Demokrasi (Gus Dur) Perlu Dibela
Gus Dur sebagai Presiden maupun sebagai intelektual Muslim prodemokrasi, menolak pendekatan represif dan memilih melakukan kontra narasi.
Dalam rangka memperingati haul Gus Dur ke-11 pada 30 Desember 2020 lalu, ada baiknya kita merenungkan situasi demokrasi di Indonesia. Selain mengenang almarhum sebagai pejuang demokrasi era otoritarianisme Orde Baru, kita dapat mengenali gejala-gejala regresi demokrasi hari ini dan memetik pelajaran apa yang perlu dilakukan untuk meneruskan jejak perjuangan demokrasi Gus Dur.
Gus Dur merupakan salah seorang aktivis dan pemikir yang aktif menumbuhkan wacana kritis Islam dan demokrasi pada masa Orde Baru, khususnya melalui Forum Demokrasi. Kiprahnya pada forum yang terdiri dari para aktivis, akademisi, dan agamawan itu terasa setidaknya di tiga area demokrasi.
Di ranah ruang publik dan kebebasan berpendapat, Gus Dur melancarkan kritik-kritik terbuka kepada pemerintah. Dia menuangkan berbagai wacana kritis demokrasi dan Islam di kalangan kelas menengah era 1980an dan 1990an melalui forum-forum diskusi, penerbitan ilmiah hingga media massa.
Bersama intelektual Muhammadiyah seperti Dawam Rahardjo dan Muslim Abdurrahman, Gus Dur juga bergerak di ruang publik akar rumput seperti organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama yang dinilainya penting sebagai basis sosial perjuangan demokrasi.
Dalam bidang oposisi politik, Gus Dur dekat dengan beragam kalangan oposisi publik, mulai dari organisasi non pemerintah seperti LBH dan WALHI (prototype opposition), sejumlah politisi yang diam-diam memilih oposisi (alegal opposition), para tokoh mantan pejabat dan purnawirawan militer yang beroposisi melalui Petisi 50 (prominent individuals opposition) hingga kelompok mahasiswa progresif berbasis kampus dan non-kampus (mobilizational opposition).
Latar belakangnya yang mewakili organisasi Islam akar rumput, kerap membuat sikap kritis Gus Dur harus diikuti sikap dialogis dengan pemerintah--yang saat itu telah bersikap keras pada kalangan Islam. Sedangkan pada ranah pemilihan umum, Gus Dur ikut mendorong pemilihan umum yang independen.
Saat itu pemilihan umum penuh praktik koersi, kolusi dan nepotisme. Jumlah partai dibatasi. Hak-hak pegawai negeri dikebiri. Jajaran keamanan dijadikan alat represi. Wakil-wakil rakyat hanya bisa bilang “setuju” pada pemerintah.
Meski kritis, Gus Dur (bersama Cak Nur) masih diminta Soeharto memberi pendapat soal pembentukan Komite Reformasi guna meredam protes gerakan mahasiswa. Gus Dur bukan hanya menjadi Ketua PBNU di era Soeharto, tetapi kemudian menjadi Presiden yang pertama kali terpilih melalui mekanisme demokrasi pada 1999.
Situasi demokrasi hari ini
Bagaimana dengan situasi demokrasi di ketiga area itu saat ini? Saat ini, menurunnya mutu ruang publik dan kebebasan berekspresi serta melemahnya oposisi di bidang politik kerap dikutip oleh para peneliti sebagai tanda erosi demokrasi Indonesia.
Peneliti seperti Ken Setiawan (2020) menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah digunakan secara meningkat oleh para elite yang berusaha membungkam kritik dari lawan politik, jurnalis, aktivis, dan warga biasa, termasuk mengkriminalisasi komunikasi media elektronik yang dianggap \'memfitnah\'. Menurut Setiawan, penuntutan UU ITE menjadi lebih sering dan lebih bertarget di bawah pemerintahan Jokowi.
Terkait UU ITE, tahun ini Amnesty mencatat setidaknya terdapat 101 kasus kebebasan berekspresi, di luar serangan terhadap pembela HAM dan pembela keadilan sosial (masyarkat adat) yang berjumlah 201 kasus.
Berbagai jajak pendapat pada 2020 menunjukkan jumlah orang yang menilai adanya masalah dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat cukup besar. Litbang Kompas, misalnya, mencatat sekitar 30% masyarakat menilai kebebasan berpendapat sedang bermasalah.
Sedangkan survei lembaga Indikator (2020) menemukan jumlah yang jauh lebih besar. Sebanyak 79% masyarakat merasa takut untuk mengeluarkan pendapat. Itu artinya mayoritas penduduk Indonesia menilai tidak lagi ada jaminan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan pendapat tanpa takut adanya hukuman negara maupun pembalasan dari aktor non-negara.
Lebih jauh, 57,7 persen masyarakat menilai aparat semakin semena-mena dalam menindak warga yang pandangan politiknya tidak sejalan dengan pemerintah. Bayangkan berapa juta orang Indonesia yang terefleksikan oleh jajak pendapat tersebut.
Pada tahun ini, Amnesty International mencatat setidaknya ada 408 peristiwa kekerasan oleh aparat keamanan terhadap peserta demonstrasi dan jurnalis. Amnesty juga mencatat terjadi sekitar 50an kasus serangan digital terhadap aktivis, jurnalis dan warga biasa yang terlibat dalam protes menolak UU Omnibus.
Itu belum termasuk lebih dari 20 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua. Sejumlah anggota TNI terlibat kembali dalam pembunuhan warga biasa hingga pendeta.
Begitu pula dalam bidang oposisi politik. Sejumlah peneliti menyoroti upaya-upaya pemerintah untuk menekan kritik dan penentangnya melalui instrumentalisasi lembaga-lembaga hukum dan keamanan. Thomas Power (2020) misalnya, menilai pemerintah memakai pendekatan itu untuk mentargetkan kekuatan anti-demokrasi atau Islamisme intoleran hingga menekan protes kalangan pro-demokrasi yang membela KPK pada akhir 2019.
Gejala represi terhadap kaum Islamis ini disebut oleh Greg Fealy sebagai “pluralisme represif”. Kasus pembubaran ormas HTI, pembubaran pertemuan-pertemuan #gantiPresiden2019 atau yang dianggap beroposisi terhadap pemerintah sejak Pemilu 2019, hingga penangkapan presidium KAMI dan kematian enam anggota FPI juga tidak bisa dipungkiri merefleksikan pendekatan keamanan eksesif.
Baik Setiawan maupun Power sama-sama menilai bahwa pemerintahan Jokowi telah mempersenjatai pengawasan dan intimidasi daring untuk menaklukkan lawan politik dan menghalangi kritik warga melebihi tindakan para pendahulunya.
Satu-satunya yang masih terlihat bertahan adalah penyelenggaraan pemilihan umum. Itu pun mulai memperoleh kritik khususnya terkait manuver para elite yang membangun dinasti politik. Dari elite pemerintahan paling atas hingga paling bawah, mereka membangun pengaruh kekuasaan politik berbasis keluarga, sesuatu yang paling ditentang oleh Gus Dur.
Langkah ke depan
Salah satu penyebab yang bisa dikenali dari gejala regresi demokrasi hari ini adalah menguatnya di sikap pemerintah untuk menggunakan pendekatan keamanan. Pendekatan itu berakar dari paradigma lama di bawah kekakuan ideologis berupa nasionalisme yang sempit, atau nasionalisme represif untuk merespon gejala menguatnya Islamisme politik di masyarakat umum, termasuk tuduhan separatisme wilayah di masyarakat Papua.
Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah dalam perspektif penguatan demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, pendekatan keamanan untuk mengatasi menguatnya intoleransi dan konservatisme Islam justru menimbulkan masalah baru berupa “pluralisme represif” (Fealy 2020).
Kalau bercermin dari sikap Gus Dur, maka pendekatan demokratis, dialog, dan juga penegakan hukum dan hak asasi harus dikedepankan. Demokrasi Gus Dur perlu dibela.
Sebagai Presiden, Gus Dur menyikapi warisan represi Orde Baru terhadap kalangan Islam seperti kasus Priok 1984 dan Talangsari 1989 maupun kalangan pro-kemerdekaan wilayah Papua, Aceh, dan Papua dengan cara demokratis melalui pembebasan tahanan politik, dialog, dan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Sebagai intelektual Muslim, Gus Dur ikut menggunakan pendekatan Islam kultural untuk menghadapi konservatisme Islam. Ia kritis terhadap partai Islam dan agendanya dengan selalu mengatakan bahwa partai-partai Islam tidak pernah sukses secara elektoral dan mereka cenderung memperjuangkan kebijakan yang memecah-belah serta menciderai citra masyarakat Muslim (Fealy 2006: 48).
Gus Dur sebagai Presiden maupun sebagai intelektual Muslim prodemokrasi, menolak pendekatan represif. Ia melakukan kontra narasi dengan mengatakan, tidak ada dalil kitab suci yang mewajibkan sebuah struktur negara berdasarkan Islam. Ia menunjukkan upaya mensyariaisasi konstitusi dan undang-udang telah mengasingkan kaum minoritas agama dan justru menempatkan mereka sebagai permainan dari rezim saat itu yang meminggirkan Islam.
(Usman Hamid. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia)