Kebangkitan Perekonomian Inklusif
Saya yakin kita dapat pulih melalui transformasi tepat, cepat, dan berani, apabila kita semua menautkan jemari untuk bekerja sama.
Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan perekonomian global. Indonesia berada pada titik kritis dalam mereformasi birokrasi dan regulasi ekonomi untuk menarik investasi, memacu konsumsi domestik, dan memperkuat institusi guna membangun fondasi pemulihan ekonomi dan sosial yang tergerus akibat Covid-19.
Pada 2020 semua negara terdampak tanpa kecuali di berbagai sektor, termasuk ekonomi. Secara historis perekonomian Indonesia tumbuh kisaran angka 5-6 persen. Namun, Covid-19 menyebabkan perekonomian kita tertekan. Pada kuartal I-2020 perekonomian kita tumbuh 2,97 persen. Pada kuartal kedua menyentuh angka -5,3 persen.
Sementara kuartal ketiga, perekonomian kita sedikit membaik dengan kontraksi ekonomi di angka -3,49 persen. Namun, tetap menyebabkan celah besar angka pengangguran dan kemiskinan yang melonjak dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tentu saja diperlukan upaya percepatan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 yang mengawinkan kebijakan makro-ekonomi dengan kebijakan regulasi ekonomi, kebijakan afirmasi, peningkatan akses dan produksi. Reformasi birokrasi juga mutlak diperlukan untuk mendorong investasi dan upaya meningkatkan konsumsi domestik dalam rangka membangun pondasi pemulihan ekonomi dan sosial yang terdampak signifikan akibat Covid-19.
Semua tentu perlu dilakukan dengan cepat, tepat dan berani karena pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus dapat memberi kontribusi signifikan bagi upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan ekonomi mau tak mau harus dijalankan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan inklusivitas.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, Indonesia merupakan negara ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hampir semua komponen biaya usaha di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara ASEAN lainnya. Hal ini disumbang komponen harga tanah, upah, biaya logistik, tarif utilitas, suku bunga pinjaman, serta rasio keluaran modal tambahan (incremental capital output ratio/ICOR).
Sebagaimana dilansir dari Global Complexity Index Ranking 2020, Indonesia merupakan negara dengan kompleksitas bisnis tertinggi dunia. Kemudahan berusaha di Indonesia tergolong paling sulit dibandingkan dengan negara lain. Hal ini berimbas pada tingginya hambatan ekspansi investasi, peningkatan produktivitas dan daya saing kegiatan usaha Indonesia, khususnya di sektor padat karya.
Mahalnya komponen biaya usaha dan kompleksitas ini, terutama komponen biaya tenaga kerja, menyebabkan peralihan tren investasi Indonesia terjadi dari padat karya ke padat modal. Berdasarkan data BKPM, sejak 2013 Indonesia terus mengalami peningkatan nilai investasi. Namun, jumlah penyerapan tenaga kerja terus berkurang.
Tahun 2013, penyerapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi mencapai 4.594 orang. Akan tetapi, di 2019 penyerapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi hanya mencapai 1.277 orang pekerja.
Sebelum pandemi, Indonesia telah menghadapi banyak tantangan ekonomi dan geopolitik. Dimulai dari perang dagang AS dan China yang menekan laju kinerja ekspor Indonesia yang turun sebesar -3,39 persen. Angka ini, bahkan, paling buruk di antara negara-negara di Asia, seperti India, Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Ketegangan Brexit dan Uni Eropa terhadap harga minyak sawit Indonesia semakin menambah ketidakpastian iklim perdagangan Indonesia. Pandemi, jelas kian melumpuhkan jurang perekonomian baik nasional maupun global.
Kunci utama agar Indonesia dapat memulihkan perekonomian adalah melalui langkah mitigasi perubahan struktural dalam negeri. Pemerintah Indonesia telah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah besar terkait kepentingan strategis kita dalam politik internasional. Salah satu tonggak penting yang dilakukan adalah melalui undang-undang sapu jagat (omnibus law) yang dikenal dengan UU Cipta Kerja.
Indonesia juga menandatangani berbagai kesepakatan perdagangan seperti CEPA (Comprehensive Economic Partnership) antara Indonesia dan EFTA, Korea, EU dan RCEP. Ini merupakan langkah yang sangat baik agar terjadi simplifikasi kebijakan dan peningkatan iklim usaha/investasi dengan harapan terjadi trickle-down economic effect yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas dan investasi ke dalam negeri.
Meskipun UU Cipta Kerja dan CEPA merupakan terobosan fantastis di sisi regulasi, perlu direfleksi bahwa undang-undang sapu jagat dan kesepakatan perdagangan bukanlah obat ajaib yang menjamin pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan resilient pada masa mendatang. Secara fakta, omnibus law dan CEPA tidak langsung mengoreksi rendahnya indikator daya saing Indonesia.
Disparitas sosial terhadap sumber daya ekonomi, aspek sosial hingga lingkungan secara signifikan dapat meningkatkan ketidaksetaraan ekonomi yang menjadi ancaman bagi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan berkelanjutan.
Tentu saja tantangan dan jalan terjal tetap mengemuka agar Indonesia dapat mengembalikan kinerja perekonomiannya. Kita harus bisa menjadikan krisis sebagai momentum ruang perbaikan untuk membangun perekonomian yang lebih berdaya saing, berkelanjutan serta menyeluruh.
Oleh karena itu, dibutuhkan pembenahan yang menyeluruh. Diperlukan reformasi menyeluruh pada struktur perekonomian nasional. Khususnya pembenahan dan efisiensi rantai suplai, pemetaan daya saing, pemberdayaan dan edukasi pelaku ekonomi, diiringi dengan komitmen pembangunan infrastruktur ekonomi jangka panjang daerah, serta transisi ekonomi dari sektor informal menjadi sektor formal.
Dengan begitu, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dapat menjadi katalisator yang mendorong perubahan dan transformasi holistik karena mencakup banyak aspek di bidang ekonomi, sosial hingga lingkungan. Hal ini selaras dengan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan yang inklusif: Leave no one behind.
Reformasi struktur pekonomian melalui SDGs tentu bukan merupakan konsep baru bagi ekosistem Indonesia. Peran praktik bisnis berkelanjutan di Indonesia tak dapat dimungkiri menjadi solusi strategis bagi pembangunan perekonomian jangka panjang. Namun, tanpa kepemimpinan etis, reformasi perekonomian menyeluruh tidak dapat terpenuhi. Terutama ketika masalah etika berbenturan dengan masalah ekonomi.
Komitmen para pelaku usaha untuk melakukan praktik bisnis yang etis kian menjadi tantangan di Indonesia karena masih terbelenggu pada aspek penghematan biaya dan praktik bisnis tak etis yang terpaksa dilakukan agar bisnis dapat berjalan agar keluar dari masalah kompleksitas birokrasi dan regulasi.
Di sisi lain, kita juga sadar bahwa ketika sebagian besar perekonomian masyarakat menurun, perilaku moral kemungkinan besar bisa tergerus. Salah satu contohnya, penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal unreported and unregulated fishing/IUU), diskriminasi jender, degradasi lahan, dan korupsi kian gamblang dilakukan karena dianggap sebagai proses yang mudah dan instan.
Produk yang mengeksploitasi sumber daya memang lebih murah dibandingkan dengan produk yang berkelanjutan sehingga kesempatan bagi ekonomi inklusif berpotensi akan semakin tertutup.
Pandemi sudah seharusnya menjadi tonggak perubahan bagi pola pikir pelaku ekonomi dan juga pemerintah untuk berpikir dalam lensa jangka panjang. Setiap tahun, lebih dari Rp 500 miliar biaya ekonomi yang harus dikeluarkan akibat praktik tidak etis. Belum lagi kesenjangan ekonomi serta sosial yang kian mengemuka akibat praktik tersebut.
Kebijakan karantina wilayah, pembatasan sosial, dan larangan perjalanan akibat Covid-19 memang dapat membantu menurunkan emisi, tetapi bukan berarti memberi dampak signifikan jangka panjang. Business as usual yang melanggengkan praktik bisnis tidak etis, tidak akan memberikan efek bola salju bagi pemulihan perekonomian inklusif.
Kita sudah harus cepat dan cermat melakukan reformasi dan transformasi pembangunan struktur ekonomi melalui penguatan ketahanan sosial ekonomi, kapabilitas pelaku ekonomi yang membutuhkan implementasi konsep berkeadilan,etis, inklusif, dan ramah lingkungan.
Melalui implementasi konsep tersebut, kesempatan semua pelaku ekonomi Indonesia untuk berpartisipasi dalam Global Value Chain (GVC) menjadi terbentang luas. Akan lebih banyak pasar global yang mengalihkan permintaan mereka ke bisnis dan produk yang bertanggung jawab dan etis.
Oleh karena itu, krisis harus menjadi awal transformasi sektor bisnis, terutama UMKM untuk mulai menjalankan konsep keberlanjutan, inklusivitas, dan juga etis yang dapat menjadi katalisator perubahan cara menjalankan usaha, lingkungan kerja yang layak, memperhatikan kesejahteraan karyawan, pemberdayaan komunitas lokal serta rantai suplai yang lebih bertanggung jawab.
Untuk mencapai ini tentunya dibutuhkan peran kolektif pemerintah, pelaku bisnis, akademia, dan masyarakat luas untuk memastikan implementasi nyata. Sinergi, pemberdayaan semua pemain rantai suplai di sektor perekonomian, baik besar maupun kecil, dari sisi investasi, inovasi, mutlak diperlukan agar akses pasar global mulai dari besar sampai dengan peluang penetrasi pasar bagi UMKM.
Saya yakin kita dapat pulih melalui transformasi tepat, cepat dan berani, apabila kita semua menautkan jemari untuk bekerja sama. Melalui kemitraan, ketidakpastian akan dapat berubah wujud menjadi kepercayaan dan pemulihan menuju perekonomian inklusif bagi kemaslahatan bersama dapat segera kita genggam.
(Shinta W Kamdani, Pengusaha dan Wakil Ketua Umum Kadin)