Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Setiap penelitian kesehatan yang mengikutsertakan subjek manusia harus mendapatkan persetujuan etik (Ethical Approval) dari komisi etik di bawah institusi penyelenggara penelitian kesehatan. Komisi etik perlu independen.
Penelitian di bidang kesehatan merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilakukan.
Ini karena tantangan di bidang kesehatan sangat dinamis dan melibatkan multiaspek keilmuan. Masih banyak pekerjaan rumah untuk mengungkap perjalanan suatu penyakit hingga pengobatannya, melalui riset yang baik.
Meskipun riset sudah berjalan lebih dari dua abad, metodologi yang baik dalam pelaksanaan riset baru berkembang abad 20. Penerapan metodologi baik dan beretika dimulai pada 1940-an, saat Nazi kalah dalam Perang Dunia II.
Regulasi global
Berbicara tentang etika penelitian kesehatan pada subjek manusia, tak lepas dari sejarah kelam dalam pelaksanaan riset, khususnya uji klinik. Masih dapat kita telusuri, bagaimana tentara dan peneliti Nazi melakukan riset terhadap tawanan di kamp konsentrasi.
Eksperimen bisa sekadar melihat perjalanan suatu penyakit atau respons tubuh terhadap perlakuan tertentu (misal respons tubuh akibat suhu dingin yang ekstrem). Tetapi karena tidak memikirkan keselamatan dan keamanan subjek manusia, eksperimen berakhir dengan cacat permanen atau bahkan kematian.
Di sisi lain, partisipasi para tawanan merupakan hasil paksaan, tanpa kebebasan calon subjek untuk memilih berpartisipasi atau tidak.
Setelah Nazi dan sekutunya kalah, terbentuklah Nuremberg Code (1947) yang merupakan kesepakatan bersama untuk melindungi hak para subjek manusia dalam penelitian. Kesepakatan ini berisi 10 poin yang harus dipenuhi oleh para peneliti, di antaranya kesukarelaan para subjek manusia untuk ikut dalam penelitian.
Pada tahun itu, dikeluarkan Deklarasi Helsinki, dokumen yang secara prinsip mengatur hak-hak subjek manusia dalam penelitian.
Pada tahun 1964, World Medical Association (WMA), suatu konfederasi internasional independen dari asosiasi medis profesional dunia, menyempurnakan penjaminan hak-hak para subjek manusia dalam penelitian kesehatan. Pada tahun itu, dikeluarkan Deklarasi Helsinski, dokumen yang secara prinsip mengatur hak-hak subjek manusia dalam penelitian. Di antaranya otonomi subjek untuk berpartisipasi dan kesejahteraan subjek (keselamatan dan keamanan) harus di atas kepentingan sains.
Tahun 1932-1972, pemerintah Alabama, AS, bekerja sama dengan Universitas Tuskegee melakukan riset perihal perjalanan penyakit sifilis pada orang keturunan Afrika-Amerika di negara bagian tersebut. Ada beberapa pelanggaran etik pada penelitian itu, di antaranya subjek merupakan kaum minoritas dan peneliti tidak menginformasikan bahwa antibiotik (penisilin) pada 1947 sudah diketahui dapat menyembuhkan sifilis.
Kejadian itu akhirnya melahirkan suatu dokumen untuk melindungi subjek penelitian kesehatan, Belmont Report (1979). Dokumen ini menitikberatkan tiga prinsip dalam riset yang harus diutamakan, yaitu beneficence, justice, and respect for persons.
Perlindungan subjek
Tampaklah bahwa perlindungan terhadap subjek penelitian sangat menjadi perhatian dunia. Bahkan, masih terdapat beberapa tambahan pedoman terbaru seperti yang berasal dari The International Conference on Harmonisation of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use-Good Clinical Practice (ICH-GCP). Ini adalah suatu pedoman riset uji klinis dan juga pedoman riset yang berasal dari Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS).
Pedoman-pedoman ini berlaku universal dan seharusnya menjadi acuan dalam penilaian kelayakan etik penelitian, di samping peraturan nasional yang berlaku di masing-masing negara. Dengan pedoman internasional, perlindungan subjek manusia dalam penelitian akan terstandardisasi.
Adanya alasan kuat baik dari sisi kebutuhan dan tantangan di bidang kesehatan untuk menyelenggarakan riset, memungkinkan masih munculnya kejadian yang merugikan subjek manusia. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu lembaga independen yang dapat menjamin pelaksanaan riset di bidang kesehatan, sesuai kaidah ilmiah dan etik yang baik.
Komisi etik
Setiap penelitian kesehatan yang mengikutsertakan subjek manusia harus mendapatkan persetujuan etik (Ethical Approval) dari komisi etik di bawah institusi penyelenggara penelitian kesehatan. Ini meliputi setiap institusi yang menyelenggarakan penelitian, seperti institusi pendidikan (universitas), institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit), maupun institusi penelitian lain (di antaranya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Lembaga Eijkman).
Komisi etik merupakan suatu lembaga independen yang sengaja dibentuk oleh lembaga-lembaga tersebut agar dapat memastikan setiap kegiatan pada penelitian sesuai dengan kaidah ilmiah dan etik.
Hal ini juga sejalan dengan peran komisi etik pada ICH GCP. Selain menelaah prosedur penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, komisi etik juga bertanggung jawab memonitor peneliti dalam pelaksanaan riset di lapangan.
Dalam suatu uji klinik untuk mencari pengobatan terbaru, paling tidak terdapat empat pemangku kepentingan yang terlibat. Di antaranya peneliti, sponsor, komisi etik dan regulator (dalam hal ini BPOM).
Masing-masing pemangku kepentingan memiliki peran dan motivasi yang berbeda dalam riset.
Masing-masing pemangku kepentingan memiliki peran dan motivasi yang berbeda dalam riset. Hal ini memungkinkan terjadinya kesepakatan yang tidak etis dan merugikan subjek. Maka, di sini peran komisi etik sebagai lembaga independen menjadi benteng terakhir menelaah, apakah riset sesuai kaidah ilmiah dan etik.
Hierarki komisi etik
Meskipun pendirian komisi etik berdasarkan surat keputusan pimpinan tertinggi dalam suatu lembaga, dalam pelaksanaan tugas komisi etik, pimpinan lembaga tersebut tidak boleh mengintervensi tugas pokok dan fungsi komisi etik.
Pasal 4 Permenkes nomor 7 tahun 2016 tentang Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN) memperlihatkan, KEPPKN adalah perpanjangan tangan kementerian. Fungsinya antara lain membina komisi etik penelitian dengan memperhatikan norma-norma global (Deklarasi Helsinki, Belmont Report maupun ICH-GCP), selain menjunjung nilai-nilai pada masyarakat Indonesia.
Di Amerika Serikat, meskipun komisi etik harus terdaftar pada FDA (Food and Drug Administration, atau BPOM di Indonesia), lembaga tersebut tidak dapat mengintervensi independensi dari komisi etik.
Dengan demikian, independensi komisi etik sangat perlu dijaga. Integritas semua pemangku kepentingan, baik peneliti, kepala lembaga, regulator, maupun anggota komisi etik menjadi sangat krusial.
(Anton Rahardjo Guru Besar Universitas Indonesia, Ketua Forum of Indonesian Recognized Research Ethics Committee (FIRREC))