Kenaikan tarif cukai hasil tembakau saat daya beli belum pulih akan memberikan ruang peredaran rokok ilegal. Setiap kebijakan publik yang diracik harus komprehensif mempertimbangkan semua aspek yang melingkarinya.
Oleh
HARYO KUNCORO
·4 menit baca
Setelah melewati pembahasan yang alot, pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 rata-rata 12,5 persen. Kendati jauh lebih rendah daripada usulan awal, kenaikan tarif CHT itu tidak serta-merta bisa meredam kontroversi.
Besaran kenaikan tarif CHT 2021 diklaim tak memiliki landasan kuat. Perhitungan rata-rata tertimbang dari jumlah masing-masing produksi dan golongan rokok lebih cocok diterapkan di saat normal daripada pada masa pagebluk Covid-19.
Kenaikan harga komoditas secara historis mengikuti formula penjumlahan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Padahal, pertumbuhan ekonomi masih di zona minus, sementara inflasi juga tak sampai 2 persen. Bahkan, gaji buruh di sebagian besar provinsi tahun depan tak naik.
Kenaikan tarif CHT 2021 diyakini akan berdampak negatif pada kinerja industri tembakau di Tanah Air. Serapan tembakau oleh pabrik pengolah akan menyusut. Hal ini kemudian menekan harga tembakau di tingkat petani, sedangkan petani tembakau tak punya posisi tawar kuat.
Kalaupun petani memiliki posisi tawar, efek yang lebih buruk bakal berlaku. Pabrik pengolah tembakau akan mengurangi volume produksi, merumahkan sebagian tenaga kerja, dan bahkan menutup usaha. Kecenderungan ini sejatinya sudah tersidik dari pengalaman kenaikan tarif CHT lima tahun terakhir.
Kontroversi kenaikan tarif CHT 2021 berlanjut pada pengalokasiannya.
Kenaikan tarif CHT saat daya beli belum pulih memberikan ruang bagi peredaran rokok ilegal. Tingginya harga rokok legal yang dipicu oleh kenaikan tarif CHT mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal yang jauh lebih murah. Alhasil, kesuksesan CHT dalam menurunkan konsumsi rokok bisa jadi menyesatkan.
Kontroversi kenaikan tarif CHT 2021 berlanjut pada pengalokasiannya. Perolehan CHT 2021 akan dialokasikan: (a) 50 persen untuk kesejahteraan buruh tani tembakau dan buruh industri rokok, (b) 25 persen untuk peningkatan kesehatan, dan (c) 25 persen untuk penegakan hukum di sektor pertembakauan.
Pengungkapan terbuka kepada publik atas semua rincian alokasi DBH (dana bagi hasil) CHT 2021 ini layak diapresiasi. Pemerintah tampaknya hendak mengirim pesan bahwa CHT dikembalikan fungsinya sebagai instrumen pengendali konsumsi alih-alih sebagai sumber penerimaan negara.
Kebijakan ambigu
Namun, mencermati lebih detail alokasi DBH CHT 2021 justru memunculkan kesan ambiguitas pemerintah. Di satu sisi, pemerintah hendak menekan konsumsi rokok untuk alasan kesehatan, terutama perokok usia anak dan remaja, sejalan dengan visi dan misi menciptakan SDM unggul 2045.
Di sisi lain, DBH CHT 2021 yang dialokasikan untuk bantuan bibit, benih, pupuk, dan sarana lain kepada petani tembakau bertolak belakang tujuan semula. Pembentukan Kawasan Industri Hasil Tembakau yang diturunkan dari alokasi DBH butir (c) kian menegaskan sikap ambiguitas pemerintah.
Sudah menjadi kaidah ekonomi, konsumsi bertalian erat dengan produksi. Jika pengendalian konsumsi menjadi fokus, pembatasan (alih-alih pengembangan) produksi tembakau menjadi imbangan yang sangat logis. Intinya, konsep ”bulu angsa” yang dikenal pada perpajakan diadopsi tidak pas dalam konteks CHT.
Narasi ambiguitas tidak berhenti sampai di sini. DBH CHT 2021 dialokasikan untuk pelatihan profesi dan bantuan modal usaha bagi buruh pabrik rokok. Buruh industri rokok bisa membuka usaha baru jika berinisiatif alih profesi atau kehilangan pekerjaan lantaran pabrik rokok tempat semula mencari nafkah tutup.
Sementara itu, tembakau impor masih saja mengalir. Pertanyaannya, lalu siapa yang mengolah tembakau impor menjadi batangan rokok? Konkretnya, jika pembatasan kuantitas produksi rokok yang disasar, penghapusan tembakau impor menjadi keharusan demi menjaga asas keberimbangan.
Ambiguitas muncul antara pengobatan (berbiaya mahal) dan pencegahan (berbiaya murah).
Dengan alur logika ini pula, DBH CHT 2021 seharusnya juga diarahkan pada ranah pemanfaatannya. DBH CHT 2021 dialokasikan pada Jaminan Kesehatan Nasional tanpa ada satu pun pos untuk upaya pencegahan. Ambiguitas muncul di antara pengobatan (berbiaya mahal) dan pencegahan (berbiaya murah).
Skenario di atas dikembangkan dalam cakupan sempit dengan asumsi semua faktor berada dalam rentang kendali.
Pada kenyataannya, tidak ada larangan bagi individu untuk mengonsumsi rokok. Demikian pula, tak ada regulasi yang mengekang pengusaha mendirikan pabrik rokok.
Selain itu, hasil olahan tembakau yang dominan sejauh ini adalah rokok. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika produk industri tembakau identik dengan rokok sehingga CHT pun melekat erat pada rokok. Berangkat dari titik inilah sikap mendua tidak terhindarkan guna memelihara eksistensi industri tembakau.
Jika asumsi tersebut gagal terpenuhi, opsi lain bisa didesain. Skema pengembangan produksi tembakau diperluas untuk komoditas rokok dan produk lain di luar rokok. Produk rokok dipertajam untuk pasar domestik atau ekspor. Dalam konteks pasar domestik, kenaikan tarif CHT bisa proporsional diletakkan.
Segmen pasar produk tembakau lain di luar komoditas rokok, sayangnya, belum terbangun kokoh. Untuk itu, distribusi DBH CHT ke depan perlu dialokasikan untuk program akselerasi produk tembakau alternatif. Alokasi untuk riset pengembangan tembakau sebagai bahan baku farmasi, misalnya, sepatutnya juga dianggarkan.
Bahan baku produksi obat masih mengandalkan pasokan dari industri kimia dasar dengan kapasitas yang sangat terbatas. Kebutuhan bahan baku obat sintetik dan herbal mayoritas (90 persen) masih diimpor. Dengan demikian, DBH CHT perlu disisihkan untuk industri kimia dasar pemasok bahan baku obat.
Alhasil, setiap kebijakan publik yang diracik harus komprehensif mempertimbangkan semua aspek yang melingkarinya. Ketidakkonsistenan dalam memperlakukan sisi keperilakuan produsen dan konsumen menyebabkan kenaikan tarif CHT setiap tahun tidak akan efektif dan bahkan, lagi-lagi, mengundang kontroversi.
(Haryo Kuncoro Guru, Besar FE UNJ, Direktur Riset SEEBI Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM)