2021 Momentum Bangkitkan Pariwisata Indonesia
Masa sulit mengingatkan kita untuk tidak hanya memecahkan persoalan yang dihadapi saat kini, tetapi juga menjawab permasalahan jangka panjang yang bersifat transdisiplin.
Tahun 2020 baru saja berlalu, tahun penuh dengan dinamika bagi pariwisata dunia dan Indonesia. Sebelumnya, pada 2019, Indonesia sudah ”kecewa”, target pemerintah untuk 20 juta kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) hanya mencapai 16,1 juta. Jumlah wisatawan Nusantara pun menurun dari capaian sebelumnya: 303 juta pada 2018 menjadi 275 juta.
Tahun 2020, harapan untuk mendekati angka 20 juta wisman dan 300 juta wisatawan Nusantara pun pupus. Pertumbuhan dibandingkan 2019 hanya terjadi pada Januari. Pada Februari, kunjungan wisman sudah mulai menurun dan penurunan bulanan terhadap tahun 2019 makin lama makin tajam.
Mulai tengah tahun kedua, penurunan bahkan mendekati 90 persen. Jumlah wisatawan Nusantara pun dipastikan mengalami penurunan, selain karena perlambatan pertumbuhan ekonomi juga oleh aturan dan protokol kesehatan yang diterapkan untuk mencegah meluasnya penularan Covid-19. Jumlah wisman sepanjang 2020 diperkirakan hanya mencapai 25 persen dari jumlah capaian 2019 dan jumlah wisatawan Nusantara kemungkinan juga tidak lebih dari 30 persen mengingat hambatan perjalanan selama masa puncak libur Lebaran serta Natal dan Tahun Baru.
Salah satu hal yang menggembirakan sekaligus membanggakan adalah bahwa pada tengah tahun (7 Juli), salah satu destinasi superprioritas yang sedang digarap: Kawasan Danau Toba (KDT) dikukuhkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGG), setelah penantian panjang selama 9 tahun. KDT merupakan UGG kelima bagi Indonesia setelah Batur, Rinjani, Pegunungan Sewu, dan Ciletuh.
Pengakuan tersebut sekaligus juga membawa tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa Indonesia dapat mengelola enam belas geosites, termasuk danaunya, secara berkelanjutan, sesuai dengan ketentuan UNESCO. Sebelum itu Kementerian/Badan Parekraf juga telah, antara lain, menerbitkan Pedoman Teknis Pengembangan Geopark sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (geopark) dan untuk mempersiapkan taman bumi nasional lain untuk diusulkan ke UNESCO.
Sepanjang tengah tahun kedua, kita menghadapi drama yang seru. Setiap kali terdengar berita tentang peningkatan jumlah pasien terpapar Covid-19, diiringi dengan berbagai imbauan dan larangan terkait protokol kesehatan dan penurunan kunjungan wisatawan atau tingkat hunian hotel. Larangan yang tidak selalu dihiraukan, dengan berbagai kemungkinan alasan, bukan sekadar ketidakpatuhan.
Sebagian perjalanan juga dilakukan karena tugas agar roda pemerintahan atau perekonomian tetap harus berjalan: perjalanan dinas/bisnis. Sebagian pelaku perjalanan wisata yang mengabaikan protokol kesehatan untuk melindungi dirinya sendiri dan orang lain menjadi sebab bahwa setiap kali habis liburan selalu ada lonjakan.
Pada sisi lain, juga terbukti berbagai persyaratan untuk melakukan perjalanan dilakoni dengan patuh oleh mereka yang sudah tidak tahan untuk tidak berlibur/berwisata. Ada kelompok yang mau melakoni berbagai prosedur untuk terbang, sebagian memilih perjalanan darat dengan kendaraan pribadi, didukung oleh infrastruktur yang sudah makin luas dan baik.
Pemerintah, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun mengeluarkan yang dikenal sebagai pedoman CHSE (cleanliness, health, sanitation and environment) yang mengacu kepada berbagai sumber yang relevan untuk berbagai elemen: daya tarik wisata, pondok wisata, hotel, penyelenggaraan kegiatan wisata, dan sebagainya; seluruhnya ada sembilan macam pedoman sejenis.
Sosialisasi pun dilakukan untuk memastikan agar pedoman tersebut dipahami. Namun, seberapa meluas pelaksanaan di lapangan secara umum masih perlu pemantauan dan evaluasi secara berkala. Pada awal milenium sebenarnya kita pernah mengenal adanya Persatuan Kesehatan Wisata Indonesia, saat itu bekerja sama denga Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang telah memikirkan kesehatan pelaku perjalanan yang masuk dan keluar pintu-pintu gerbang, terutama internasional.
Akhir tahun kita juga disuguhi dengan pengangkatan Menteri/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif baru, disertai pesan dari Presiden untuk melanjutkan dan membereskan pembangunan destinasi prioritas dan dari Wapres terkait pariwisata halal. Menteri baru pun segera melakukan kunjungan kerja ke Bali dan Toba untuk bertemu dengan kepala daerah dan para pemangku kepentingan untuk menyampaikan berbagai pesan, harapan, dan optimisme akan kebangkitan pariwisata ataupun ekonomi kreatif.
Dalam situasi perkembangan pasien Covid-19 yang masih terus meningkat, pemerintah mengeluarkan larangan menimbulkan kerumunan dalam merayakan Natal dan Tahun Baru. Pusat kota-kota besar ditutup saat malam Tahun Baru disertai larangan menyalakan kembang api dan penjagaan ketat.
Dari berbagai berita di media massa diperoleh indikasi kuat bahwa sebagian segmen pasar atas bersedia mengikuti berbagai protokol kesehatan yang disyaratkan untuk dapat terbang. Bali merupakan sasaran kunjungan favorit. Sebagian lain memilih untuk tinggal di berbagai hotel bintang di berbagai kota besar/menengah, seperti di Bandung, Surabaya, dan Jakarta.
Segmen pasar menengah yang segan dan menghindari kerumunan di bandara atau tempat umum lainnya memilih menggunakan kendaraan mobil pribadi dengan persiapan yang lebih sederhana. Mereka yang tergolong alosentrik memilih wisata alam, seperti ke Bromo atau tempat wisata alam yang relatif sepi pengunjung; sementara mereka yang tergolong psikosentrik memilih jalan-jalan ke kota lain.
Segmen terbesar yang dikendalikan melalui berbagai peraturan daerah di berbagai kota besar adalah segmen wisatawan masal lokal dan wisatawan jarak pendek ke berbagai tempat di pusat kota dan di wilayah sekitar kota besar.
Situasi saat pandemi ini sedikit banyak telah mengungkap bahwa pariwisata memang sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam; variasi permintaan merupakan akibat dari variasi sosial-ekonomi ataupun variasi psikografik dalam menentukan pilihan tujuan wisata berdasarkan persyaratan dan pertimbangan risiko yang harus dihadapi.
Terjadinya kasus tinggi di perbatasan Jakarta dengan Bodetabek menunjukkan kerumunan pasar wisatawan lokal/jarak pendek. Hal ini memastikan bahwa potensi wisatawan Nusantara yang besar, terkelompok dari sisi kemampuan sosial-ekonomi, juga bervariasi dari sisi psikografik yang menentukan pilihan wisata. Wilayah asal wisatawan dipastikan sesuai dengan distribusi penduduk, terkonsentrasi di P Jawa dan kota besar lainnya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga sudah sigap dengan tiga jurus inovasi dengan memanfaatkan mahadata dalam pengembangan produk dan target pasar; adaptasi dengan kondisi baru serta kolaborasi dengan pemerintah daerah ataupun dengan kementerian lain.
Setidaknya telah dilakukan kunjungan ke destinasi wisata utama Bali dan salah satu destinasi prioritas Toba dan dinyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Kesehatan, indikasi pendekatan transdisiplin yang memang harus digencarkan.
Indonesia perlu bersiap, tidak hanya menghadap tahun 2021 dengan optimistis karena jaminan ketersediaan vaksin dan mekanisme pelaksanaannya yang jelas serta menghidupkan kembali bisnis pariwisata menghadapi perubahan permintaan; tetapi lebih jauh ke depan dan sekaligus menata (kembali) dan menentukan arah pembangunan kepariwisataan Indonesia untuk jangka panjang.
Mari kita gunakan momentum Covid-19 ini sekaligus sebagai kesempatan untuk evaluasi diri atas berbagai kebijakan dan penyelenggaraan kepariwisataan pada masa sebelumnya. Mari kita menyiapkan rancang bangun pariwisata Indonesia untuk Indonesia Maju 2045 nanti; mengubah pola pikir, tetap mengikuti dinamika global, tanpa mengabaikan kepentingan nasional.
Berbagai hal penting untuk bahan evaluasi mencakup mencari kesepakatan tentang bangun pariwisata Indonesia 2045 dan berpikir out of the box dengan menempatkan pariwisata tidak hanya sebagai industri, penghasil devisa, penyedia lapangan kerja dan kontribusi ekonominya.
Mari kita menempatkan pariwisata juga sebagai bagian dari pendidikan berbangsa dan bernegara, kendaraan untuk mengenal Nusantara, meningkatkan cinta Tanah Air, menjaga kedaulatan negara, dan menyadarkan kita semua tentang keragaman alam ataupun budaya Indonesia sebagai ciri negara dan bangsa Indonesia yang dipersatukan dalam NKRI.
Semua hal tersebut tersirat dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang mencantumkan tujuan pembangunan yang multidimensi, yang selama ini belum terperhatikan secara setara, kita masih sangat terfokus ke aspek ekonomi, khususnya ekonomi ekspor (devisa).
Secara akademik, pandangan tentang pariwisata juga tidak tunggal: sebagai fenomena geografik, sebagai perilaku sosial/budaya, sebagai sumber daya, sebagai gaya hidup merupakan berbagai pandangan selain pandangan tentang pariwisata sebagai bisnis dan industri yang selama ini dianut. Perdebatan akibat perbedaan cara pandang yang sering terjadi sebenarnya dapat lebih bermanfaat apabila para pihak dapat saling memahami dan bersinergi.
Pariwisata juga jelas merupakan fenomena temporal mingguan, bulanan, atau tahunan, bahkan juga periode yang lebih lama lagi. Untuk hal ini, kita sering membahas masalahnya dan baru memberikan solusi teknikal, sementara masalah terus berulang karena akarnya belum tercabut.
Fenomena yang dihadapi Indonesia bukan hanya terkait dengan distribusi spasial/geografik, yang sangat terkonsentrasi di Jawa dan Bali, melainkan juga distribusi temporal dan distribusi sosial. Pola yang sekarang menunjukkan fluktuasi yang besar pada liburan Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta pergantian tahun ajaran.
Oleh karena itu, salah satu kebijakan yang perlu dipikirkan adalah kebijakan pengaturan temporal melalui kemungkinan pengaturan liburan pergantian tahun ajaran dengan sistem perwilayahan. Dengan menggeser seminggu ke depan dan ke belakang untuk masing masing dan membagi ke dalam tiga wilayah, misalnya, beban liburan selama empat minggu akan terdistribusi ke dalam rentang waktu 6 minggu.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini merupakan pemangku yang paling relevan untuk diajak bergabung memikirkan pariwisata sebagai bagian dari edukasi untuk peningkatan pengetahuan tentang alam dan budaya Nusantara. Selain mengurangi arus lalu lintas dan beban destinasi yang menjadi sasaran, distribusi temporal ini juga secara ekonomi lebih menguntungkan pelaku usaha.
Fenomena lain adalah kesempatan berwisata bagi penduduk Indonesia yang beragam kemampuan ekonominya. Apabila pariwisata merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia, pemerintah perlu mendukung pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang belum mampu memenuhinya.
Bantuan untuk menggerakkan sektor pariwisata tidak cukup hanya diberikan kepada industri, tetapi juga diperlukan bantuan bagi para guru dan anak-anak sekolah untuk dapat melakukan kegiatan wisata sebagai bagian dari proses pendidikan; bantuan kepada para lansia yang butuh rekreasi dan atau wisata, tanpa tergantung kepada pihak lain; bantuan kepada para difabel dan mereka yang kurang beruntung lainnya untuk mendapat kesempatan memenuhi kebutuhan akan rekreasi dan wisata.
Pengalaman selama pandemik juga menegaskan makin perlunya ruang-ruang terbuka hijau yang makin tersebar di berbagai penjuru kota, terutama di kawasan permukiman padat, untuk memenuhi kebutuhan akan udara segar dengan sarana yang memadai dan mengurangi arus kunjungan ke pusat kota.
Masa sulit mengingatkan kita untuk tidak hanya memecahkan persoalan yang dihadapi saat kini; tetapi juga menjawab permasalahan jangka panjang yang bersifat transdisiplin. Untuk hal tersebut, selain bergegas menyambut wisatawan Nusantara pada 2021 ini, mari kita bersiap untuk juga melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan kepariwisataan masa lalu.
Duduk bersama antara para pihak untuk menentukan bukan hanya arah, melainkan juga bangun kepariwisataan Indonesia yang dibutuhkan dan diinginkan, untuk menjaga kesatuan, persatuan, serta kedaulatan NKRI serta memajukannya.
(Myra P Gunawan, Pendiri Pusat Penelitian Kepariwisataaan ITB, sekarang Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan ITB)