Menjadikan Agama sebagai Inspirasi
Toleransi harus terus diserukan, digelorakan, diamplifikasikan, dan dikampanyekan. Jangan biarkan Menteri Agama berjalan sendiri menghadapi kelompok-kelompok intoleran yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.
Menjaga toleransi antarumat beragama menjadi salah satu tantangan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang baru dilantik Presiden Joko Widodo, 23 Desember 2020.
Isu intoleransi yang tumbuh dan berkembang sejak pascareformasi (1998) juga menjadi pekerjaan rumah (PR) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan kepolisian.
Tak hanya itu, tantangan lain yang harus dijawab Menag baru adalah tentang 421 produk hukum daerah yang dianggap diskriminatif dan 72 produk hukum daerah yang dianggap intoleran.
Persoalan peraturan daerah (perda) diskriminatif adalah kewenangan langsung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hanya saja, karena sebagian besar perda tersebut berhubungan dengan agama, maka Menag bisa memprakarsai cara mengatasi persoalan perda yang dijadikan justifikasi dan pembenaran praktik-praktik diskriminasi dan intoleransi dalam masyarakat.
Inspirasi, bukan aspirasi
Isu intoleransi bukan hal baru. Pemerintah bahkan sudah tak tertarik menanggapi karena dianggap sebagai isu klasik dan basi. Dengan demikian, tak berlebihan jika dikatakan—setidaknya sampai akhir tahun 2020, Indonesia adalah surganya manusia-manusia intoleran.
Toleransi memang harus terus diserukan, digelorakan, diamplifikasikan, dan dikampanyekan.
Sekarang, tahun telah berganti. Pernyataan Menteri Agama (baru) bahwa agama sebagai sebuah inspirasi, bukan aspirasi, bisa diibaratkan setetes embun yang menyejukkan, penghapus dahaga berkepanjangan. Setidaknya masih ada secercah sinar harapan baru, masih ada kepedulian terhadap agama-agama yang selama ini menjadi korban kaum vigilantis yang menjalankan prinsip mayoritarianisme.
Toleransi memang harus terus diserukan, digelorakan, diamplifikasikan, dan dikampanyekan. Jangan sampai Kementerian Agama dijadikan lelucon kembali, seperti seloroh (mantan) Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa Kementerian Agama ibarat pasar, semuanya ada, kecuali agama.
Oleh sebab itu, sudah waktunya Kementerian Agama berperan aktif, berdiri di garda terdepan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang menjadikan agama sebagai alat politik, sebagai kemasan, dan senjata. Dengan demikian, kegaduhan di ruang publik, seperti intoleransi, persekusi, diskriminasi, hingga radikalisme dan terorisme, dapat diminimalkan atau bahkan dapat dihindari.
Salah satu penyebab yang menjadi pangkal masalah intoleransi adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006. SKB tersebut tak hanya mengatur soal legalitas bangunan untuk rumah ibadah, tetapi juga bukti dukungan warga dan komposisi jumlah penduduk di sekitar rumah ibadah.
Belajar dari pengalaman, isu intoleransi selama ini hanya dijadikan politik mercusuar. Penyelesaiannya tak dilakukan secara proporsional dan profesional, tetapi penuh dengan intrik politik.
Setara Institute mencatat, sepanjang 2006-2012 terjadi peningkatan 20-30 persen praktik intoleransi. Ironisnya, Pemerintah Indonesia (diterima Presiden) justru memperoleh Statesman Award dari lembaga kebebasan beragama di New York; Appeal of Conscience Foundation (31/5/2013).
Demikian juga pada tahun-tahun berikutnya, praktik intoleransi terus meningkat, tetapi elite penguasa malah mengampanyekan kebanggaannya bahwa Indonesia menjadi contoh toleransi keagamaan dunia.
Melihat praktik-praktik intoleransi semakin mengerikan, maka pada awal 2020, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta agar aturan pendirian rumah ibadah direvisi. Namun, oleh elite penguasa justru dijawab dengan ”enteng”, penuh retorika politik dan normatif, bahwa aturan (SKB dua menteri) masih relevan dengan kondisi saat ini dan hak ibadah dijamin konstitusi.
”Stumbling block”?
Terlepas apakah Menag (baru) akan membawa dan menjadikan penyelesaian kasus intoleransi ke dalam skala prioritas penyelesaian atau tidak, yang pasti bahwa konservatisme agama adalah bibit intoleransi. Oleh sebab itu, untuk menakar keseriusan Menag, bisa dilihat dari implementasi pernyataan sikapnya yang akan menjadikan agama sebagai sebuah inspirasi, bukan aspirasi. Jika hal tersebut bisa terealisasikan, berarti 2021 merupakan senja kala bagi intoleransi.
Jika hal tersebut bisa terealisasikan, berarti tahun 2021 merupakan senja kala bagi intoleransi.
Namun, yang perlu diwaspadai, sejak awal KH Mustafa Kamil (1884-1945), Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Garut, pernah menyatakan bahwa ”Lawan paling berat bangsa Indonesia bukan pihak asing. Tetapi, justru para pengkhianat bangsa yang hanya ingin memperoleh kekuasaan dan kekayaan pribadi.”
Pernyataan tersebut kemudian diadopsi Bung Karno dalam pidato politiknya saat memperingati Hari Pahlawan (10/11/1961) menjadi, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Ini tampaknya akan menjadi stumbling block (batu sandungan) bagi Menag.
Perlu dicatat, berdasarkan hasil survei The Pew Research Center (2015), jumlah kaum puritan atau kelompok konservatisme agama yang pro gerakan radikal di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa.
Bahkan, hasil riset Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2019) menyebutkan adanya kecenderungan generasi muda terjangkit konservatisme agama dan derajatnya sudah sangat mengkhawatirkan.
Oleh sebab itu, bagi mayoritas masyarakat beragama Indonesia yang mencintai perdamaian, toleransi harus terus diserukan, digelorakan, diamplifikasikan, dan dikampanyekan. Jangan biarkan Menag berjalan sendiri menghadapi kelompok-kelompok konservatisme agama atau kelompok intoleran yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.
Lagu ”You’ll Never Walk Alone” karya Oscar Hammerstein II yang dinyanyikan Elvis Presley (dirilis tahun 1967) menjadi lagu wajib fans Liverpool FC untuk memberikan semangat kesebelasan idolanya. Bahkan, tulisan You’ll Never Walk Alone terpasang dalam gerbang Shankly (Shankly Gates), salah satu gerbang masuk stadion sepak bola Anfield, Liverpool.
Mari bersama-sama kita sukseskan program Menag untuk menjadikan agama sebagai sebuah inspirasi, bukan aspirasi. Jangan biarkan Menag berjalan sendiri. ”You’ll never walk alone!” (kamu tidak akan pernah berjalan sendiri).
(Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan)