Evaluasi Situasi Covid-19
Sampai saat ini tak ada pilihan lain bahwa kita harus menggalakkan 3M: mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Bahkan juga mematuhi etika batuk, menghindari kerumunan, dan menjalankan pola hidup sehat.
Covid-19 sudah setahun lebih bersama kita, sejak laporan pertama dari Wuhan, China, 31 Desember 2019.
Data sampai hari ini menunjukkan, ada lebih dari 86 juta kasus dan 1,8 juta kematian di dunia. Di negara kita, angkanya sudah sekitar 780.000 kasus dan lebih dari 23.000 kematian, dan penambahan sehari sampai 6.000, atau bahkan 7.000 kasus.
Kita perlu menganalisis untuk menilai situasi sepanjang 2020 dan menentukan langkah apa yang akan dilakukan pada 2021, terutama dengan sudah tersedianya vaksin Covid-19.
Kurva epidemiologi
Kurva epidemiologi sudah sering kita lihat dipakai untuk menggambarkan situasi suatu negara dan juga dunia. Kurva ini menunjukkan jumlah kumulatif kasus Covid-19 di sumbu Y dan waktu (tanggal atau bulan) di sumbu X. Biasanya kurva akan meningkat naik, lalu sampai puncaknya dan kemudian turun kembali.
Tentu, mungkin saja, sesudah turun akan naik lagi sesudah beberapa waktu kemudian, lalu turun lagi dan seterusnya. Karena bentuknya seperti naik turunnya permukaan air laut, variasi naik turun yang berulang ini disebut gelombang (wave). Jadi bisa ada gelombang kedua (second wave), ketiga (third wave), dan seterusnya.
Baca juga: Mutasi Virus dan Gelombang Kedua Covid-19
Secara berkala, sejak awal 2020, WHO mengompilasi data sesuai laporan dari setiap negara dan lalu menyajikan kurva epidemiologik per negara dari waktu ke waktu. Kalau mengacu pada data yang terkumpul di WHO pada pertengahan Desember 2020, kurva epidemiologi negara di dunia dapat kita bagi menjadi beberapa pola.
Secara berkala, sejak awal 2020, WHO mengompilasi data sesuai laporan dari setiap negara dan lalu menyajikan kurva epidemiologik per negara dari waktu ke waktu.
Pertama, negara yang kasusnya pernah naik dan kemudian turun sehingga sekarang jumlah kasus tinggal sedikit lagi, contohnya Thailand dan juga Singapura. Ada juga negara yang kasusnya pernah naik, lalu turun, lalu naik lagi dan turun lagi, jadi menghadapi dua atau lebih puncak, tetapi sekarang jumlah kasusnya juga sudah rendah, contohnya Australia dan Selandia Baru.
Ada juga kelompok negara yang jumlah kasusnya memang sejak awal tidak pernah tinggi sekali, relatif terus rendah, walau mungkin ada puncak di suatu waktu, contohnya Laos dan Kamboja.
Kemudian ada negara yang kasusnya naik, turun, naik lagi, jadi mengalami gelombang kedua, atau bahkan ketiga dan sekarang jumlah kasusnya masih tinggi juga, misalnya beberapa negara Eropa dan Jepang.
Baca juga: Antisipasi Vaksin Covid-19
Sementara itu, tentu masih ada negara yang jumlah kasusnya masih terus naik dan belum turun, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, dan juga data dunia secara keseluruhan. Hanya memang data kurva epidemiologi ini mungkin saja tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan sebenarnya. Jumlah kasus yang terdeteksi akan tergantung dari berapa banyak tes yang dilakukan dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Kalau lebih banyak tes yang dilakukan, mungkin saja akan ada penambahan kasus yang tinggi. Namun, dengan ditemukannya kasus, isolasi dan pelacakan ditingkatkan sehingga penularan di masyarakat dapat lebih dikendalikan.
Hal lain yang mungkin memengaruhi gambaran kurva epidemiologi WHO ini adalah karena dibuat berdasarkan laporan negara masing-masing, yang mungkin saja waktunya dapat tidak sesuai dan atau teknik pengumpulannya berbeda- beda. Namun, dengan segala keterbatasannya, setidaknya pola kurva epidemiologi yang ada dapat memberi gambaran umum tentang situasi yang dihadapi sepanjang 2020 dan dapat digunakan untuk menentukan kebijakan penanggulangan yang tepat.
Angka kepositifan
Hal lain yang juga sering dibahas adalah angka kepositifan (positivity rate). Angka ini menunjukkan berapa orang yang positif tes PCR dibandingkan dengan jumlah orang yang dites. WHO memang mengemukakan angka setidaknya 5 persen kalau ingin mengatakan bahwa situasi sudah dapat dikendalikan. Situs Our World in Data mengelompokkan angka kepositifan dalam kurang dari 1 persen, lalu 2 persen, 3 persen, 4 persen, 5 persen, 10 persen, 20 persen, dan lebih dari 50 persen.
Baca juga: Diplomasi Vaksin di Tengah Pandemi
Disebutkan bahwa angka kepositifan adalah indikator yang baik untuk menilai seberapa adekuatnya testing dilakukan karena akan mengindikasikan derajat besarnya testing terhadap besarnya beban wabah di negara itu. Data yang ada menunjukkan variasi yang besar antarnegara di dunia. Ada negara yang angka kepositifannya sekitar 1 persen, seperti Australia dan Uruguay, dan ada juga yang angka kepositifannya antara 20 dan 50 persen, atau bahkan lebih, seperti Meksiko dan Bolivia.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, angka kepositifan Indonesia ada dalam kisaran belasan persen, amat perlu diwaspadai.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, angka kepositifan Indonesia ada dalam kisaran belasan persen, amat perlu diwaspadai. Tentu diharapkan situasi dapat dikendalikan sehingga kita tidak masuk dalam kelompok negara yang angka kepositifannya di atas 2 persen. Selain angka kepositifan ini, juga ada beberapa indikator lain, seperti angka kematian dan angka kesembuhan.
3M, 3T, dan vaksin
Dengan perkembangan yang ada sampai kini, tampaknya tak ada pilihan lain bahwa kita harus terus menggalakkan 3M: mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak, bahkan juga dengan ”M” lainnya, seperti mematuhi etiket batuk dan memberi salam, menghindari kerumunan, menjamin ventilasi ruangan dengan pertukaran udara yang baik, serta menjalankan pola hidup sehat. Pelaksanaan 3T, test, trace, treat, jelas harus terus digalakkan, apalagi pada peristiwa seperti libur akhir tahun kemarin dengan segala potensi masalahnya.
Baca juga: Wajibkan Masker, Pelacakan
Pembicaraan utama sejak akhir tahun lalu adalah tentang vaksin. Bagian pertama vaksin Covid-19 telah tiba di Tanah Air. Presiden Joko Widodo sudah pula mengumumkan bahwa pemberiannya akan gratis. Pelaksanaan vaksinasi akan menunggu izin penggunaan sementara dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan tentu pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kehalalan vaksin.
Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/9860/2020 telah menetapkan enam jenis vaksin Covid-19 yang dapat digunakan di Indonesia. Tentu ada banyak pertimbangan dalam penentuan jenis mana yang akan dipakai di negara walaupun dua prinsip utamanya adalah keamanan dan efikasi.
Selain kedua hal itu, ada tiga hal penting lain, yaitu mekanisme distribusi, penentuan penahapan kelompok yang akan divaksin, dan ujungnya tentu akseptabilitas masyarakat.
Untuk distribusi ada tiga komponen pentingnya: ketersediaan petugas terlatih, adanya sistem manajemen yang baik dan amat rinci, serta jaminan rantai dingin (cold chain) sampai ke pelosok negeri. Tentang penahapan kelompok yang akan divaksinasi, semua sepakat bahwa petugas kesehatan dan petugas lainnya yang berhadapan langsung dengan publik akan menjadi prioritas utama. Tahapan berikutnya seyogianya adalah kelompok risiko tinggi, dan WHO, antara lain, menyebut para usia tua.
Baca juga: Problematika Vaksin Covid-19
Memang diakui bahwa ada vaksin yang hanya diuji coba pada kelompok usia lebih muda, tetapi harus diketahui pula ada dua atau tiga jenis vaksin lainnya (yang namanya juga ada di dalam SK Menkes di atas) yang sudah diyatakan hasil penelitiannya bahwa beberapa vaksin itu aman dan efektif untuk usia di atas 60 tahun, dan ini seyogianya patut menjadi pertimbangan pula.
Tentang akseptabilitas masyarakat, WHO dalam publikasinya pada November 2020 menyebutkan perlunya pendekatan integratif melalui empat elemen strategik. Keempat hal ini baik kalau dipertimbangkan dilakukan di negara kita sejak sekarang ini sambil menunggu hari mulainya penyuntikan vaksin.
Keempat hal ini baik kalau dipertimbangkan dilakukan di negara kita sejak sekarang ini sambil menunggu hari mulainya penyuntikan vaksin.
Pertama adalah pengendalian infodemik di media sosial dan penanganan misinformasi secara bijak. Kita tahu banyak sekali berita beredar tentang vaksin Covid-19 ini dari berbagai sumber yang tidak jelas dan langsung masuk ke telepon genggam masyarakat, dan ini harus ditangani amat serius.
Elemen kedua, kemampuan melakukan komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat. Ada tiga hal di area ini: pemberian informasi yang benar tentang rincian vaksin yang akan dipakai, tersedianya sarana komunikasi interaktif terbuka dengan masyarakat, dan informasi yang jelas tentang siapa yang akan divaksin dan kapan waktunya.
Baca juga: Jalan Pintas Vaksin, Amankah?
Elemen ketiga adalah peran sentral petugas kesehatan lini terdepan, baik mereka yang akan menyuntikkan vaksin maupun petugas kesehatan lain yang sehari-hari langsung bertemu masyarakat. Pendapat mereka banyak diikuti publik, dan karena itu mereka harus yakin benar bahwa vaksin Covid-19 yang akan disuntikkan aman dan efektif sesuai bukti ilmiah tepercaya.
Akhirnya, elemen keempat adalah perlunya mempersiapkan komunikasi krisis untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan masalah sensitif dalam pelaksanaan vaksinasi di lapangan nanti.
Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Paru FKUI; Mantan Direktur WHO SEARO dan Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes