Setelah dituntun ke gelanggang warisan dunia, pantun terasa menuntun sistem kesusastraan kawasan pendukungnya agar lebih tampil dalam pergaulan sastra internasional dengan muatan besar kelisanan.
Oleh
TAUFIK IKRAM JAMIL
·4 menit baca
Satu lagi materi budaya Indonesia, yakni pantun, diakui sebagai warisan budaya tak benda kemanusiaan (Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity), melalui sidang UNESCO di Jamaika, Amerika Tengah, Kamis malam (17/12/2020).
Diusul bersama Malaysia, basis pantun di Riau dan Kepulauan Riau yang dimotori Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) atas naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan itu, sepatutnya bisa mempertajam sistem kesusastraan Nusantara atau negara serumpun.
Ditambah pantun, Indonesia kini telah memiliki 11 materi budaya yang diakui sebagai warisan budaya tak benda dunia. Sebelumnya, sudah diakui dalam hal serupa adalah keris, wayang, pendidikan dan pelatihan batik, angklung, tari saman, noken, tari tradisi Bali, pinisi, dan pencak silat.
Dari deretan materi budaya yang diakui sebagai warisan tak benda dunia itu, pantun memiliki kekhasan tersendiri. Jika materi budaya tak benda lainnya dapat dikategorikan dalam kelompok seni pertunjukan, seni rupa, dan moda transportasi, pantun berada di luar semuanya itu, yakni tradisi lisan dan penekanan pada capaian tertentu dalam penggunaan bahasa.
Dipercayai sebagai karya asli Nusantara, posisi pantun berada pada bolak-balik dalam dua kutub kebahasaan, yakni antara tradisi lisan dan tulisan atau sebaliknya.
Dalam naskah akademik pengusulan pantun sebagai warisan dunia disebutkan bahwa akar kata pantun bersumber dari berbagai kemungkinan, tapi pengertiannya merujuk pada penggunaan bahasa yang sopan dan teratur untuk menuntun suatu aktivitas.
Diperkirakan sudah wujud lebih dari 1.500 tahun lalu, pantun semula digunakan sebagai alat komunikasi manusia dengan sesuatu yang gaib melalui upacara pengobatan seperti dalam tradisi masyarakat Talangmamak dan Sakai.
Pantun kemudian memasuki ruang komunal, seperti upacara adat, sampai memasuki arena populer dan ekspresi sehari-hari. Ia melekat dalam jenis kelisanan lain di Riau, seperti kayat pantun, menumbai, pantun atui, batobo, dan koba.
Secara umum, pantun dikenal sebagai bentuk persajakan ”ab/ab” dengan pasangan sampiran atau pembayang dua baris, disusul isi sebanyak dua baris pula. Bentuk semacam ini mengilhami pengarang Perancis ternama Victor Hugo seperti terlihat dalam karyanya bertajuk ”Les Orientalis” (1829) setelah ia berkenalan dengan A Dictionary and Grammar of the Malayan Language oleh William Marsden tahun 1812. Beberapa penyair dari negara mode itu kemudian tercatat sempat mengikuti langkah Hugo tersebut.
Buat pertama kali, pantun terhimpun dalam suatu buku tunggal anak negeri bertajuk Pantoen2 Melajoe oleh Haji Ibrahim di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, 1870-an. Karya sosok yang seangkatan dengan Raja Ali Haji ini kemudian diterbit ulang oleh Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru, bertajuk Pantun-pantun Melayu Kuno, 2004.
Di sisi lain, kehidupan pantun terus mengalir dalam berbagai kesempatan komunal sampai saat ini yang tetap disukai masyarakat, terlepas dari bagaimana kualitas pantun yang diucapkan itu.
Sistem kesusastraan
Sesungguhnya, memang banyak hal yang dapat diperkatakan berkaitan dengan pantun. Namun, mengingat kategori pantun, kemudian membandingkannya dengan sistem kesusastraan dunia sekarang, karya tradisi ini seperti menuntun sistem kesusastraan Nusantara muncul ke permukaan bersama dengan dirinya dalam pergaulan literasi antarbangsa.
Pantun seperti menuntun pengertian bahwa kelisanan harus mendapatkan tempat dalam menilai karya sastra negara serumpun meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan.
Bukankah sejak lama, sastra hanya dilihat dari teks belaka sehingga karya sastra seolah-olah menjadi benda mati di depan penikmatnya sebagaimana digembor-gemborkan oleh Barat? Anasir lisan seperti bagaimana karya tersebut disampaikan sama sekali tidak diperhatikan.
Maka jadilah sastra kehilangan roh sekaligus gelanggang, terpuruk dalam kategori ketertinggalan dan kampungan. Pak Taslim, dengan koba yang penuh pantun sampai sekarang di Riau, misalnya, otomatis ”terlempar” ke dalam anomali sastra bahkan kreativitas.
Dengan status sebagai warisan dunia, pantun mengingatkan bahwa keterpaduan kelisanan dan keberaksaraan bahkan kini menjadi tuntutan era teknologi informasi sebagaimana yang sudah diperlihatkannya. Dengan anak kandungnya digitalisasi, ihwal kreativitas harus mewujudkan elemen keberkasaraan dan kelisanan secara serentak dalam suatu kesempatan pada ranah informasi.
Bukankah pantun diucapkan dengan mengandalkan intonasi dan mimik dalam suatu kesempatan, tidak hanya sebatas teks? Saat berpantun diandalkan spontanitas yang sekaligus menguji daya intelegensi pemantun.
Dalam kerangka itu, mungkin orang tak akan pernah kewalahan menikmati sajak berjudul Q Sutardji Calzoum Bachri. Hanya sekali presiden penyair itu membacakan sajak tersebut.
Dari kliping koran diketahui bahwa sajak tersebut dibacanya dengan cara berlari kecil mengelilingi teater arena di Taman Ismail Marzuki, kemudian melonjak-lonjak lurus ke atas sebelum pada akhirnya merebahkan tubuh ke lantai, tahun 1973. Dengan digital yang berbasis kelisanan, pembacaan sajak tersebut akan dapat ditonton berulang-ulang sehingga orang akan dapat terus menilainya.
Tentu, mengetengahkan kelisanan dalam sistem kesusastraan ini penting dimunculkan berkaitan dengan status baru pantun sebagai warisan dunia di tengah keraguan insan sastra terhadap khazanah kelisanan itu sendiri di Tanah Air.
Bagi mereka, sastra usah dihubungkan dengan kelisanan sebagaimana selalu saya dengar dari mulut sejumlah pihak, termasuk dari orang sekaliber Abdul Hadi WM, betapapun pakar sastra Indonesia dari Barat, seperti A Teeuw dan Will Derks, mulai berpikir sebaliknya.
Cuma sudahlah. Setelah dituntun ke gelanggang warisan dunia, pantun terasa menuntun sistem kesusastraan kawasan pendukungnya untuk lebih tampil dalam pergaulan sastra internasional dengan muatan besar kelisanan. Demikianlah….
Taufik Ikram Jamil,Sastrawan, Anggota Tim Pantun Warisan Dunia.