Psikologi positif melihat persoalan dengan lebih komprehensif: hal-hal buruk tidak selalu merupakan kesalahan orang yang mengalaminya. Bisa saja kita mencoba hidup sehat, tetapi tetap jatuh sakit.
Oleh
Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Kita menghadapi tantangan amat besar di tahun 2020 yang baru berlalu dan belum dapat memastikan apa yang akan terjadi di tahun 2021. Semua berharap keadaan akan jauh membaik, apalagi vaksin telah tersedia. Bagaimanapun kita tetap perlu bersikap realistis mengingat kasus terinfeksi Covid-19 masih terus muncul dan perlu banyak inovasi untuk mengembalikan bergulirnya roda ekonomi.
Artinya, tantangan masih sangat besar di tahun 2021 ini. Berkeluh kesah dan memfokus pada yang negatif tampaknya tidak akan membantu mengatasi masalah. Yang amat diperlukan adalah merangkul perspektif psikologi positif dalam bekerja dan menjalani hidup.
Saya menemukan buku menarik dari Sarah Lewis (2011), Positive Psychology at Work: How Positive Leadership and Appreciative Inquiry Create Inspiring Organizations, yang mungkin akan sangat bermanfaat bila pembaca dapat menemukan dan membaca isinya secara lengkap.
Dari studi literatur yang dilakukan Lewis, cikal bakal mengenai perlunya berpikir positif dan psikologi positif tampaknya dapat ditelusuri hingga pertengahan abad ke-19, ketika di Amerika Serikat banyak orang mengalami kelelahan dan gejala-gejala fisik yang tidak diketahui apa penyebabnya (dugaannya, yang di masa kini disebut sebagai gejala depresi).
Bukan sekadar berpikir positif
Saat itu yang mengemuka adalah pandangan agama bahwa manusia harus bekerja keras, yang sekaligus menekankan ajaran pada ketakutan dan dosa. Langkah penyembuhan yang direkomendasikan adalah istirahat total di tempat tidur tanpa stimulasi apa pun, tidak boleh membaca, disuguhi makanan hambar, tidak ditemani siapa pun, ruang digelapkan.
Kemudian ada Phineas Quimby yang berani menyampaikan bahwa ajaran di ataslah sesungguhnya yang menyebabkan munculnya kelelahan dan gejala sakit fisik.
Ia kemudian mengusulkan ’penyembuhan melalui berbicara’ dan menekankan bahwa dunia ini sesungguhnya menghadirkan kebaikan. Menurut dia, manusia sesungguhnya adalah satu kesatuan dengan kebaikan alam semesta, dan melalui kekuatan koneksi dengan alam, pasien dapat menggunakan kekuatan pikiran untuk menyembuhkan sakitnya.
Orang mungkin sulit membedakan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar antara psikologi positif dan berpikir positif. Perbedaannya adalah anjuran untuk berpikir positif lebih diisi oleh nasihat-nasihat dan anekdot yang pesannya adalah ’bila itu tidak berhasil (persoalan tidak selesai, penyakit tidak sembuh), itu akibat kamu belum benar-benar berpikir positif’. Jadi, kita seperti diyakinkan bahwa apa yang terjadi pada kita adalah akibat kesalahan kita sendiri.
Psikologi positif melihat persoalan dengan lebih komprehensif: hal-hal buruk tidak selalu merupakan kesalahan orang yang mengalaminya. Bisa saja kita mencoba hidup sehat, tetapi tetap jatuh sakit. Bukan tidak mungkin pula, kita punya niat baik, tetapi ternyata hasilnya tidak sesuai harapan atau merugikan.
Lebih lagi, emosi negatif tidak selalu buruk karena memiliki tujuannya. Rasa takut, marah, sedih, atau cemas perlu hadir untuk membuat kita sadar tentang adanya ancaman atau tantangan terhadap kesejahteraan kita. Agar kita dapat berbuat sesuatu untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi serta dapat mengembangkan kesejahteraan.
Intervensi untuk kesejahteraan
Bila penelitian ilmiah tidak jarang terkesan seperti ’menara gading’, psikologi positif mencoba mengembangkan pengetahuan dengan melakukan penelitian-penelitian yang lebih dekat dengan kehidupan keseharian manusia. Berbasiskan penelitian tersebut, dikembangkan pendekatan intervensi yang bermanfaat bagi manusia untuk hidup lebih baik, bahagia, dan produktif.
Bila pembaca tertarik, silakan mempelajari lebih lanjut beberapa contoh intervensi psikologi positif berbasis penelitian melalui tautan https://positivepsychology.com/positive-psychology-interventions/.
Contohnya, antara lain, memfokus pada pengalaman tertentu untuk mengelola gangguan suasana hati, atau intervensi ’rasa syukur’ untuk menghadirkan perasaan positif. Dapat pula kita melakukan kebaikan-kebaikan sederhana secara sengaja, atau mencari makna dari aktivitas harian kita.
Melalui bukunya, Lewis mencoba menjembatani kesenjangan dengan menjelaskan penelitian-penelitian psikologi positif yang dapat menginspirasi dan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kebahagiaan dan produktivitas manusia, baik sebagai individu maupun dalam konteks kerja dan organisasi.
Di awal buku, ia menuliskan butir-butir simpulan satu halaman saja tentang bagaimana menghadirkan wahana kerja yang positif, menginspirasi sekaligus etis. Yang pertama adalah menghadirkan suasana kerja yang terasa baik dan nyaman. Lalu kita perlu merekrut atau melibatkan orang-orang dengan fokus pada sikap kerja yang baik dan memainkan kekuatan dari semua orang.
Dalam bekerja dan bermasyarakat, kita perlu membangun modal sosial, memaknai dan mencoba mencari penjelasan bersama-sama (make sense together), menciptakan lingkungan yang kaya dengan penghargaan, menciptakan kondisi untuk berubah, dan dengan sendirinya, juga mendorong atau mendukung adanya penyimpangan positif.
Terakhir, perlu diingat adanya paradoks, simulasi praktik-praktik positif kadang terasa tidak autentik. Misalnya, mungkin kita tersenyum kepada pelanggan atau rekan kerja, tetapi senyuman kita kaku atau palsu. Contoh lain, kita menuntut pekerja untuk mampu mendengar, tetapi tidak mencontohkan hal itu.
Tidak ada jalan pintas. Bila kita tidak mempraktikkan yang kita tuntut dari orang lain, tidak menghidupi nilai-nilai yang kita sebut-sebut, tidak menunjukkan semangat sekaligus kerendahan hati yang kita klaim, orang lain akan menemukan kesenjangan itu.
Oleh karena itu, catatan terakhir adalah perlunya kita semua memimpin diri kita sendiri menjadi manusia dan diri yang autentik.