Bangsa yang abai, yang terlalu asyik dalam pergulatan rutin, semata politik, tak ada visi jauh ke depan di luar itu, boleh jadi kelak harus punah di Bumi yang panas.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Sepuluh bulan suntuk dilanda Covid-19, baik sejenak mengalihkan pikiran untuk hal lain meski mungkin terdengar ”aeng-aeng”, atau ”ngayawara”. Mencari alien.
Alien atau makhluk cerdas dari luar Bumi atau extraterrestrial intelligence (ETI). Seperti dituliskan harian ini, Selasa (5/1/2021), ada penemuan fosfin, senyawa organik yang tersusun dari fosfor dan hidrogen di atmosfer bagian atas Planet Venus pada September 2020. Di Bumi, fosfin dihasilkan oleh bakteri yang bernapas tanpa oksigen, juga dari sejumlah aktivitas manusia.
Sejumlah ahli menyimpulkan, terlalu dini mengaitkan fosfin di Venus dengan kehidupan di planet yang panas dan penuh gas karbon dioksida. Membatasi diri untuk lingkungan tata surya (sistem Matahari dan planetnya), peluang kehidupan disebut ada di salah satu bulan Planet Jupiter, yakni Europa, serta dua bulan Planet Saturnus, yakni Enceladus dan Titan.
Namun, mengingat jauhnya Jupiter dan Saturnus dari Matahari, kita sulit membayangkan kehidupan seperti yang ada di Bumi di lingkungan yang amat dingin nun jauh itu.
Sudah lama astronom tak melihat peluang besar kehidupan ekstraterestrial (di luar Bumi) di tata surya. Hal ini—jika kita mau terbuka pikiran—tentu tidak berlaku untuk lingkungan alam semesta yang lebih luas. Mengikuti rumus Drake yang membahas peluang adanya makhluk cerdas luar Bumi, di Galaksi Bimasakti paling tidak ada 36 lokasi peradaban. Sayang, jarak paling dekat ke tempat itu 17.000 tahun cahaya. Satu tahun cahaya sekitar 9.500.000.000.000 kilometer. Jarak yang tidak terperi untuk teknologi yang ada sekarang ini.
Tentu kita bisa membahas lebih jauh ihwal teknis mencari makhluk cerdas luar Bumi. Kita ingin menyoroti pesan yang dikandung dari penemuan fosfin dan riset keantariksaan.
Kembali pada realitas saat ini, tentu prioritas kita arahkan untuk menanggulangi pandemi, yang pada satu sisi bisa kita lihat sebagai ujian alam untuk melihat daya survivabilitas manusia, yang sepanjang eksistensinya sudah dan akan selalu dihadapkan pada tantangan dari makhluk kecil dan virus yang tak kasatmata. Tantangan lain yang dihadapi manusia juga berasal dari bencana alam terestrial (gunung meletus dan gempa bumi). Jangan dikesampingkan pula ancaman ekstraterestrial, yang dipercayai telah memusnahkan dinosaurus.
Dari wacana ini, kita bisa melihat masa depan manusia dan kehidupan lainnya. Di satu sisi, kita masih bergulat melawan tantangan alam di Bumi, di sisi lain ada tantangan lain yang solusinya bisa di luar Bumi. Misalkan, pemanasan global tak bisa direm dan Bumi semakin tidak ramah lagi untuk didiami. Manusia—jika ingin terus eksis—harus memikirkan koloni antariksa. Meski saat itu masih ribuan atau jutaan tahun lagi, peluang selamat tentu ada pada bangsa yang sejak dini berinvestasi pada sains dan teknologi. Bangsa yang cinta ilmu pengetahuan.
Bangsa yang abai, yang terlalu asyik dalam pergulatan rutin, semata politik, tak ada visi jauh ke depan di luar itu, boleh jadi kelak harus punah di Bumi yang panas, atau sebelumnya Bumi kebanjiran es kutub yang mencair.