Para penyangkal pandemi Covid-19 perlu melihat data dengan lebih jelas, lengkap, dan jernih. Itu akan membukakan mata dan hati bahwa kematian akibat Covid-19 benar-benar terjadi dan bisa menimpa orang terdekat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Dengan begitu banyak informasi yang tersedia tentang keparahan dan kematian akibat SARS-CoV-2, ternyata masih banyak orang yang mengabaikan bahaya, bahkan tidak percaya dengan risikonya. Penyangkalan itu terwujud dalam banyak hal, baik dengan menolak memakai masker maupun tetap melakukan pertemuan besar.
Penyangkalan terhadap ancaman bahaya dengan berpikir positif sebenarnya merupakan bentuk koping, yaitu mekanisme pertahanan individu guna mengelola stres. Dalam jangka pendek, ini memberi seseorang waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi. Namun, ketika mekanisme ini menjadi penopang sikap jangka panjang dalam menghadapi penyakit menular, hal itu selain membahayakan diri, juga orang lain.
Beberapa logika yang dipakai para pengingkar bahaya Covid-19 di antaranya data statistik bahwa mereka yang sembuh lebih banyak dibandingkan dengan yang meninggal. Narasi ini sebenarnya telah lama diwacanakan di Indonesia, bahkan oleh otoritas kesehatan, dengan alasan menghindari kepanikan.
Misalnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam video pernyataannya pada 2 Maret 2020 mengatakan, ”Flu batuk pilek yang biasa terjadi pada kita itu angka kematiannya lebih tinggi daripada yang ini, korona. Tapi, kenapa ini bisa hebohnya luar biasa?”
Mengacu data Kementerian Kesehatan Indonesia pada Senin (4/1/2021), tingkat kematian kasus (case fatality rate/CFR) Covid-19 di Indonesia saat ini 2,96 persen, yaitu dari 779.548 kasus positif, 23.109 orang meninggal. Angka ini lebih tinggi daripada CFR global sebesar 2,16 persen.
Angka resmi jumlah kasus dan kematian ini dipastikan belum mewakili kondisi sesungguhnya karena keterbatasan jumlah tes. Apalagi, sebagian orang yang terpapar Covid-19 ini tanpa gejala sehingga jumlah orang yang terpapar pasti lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan. Kajian dari Henderik Streek di jurnal Nature Communications pada 17 November 2020 menyebutkan, tingkat kematian (infection fatality rate/IFR) Covid-19 di komunitas diperkirakan 0,36 persen.
Angka IFR ini bisa berbeda di setiap negara, bergantung pada struktur demografi, kualitas kesehatan masyarakat, dan kapasitas layanan kesehatan. Dengan masih berlangsungnya wabah, IFR juga masih bisa terus berubah. Taruhlah IFR Covid-19 di Indonesia 0,36 persen, jika 70 persen populasi kita terinfeksi sebelum tercapainya kekebalan kawanan, jumlah korban jiwa bisa mencapai 674.604 jiwa.
Jumlah korban jiwa ini jelas angka sangat moderat. Angka IFR yang masih bisa berubah karena wabah masih berlangsung dan untuk Indonesia juga bisa lebih tinggi.
Untuk melihat dampak pandemi Covid-19 yang lebih masuk akal adalah dengan melihat excess death atau kematian berlebih. Seperti dijelaskan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, kematian berlebih bisa mengukur dampak langsung dan tidak langsung. Kematian berlebih ini didefinisikan sebagai perbedaan jumlah kematian yang diamati dalam periode waktu tertentu dan jumlah kematian yang terjadi dalam periode waktu yang sama selama pandemi.
Studi di Indonesia
Di Indonesia, kajian kematian berlebih ini baru dilakukan di Jakarta oleh Iqbal Elyazar dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) bersama tim Lapor Covid-19 dan The Conversation Indonesia. Dalam kajian yang bisa diakses di www.medrxiv.org ini disebutkan, selama 2015-2019, rata-rata terdapat 26.342 orang yang dikubur di Jakarta setiap tahun dari Januari hingga Oktober.
Namun, selama periode yang sama tahun 2020, ada 42.460 penguburan atau lebih banyak 61 persen dibandingkan dengan rata-rata tahunan. Pemakaman ini mulai melonjak pada awal Januari 2020, dua bulan sebelum adanya konfirmasi kasus pertama infeksi SARS-CoV-2 di Indonesia pada Maret 2020.
Selain menunjukkan tingginya lonjakan kematian di Jakarta, kajian yang berbasiskan catatan data pemakaman ini juga menyingkap fakta bahwa penularan SARS-CoV-2 di Jakarta mungkin telah dimulai dan berkembang setidaknya dua bulan sebelum deteksi resmi.
Padahal, kelebihan kematian 16.118 pemakaman selama 10 bulan pertama pada 2020 di Jakarta ini belum memasukkan pemakaman dan kremasi warga Jakarta di fasilitas pribadi atau di luar kota.
Sebanyak 48 persen pemakaman berlebih yang dilakukan di Jakarta dilakukan dengan protokol Covid-19. Itu berarti ada sekitar 52 persen kematian berlebih yang disebabkan berbagai faktor lain.
Seperti kita ketahui, membanjirnya pasien Covid-19 bisa melumpuhkan layanan kesehatan. Jika itu terjadi, seperti kita alami hari-hari ini, pasien dengan berbagai penyebab lain bakal terlambat tertangani. Data Lapor Covid-19 pada Minggu (3/1/2021), pasien di Depok, Jawa Barat, meninggal di taksi daring setelah ditolak sejumlah rumah sakit rujukan.
Data tentang kematian berlebih ini seharusnya mematahkan argumen para penyangkal yang meremehkan bahaya Covid-19. Sejarah mencatat, pandemi merupakan pembunuh utama manusia, seperti saat flu Spanyol 1918 menewaskan 50-100 juta manusia. Di Jawa dan Madura saja korbannya sekitar 4,3 juta jiwa serta di pulau lain Nusantara rata-rata 10-20 persen populasi meninggal (Siddharth Chandra, 2013).
Selain kejernihan membaca angka dan sejarah, hal lain yang juga penting disadari adalah setiap yang meninggal punya wajah dan kisah. Bayangkan saja, puluhan ribu orang yang meninggal itu adalah orang-orang terdekat kita. Maka, berhentilah mengingkari ancaman bahaya ini dengan lebih taat pada protokol kesehatan.