Ada yang membahas soal Gisella Anastasia yang hampir tiap hari dijumpaperskan Polda Metro Jaya. Padahal, tidak ada kerugian negara di dalamnya. Ada ”kebisingan” yang dilatarbelakangi fenomena blusukan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang ditelaah dari perspektif politik. Padahal, bukankah Pasal 34 UUD 1945 menegaskan, ”Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”. Ada debat soal istilah pembatasan sosial berskala besar atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Padahal, intinya sama saja: batasi pergerakan manusia yang tidak perlu.
Pada alam nyata, ancaman Covid-19 begitu nyata. Fasilitas kesehatan terancam lumpuh. Jumlah orang terpapar Covid-19 sudah mendekati angka satu juta orang. Angka satu juta mungkin akan tercapai menjelang setahun ditemukannya Covid-19 di Tanah Air. Kasus positif Covid-19 di Tanah Air sudah berada di atas angka 100.000. Sekalipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menyatakan vaksin buatan Sinovac dari China halal, program vaksinasi yang aman dan efektif masih menunggu ”izin” Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Terasa ada kesenjangan antara realitas dunia nyata dan perdebatan virtual di jagat digital. Kamis siang, 7 Januari 2021, saya memilih menyepi untuk sekadar makan siang bersama Sukidi Mulyadi dan putrinya, Nubila.
Sukidi, kelahiran Tanon, Sragen, aktivis Muhammadiyah dan anak petani, baru saja menyelesaikan PhD di Universitas Harvard. Universitas yang angker dari sisi intelektualitas. Ia menulis disertasi berjudul ”The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators”.
Sudah lama saya tak bertemu dengannya. Terakhir bertemu pada saat pemakaman wartawan senior Kompas, AM Dewabrata, di Sleman pada tahun 2005. Mas Dewa aktif bertemu dengan para penulis muda di harian Kompas.
”Sejak saat itu, saya tak pulang lagi ke Tanah Air,” ujarnya seraya menambahkan, ”Saya kini pulang tak sempat bertemu dengan Pak Jakob.” Jakob Oetama adalah wartawan yang dikaguminya, terutama soal visi kebangsaannya.
Obrolan tanpa kesimpulan itu berpusat pada kesan meredupnya visi intelektualitas pembangunan bangsa dan hilangnya penjaga moral bangsa. Bangsa ini butuh banyak lagi muazin penjaga moralitas bangsa.
Obrolan ngalor ngidul soal kondisi negeri. Namun, obrolan tanpa kesimpulan itu berpusat pada kesan meredupnya visi intelektualitas pembangunan bangsa dan hilangnya penjaga moral bangsa. Bangsa ini butuh banyak lagi muazin penjaga moralitas bangsa.
Istilah muazin bangsa diambil dari esai Alois A Nugroho berjudul ”Buya Ahmad Syafii Maarif, ’Sang Muazin’ Moralitas Bangsa” (Maarif Institute, 2015).
”Muazin” adalah sosok yang terus berseru-seru soal kondisi negeri. Berseru soal keadilan sosial yang kian menganga, berseru soal korupsi yang kian merajalela, berseru soal kekerasan yang menjadi gaya baru penyelesaian masalah, berseru soal praktik politik tanpa value, selain politik transaksional, berseru soal arti takhta untuk kepentingan rakyat, bukan kuasa untuk keluarga, berseru soal kecenderungan memudarnya demokrasi. ”Muazin” berseru, tetapi tidak mengorbankan kebencian, apalagi memprovokasi kekerasan.
Alois menobatkan sebutan ”muazin” kepada Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah. Sebelumnya, posisi serupa bisa dilekatkan kepada KH Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Kini, ”muazin” yang terus berseru di tengah kepungan oligarki yang bertaut kepentingan semakin sedikit. Masih ada nama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama. Muazin adalah pengakuan sosial (social recognition) yang boleh jadi tidak ada ukuran pastinya.
Bangsa ini membutuhkan ”para muazin” dengan tradisi intelektual yang berakar dan memiliki visi mengenai kebangsaan Indonesia.
Setelah itu? Inilah pertanyaan besar negeri ini. Bangsa ini membutuhkan ”para muazin” dengan tradisi intelektual yang berakar dan memiliki visi mengenai kebangsaan Indonesia. ”Para muazin” yang konsisten bersama kekuatan rakyat membangun kekuatan tengah. ”Para muazin” yang bisa menawarkan gagasan, menawarkan narasi besar untuk negeri, setelah pandemi ini bisa selamat kita lalui.
”Muazin” juga dibutuhkan untuk menghadirkan kepemimpinan ide, kepemimpinan gagasan. Saat ini, kosongnya kepemimpinan narasi atau kepemimpinan gagasan membuat kita ini seperti kehilangan orientasi.
Peran partai politik cenderung meredup, apalagi di era pandemi. Tak banyak terdengar suara pimpinan partai politik ataupun pimpinan lembaga negara menyikapi krisis kesehatan. Politiknya terasa terlalu formal.
Politik Indonesia kontemporer sebenarnya hadir dengan produksi diksi yang kuat, seperti ”Revolusi Mental”, ”Poros Maritim”. Namun, sayangnya, retorika itu meredup dan jarang terdengar lagi. Muncul tandingan Revolusi Akhlak yang kemudian juga meredup. Sukidi pun menangkap kesan serupa.
Banyak kata indah yang memberikan harapan berseliweran. ”Jangan memukul, tetapi merangkul”. ”Saya wakafkan hidup ini untuk negeri”. ”Jadikan agama sebagai sumber inspirasi, bukan aspirasi”. Pekerjaan rumahnya kemudian bagaimana retorika itu mewujud dalam tindakan atau kebijakan publik.
Kata dan perbuatan selalu berbeda. Banyak retorika indah, tetapi sebenarnya kosong dalam makna.
Rumusan hebat dalam dokumen kampanye itu kadang sulit menjadi kenyataan. Buya Syafii pernah mengatakan, ”Dalam kehidupan bangsa ini, sudah lama terjadi pecah kongsi antara kata dan perbuatan.” Kata dan perbuatan selalu berbeda. Banyak retorika indah, tetapi sebenarnya kosong dalam makna.
Semoga Sukidi dan cendekiawan muda lainnya bisa mengisi kekosongan ”muazin” dan memperkokoh politik kebangsaan.