Kebutuhan penanganan dampak Covid-19 yang masih besar membuat target defisit APBN 2021 yang semula 3,21-4,17 persen PDB diperlebar menjadi 5,7 persen PDB.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Realisasi APBN 2020 yang dipaparkan pemerintah menunjukkan tekanan luar biasa berat dari pandemi Covid-19. Situasi serupa diprediksi berlanjut pada 2021.
Tekanan itu tecermin pada jebloknya penerimaan pajak, membengkaknya pembiayaan utang, dan tingginya sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Pemerintah juga dipaksa dua kali merevisi APBN selama 2020 (Kompas, 7/1/2021).
Pada 2021, tekanan terhadap APBN diprediksi belum mereda dengan masih tingginya ketidakpastian, terutama dengan tren kasus Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda melambat meskipun vaksin sudah mulai masuk. Satu hal yang pasti, anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN)—yang masih akan dilanjutkan pada 2021—dipastikan membengkak, dari rencana Rp 372,3 triliun menjadi Rp 403,9 triliun. Hal ini terutama karena adanya langkah pemerintah menggratiskan vaksinasi Covid-19 ke masyarakat.
Pemerintah juga masih akan melanjutkan program perlindungan sosial skala luas pada tahun 2021, meliputi Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, dan Bantuan Sosial Tunai. Belum lagi berbagai stimulus untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dan korporasi.
Masih tingginya kebutuhan penanganan dampak Covid-19 itu pula yang membuat target defisit APBN 2021 yang semula 3,21-4,17 persen PDB diperlebar menjadi 5,7 persen PDB. Pembatasan kegiatan (PSBB) yang diberlakukan pemerintah pada 2021 juga mengancam target penerimaan pajak 2021.
Lonjakan utang pemerintah pada dasarnya sudah diperkirakan sejak awal, sebagai konsekuensi logis dari kebijakan kontrasiklikal yang ditempuh untuk penanganan Covid-19 dan mengatasi dampak pandemi pada perekonomian. Melonjaknya pembiayaan utang hingga 180,4 persen pada 2020 terjadi sejalan dengan meningkatnya kebutuhan untuk penanganan dampak Covid-19 dan program PEN.
Penurunan penerimaan pajak sebesar 19,7 persen year on year dan 89,3 persen dari target Rp 1.119,8 triliun sejalan dengan kontraksi ekonomi dan adanya berbagai insentif perpajakan untuk mengatasi dampak pandemi, yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Untuk tingginya silpa, lebih terkait sulitnya mengelola ketidakpastian.
Selain beratnya tekanan pandemi, melesetnya target defisit APBN dan silpa juga cermin belum optimalnya pemanfaatan ruang ekspansi fiskal yang ada, tecermin dari pertumbuhan belanja pemerintah yang tak optimal dan realisasi penyerapan anggaran PEN yang 83,4 persen dari pagu Rp 695,2 triliun.
Exit policy dari situasi tekanan fiskal akibat pandemi terlihat sudah dipikirkan oleh pemerintah. Secara bertahap, defisit APBN—berdasarkan Perppu No 1/2020 yang disahkan menjadi UU No 2/2020—akan dikurangi dan ditargetkan kembali ke level di bawah 3 persen pada 2023. Dalam kenyataannya, pengurangan defisit tak bisa dilakukan secepat yang diharapkan. Semakin cepat keluar dari krisis kesehatan, makin cepat kita bisa kembali ke laju pertumbuhan ekonomi tinggi.
Sejauh ini, asesmen berbagai lembaga menilai utang Indonesia masih dalam batas aman dan sustainabel. Selain masih di bawah batas atas 60 persen yang ditetapkan UU, utang juga didominasi utang domestik. Utang luar negeri umumnya utang jangka panjang. Menjaga kredibilitas kebijakan dan kepercayaan pasar menjadi penting di sini.