Syarat Struktural Optimisme 2021
Optimisme 2021 harus diejawantahkan melalui pertumbuhan ekonomi berbasis sosial dan kultural. Dengan prinsip ini Presiden Jokowi akan meninggalkan warisan pertumbuhan ekonomi di atas landasan demokrasi yang terpelihara.
Mungkin, pertanyaan ”apakah kita bisa optimistis memasuki tahun baru?” ini terasa mengada-ada.
Serangan pandemi Covid-19 bukan hanya telah membuat manusia pada tingkat global ”gelagapan”, melainkan juga mengendurkan secara radikal aktivitas manusia. Sebagian besar perekonomian global, juga nasional, terhenti mendadak. Dan, karena akhir pandemi ini tak bisa diperkirakan dengan pasti, sulit membantah jika pesimisme mendominasi struktur kesadaran manusia.
Namun, dalam konteks Indonesia, angka kesembuhan kian mengungguli yang gagal. Bukankah ini berarti kemampuan teknikal-medikal para dokter Indonesia menangani serbuan wabah tak berpreseden ini kian meningkat?
Secara teknikal-ekonomi, optimisme ini tecermin pada berita Kompas (23/12/2020) yang mengaitkan ketersediaan vaksin Covid-19 dengan potensi pengurangan kekangan aktivitas ekonomi. Janji pemerintah menggratiskan vaksinasi Covid-19 bagi seluruh rakyat menambah optimisme ekonomis ini.
Baca juga: Komunikasi Vaksin
Namun, bahkan, seperti dinyatakan The Jakarta Post (18/12/2020), kinerja ekspor Indonesia justru mencatat rekor tertinggi selama dua tahun ini, mencapai 15,28 miliar dollar AS. Ini membuat cadangan devisa kita, walau sedikit turun dibandingkan dengan Oktober 2020 yang 133,7 miliar dollar AS, relatif aman, yakni 133,6 miliar dollar AS per November 2020.
Karena itu, peningkatan kemampuan tenaga kesehatan menangani Covid-19 dan kinerja ekspor yang relatif tak terintimidasi virus itu memberikan dasar teknikal optimisme kita menghadapi 2021.
Janji pemerintah menggratiskan vaksinasi Covid-19 bagi seluruh rakyat menambah optimisme ekonomis ini.
”Comorbidity nation-state”
Namun, untuk mencapai hasil lebih ”langgeng” dan mendapatkan dasar struktural optimisme, Indonesia, sebagai sebuah bangsa, harus mampu menghindari situasi comorbidity nation-state. Hanya dengan ini, optimisme bersifat teknikal tadi akan lebih ditunjang faktor-faktor struktural yang bisa diandalkan.
Frasa comorbidity nation-state (negara-bangsa yang secara internal rentan terhadap berbagai masalah) saya peroleh dari karya Scott Galloway, Post Corona: From Crisis to Opportunity (2020).
Dalam menguraikan kekacauan AS menghadapi Covid-19, Galloway melihat beberapa kelemahan internal negara-bangsa itu yang membuatnya rentan serangan ”penyakit”. ”Seperti virus itu sendiri, pandemi paling parah memukul korban yang memiliki komorbiditas,” tulisnya. Sementara, biaya tersedia bagi Centers for Disease Control and Prevention pada 2019 hanya 7 miliar dollar AS. ”Angka ini,” ujarnya, ”hanya cukup untuk empat hari operasi militer.”
Ini ironis. Sebab, menyimak buku Meredith Wadman, The Vaccine Race: Science, Politics, and the Human Cost of Defeating Disease (2018), kita tahu bahwa AS adalah negara-bangsa yang sejak Perang Dunia I (1914-1918) paling aktif menciptakan vaksin antipenyakit menular walau dengan mengorbankan banyak aspek kemanusiaan.
Baca juga: Bahasa dan Kebangsaan Indonesia
Karena itu, secara teoretis, betapapun bersifat tak berpreseden, dengan pengalaman beberapa dekade, AS seharusnya paling siap menghadapi Covid-19. Faktanya, AS harus mengeluarkan 3 triliun dollar AS per tahun untuk mengobati rakyat yang menderita penyakit kronis. Karena itu, Januari 2020, Galloway mencatat, agensi kesehatan yang terkebiri (netured) itu tak mampu mengembangkan tes korona yang akurat.
Kecilnya dana pencegahan dan pemberantasan penyakit ini hanyalah salah satu morbid (penyakit rentan) internal negara-bangsa AS. Sebab, bersamaan dengan itu, AS juga menderita penyakit lain, exceptionalism. Ide American Exceptionalism (Kekhususan Amerika), menurut Michea Signer dalam Demagogue: The Fight to Save Democracy from Its Worst Enemies ((2009), telah lama berkembang. Namun, di bawah Trump, ”ideologi” ini tepraktikkan secara resmi.
Sebagai akibatnya, exceptionalism ini jadi penghambat AS melakukan kerja sama global, terutama dengan China, dalam mengenali dan membasmi Covid-19.
Kita tahu, akibatnya rakyat AS paling banyak jadi korban pandemi ini. Yang menambah masalah, ketaksiapan melawan Covid-19 ini diimbangi kebijakan pincang sistem kapitalisme. ”Atas nama kapitalisme,” tulis Galloway, ”kita telah membiarkan keuntungan kaum pemodal tanpa beban pajak dan telah melindungi kaum yang diuntungkan ini dari risiko.” Dan, ketika pandemi merobek perekonomian AS, pemerintah justru menyiram dana ratusan miliar dollar ke pundi-pundi korporasi besar dan kecil.
Dana raksasa itu tak mengalir ke sektor produktif, tetapi ke rekening bank ”the shareholder class”. Ini tidak hanya membuat aktivitas ekonomi stagnan dan penganggur naik, tetapi juga memunculkan apa yang disebut Galloway ”the dirty secred”, yaitu 10 persen berpendapatan tertinggi bertahan dengan posisi keistimewaannya. Dari kepemilikan saham, mereka meraup triliunan dollar AS dari pandemi, pada saat pasar menyentuh rekor tertinggi.
Baca juga: Manusia Bersama Pandemi
”Puncak” comorbidity nation-state ini adalah kenyataan ganjil eksistensi ”kapitalisme” dan ”sosialisme” AS. Di sini, Galloway menyebut jenis kapitalisme AS 40 tahun belakangan ini sebagai hunger game economy. ”Jika mampu menciptakan keuntungan di negeri ini,” ujarnya, ”Anda akan diganjar keuntungan besar yang tak terbandingkan dalam sejarah.
Jika sebaliknya, atau jika terlahir dalam keluarga yang salah (wrong family), atau bernasib buruk, Anda akan terpinggirkan dan harus membayar mahal kesalahan sendiri.” Dalam hubungannya dengan hunger game economy inilah ia melihat berlakunya ”sosialisme” aneh di AS.
Dari kepemilikan saham, mereka meraup triliunan dollar AS dari pandemi, pada saat pasar menyentuh rekor tertinggi.
”Kendati ada retorika tanggung jawab pribadi dan kebebasan,” tulisnya, ”kita telah menganut sosialisme.” Dengan sinis, ia menulis: ”Dan kita tidak menoleransi adanya kegagalan di surga sosialis kita ini.” Dapatkah kita bayangkan AS adalah ”surga” kaum sosialis?
”Comorbidity state”
Namun, ”sosialisme” ini hanya berlaku sepihak. Pasalnya, setiap terjadi krisis yang mengguncang ekonomi, negara justru cenderung menyelamatkan korporasi besar daripada perekonomian rakyat kecil. Ringkasnya, ”sosialisme” di AS hanya berlaku bagi aktor-aktor modal raksasa. Sementara untuk kalangan bawah berlaku kapitalisme ”murni”.
Unsur-unsur inilah, antara lain, yang membuat AS lebih tampil sebagai comorbidity nation-state. Ini pula yang menjelaskan mengapa negara adidaya ini gagal memberikan respons cepat pada Covid-19.
Uraian di atas memberi kita perspektif melihat bahwa langkah Presiden Jokowi menciptakan omnibus law, dan terakhir, perombakan kabinet, sebagai upaya strukturalnya pada 2020 menghindar dari jebakan comorbidity state ─guna meratakan jalan bagi tahun 2021 dan selanjutnya.
Baca juga: ”Omnibus Law”, Iklim Investasi, dan Sektor Transportasi
Walau debatable, pemberlakuan aneka UU dan peraturan serta terpencar-pencarnya otoritas perizinan di tangan pimpinan daerah dalam kaitan dengan dunia usaha selama ini telah dianggap sebagai internal morbids (penyakit-penyakit internal) di Indonesia.
Jaringan rumit perundang-undangan itu bukan lahan subur dunia usaha. Omnibus law, dengan demikian, adalah ”koreksi” terhadap jalur panjang perizinan dunia usaha. Wujud kabinet bentukan akhir 2019 juga dianggap bagian dari internal morbids untuk mengatasi Covid-19 dan efek destruktif struktural ekonominya.
Perombakan kabinet dengan memasukkan tokoh-tokoh muda mumpuni di dalamnya, dengan demikian, adalah juga usaha Jokowi mengelak jebakan comorbidity nation-state Indonesia. Dengan ini, negara tidak hanya dianggap lebih tanggap menghadapi Covid-19, tetapi juga lebih berpotensi mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tanpa terintimidasi serangan pandemi, begitu hari pertama 2021 menyembul.
Optimisme ini mengemuka terutama karena tokoh-tokoh muda berlatar belakakang profesional telah berada di dalam kabinet baru ini. Di bawah panji omnibus law yang mengonsentrasikan (kembali) wewenang keputusan izin ke tangan mereka, semua anggota tim ekonomi ini, yang mengenal dengan baik perangai dunia usaha tingkat global, diharapkan akan menjadi kekuatan penerobos kebijakan ekonomi yang andal.
Masalah kekuatan sosial
Inilah, antara lain, dasar struktural optimisme 2021. Sebab, omnibus law dan penyegaran profesionalisme kabinet adalah langkah menghindar dari jebakan comorbidity nation-state. Maka, konsentrasi usaha Presiden Jokowi menyelesaikan masalah ekonomi ini bersifat strategis untuk masa depan Indonesia.
Baca juga: Lepas dari Jebakan Negara Kelas Menengah, Cara-cara Baru Dibutuhkan
Masalahnya, apa implikasinya bagi distribusi social power (kekuatan sosial)? Frasa social power dikutip dari Michael Lind dalam The New Class War: Saving Democracy from the Manager Elite (2020). Di sini, Lind menyatakan, di masyarakat Barat dewasa ini social power berada dalam tiga bagian utama: pemerintah, ekonomi, budaya. Masalahnya, justru di ketiganya konflik kelas terjadi.
Presiden Jokowi perlu memperhatikan masalah social power ini dengan lebih serius justru dalam ”pendekatan”-nya terhadap dunia ”non-ekonomi”.
Pertanyaan pokoknya, sejauh mana kebijakan-kebijakan ekonomi Presiden dapat penerimaan sosial dan budaya di tengah masyarakat.
Pertanyaan pokoknya, sejauh mana kebijakan-kebijakan ekonomi Presiden dapat penerimaan sosial dan budaya di tengah masyarakat. Ini perlu saya tekankan karena sejak membentuk kabinet akhir 2019, dalam periode kepresidenannya yang kedua, hingga ujung 2020, inisiatif kebijakan politik-ekonomi Indonesia kian didominasi Presiden Jokowi.
Walau tentu perkembangan ini mengejawantahkan supremasi presiden sesuai konstitusi, tanpa disadari pergeseran ini telah melemahkan parpol. Parpol yang secara teoretis merupakan pelembagaan agregasi kepentingan rakyat bergeser jadi wahana pengejawantahan ”gagasan ideal” inisiatif Presiden melalui mekanisme parlemen. Dalam perspektif social power Lind, kecenderungan atau pergeseran ini problematik, yaitu adanya potensi Indonesia mengulang sejarah sosial-ekonomi dan politik negara-negara Barat.
Baca juga: Demokrasi dan Korupsi
Tentang ini Lind menyatakan, pergolakan-pergolakan sosial di AS dan Eropa dewasa ini berlangsung karena kian tenggelamnya pengaruh demokrasi pluralisme dan munculnya rezim neoliberalisme teknokratik. Jika yang pertama berkembang pasca-PD II adalah sistem politik di mana negara bersedia mengakomodasi kelompok-kelompok masyarakat, terutama buruh dan kelompok-kelompok agama yang tersingkir derap perubahan modernisasi dan industrialisasi, yang kedua bercorak elitisme.
Corak terakhir ini, dalam bidang ekonomi, menurut Lind, terlihat pada kecenderungan korporasi-korporasi besar melakukan deunionization (pelemahan organisasi buruh) dan deregulasi pasar tenaga kerja. Dalam bidang politik, partai-partai kian berada di bawah kontrol pemilik modal (donors) dan konsultan media.
Di lapangan budaya, aktivis agama dan masyarakat madani kian kehilangan pengaruh melalui tekanan hakim pengadilan yang umumnya berasal dari kalangan elite yang juga memiliki pandangan libertarian ekonomi dan sosial yang sama. Inilah, menurut Lind yang mendorong ”pemberontakan-pemberontakan” rakyat dan memanggungkan para pemimpin populis di AS dan di hampir semua negara-negara Eropa dewasa ini.
Dalam konteks Indonesia, kombinasi pergolakan ”rakyat” antara kaum buruh, kaum agama yang merasa terpinggirkan, serta pelajar dan mahasiswa di Indonesia pada 2020 tampak seperti pengulangan sejarah sosial-ekonomi dan politik negara-negara maju itu. Dalam geopolitik-ekonomi global, gagasan-gagasan ”ideal” Presiden Jokowi dalam pembangunan ekonomi memang secara struktural memerlukan munculnya rezim semacam neoliberalisme teknokratik.
Namun, sesuai asas demokrasi, pelaksanaan gagasan ”ideal” ini harus bersifat akomodatif terhadap kelompok masyarakat yang ”merasa” tersingkirkan. Maka, optimisme 2021 harus diejawantahkan melalui pertumbuhan ekonomi berbasis sosial dan kultural. Dengan prinsip ini Presiden Jokowi akan meninggalkan warisan pertumbuhan ekonomi di atas landasan demokrasi yang terpelihara. Di sini, keseimbangan kekuatan sosial di seluruh bidang bisa terjaga.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)