Covid-19 dan Pertarungan Kekuatan Global
Suka atau tidak suka, pada akhirnya dunia menunggu dan berharap optimistis bahwa Presiden AS Joe Biden akan membawa pendekatan baru yang akrab.
Terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris sebagai ”Person of the Year 2020” majalah Time tidak lepas dari kontroversi.
Salah satu kandidat yang digadang sebenarnya Frontline Health Worker yang kiprahnya fenomenal dalam mengatasi dampak Covid-19. Ini bisa dimaklumi setelah Ebola Fighters dinobatkan sebagai ”Person of the Year” pada 2014.
Edward Felsenthal, Pemimpin Redaksi Time, mengatakan, seleksi ”Sosok Tahun Ini” sering kali tidak gampang, apalagi untuk tahun 2020.
”Tiada hari tanpa Covid-19” sudah merasuk ke seluruh sendi kehidupan dan berpengaruh pada hubungan antarnegara. Resesi ekonomi menyebabkan disrupsi (kekacauan) pada miliaran manusia dan progres pembangunan.
Ketika kolaborasi antarnegara dibutuhkan bagi solusi global, negara besar (adidaya) justru mengedepankan kepentingannya, organisasi internasional tak berdaya, dan negara berkembang mencari jalannya sendiri. Yang terlihat, lemahnya multilateralisme dan absennya kepemimpinan global.
Situasi ini tergambar dalam buku Ian Bremmer, Every Nation for Itself: Winners and Losers in a G-Zero World (2012). G-Zero diartikan sebagai power vacuum dalam politik internasional, di mana tidak ada negara yang memiliki pengaruh (leverage) ekonomi dan politik untuk mengarahkan agenda internasional.
Dalam situasi pandemi, fleksibilitas untuk beradaptasi dalam hubungan antarnegara menjadi kunci untuk bertahan.
Akibatnya, akan ada winners and losers (pemenang dan pecundang) dan ketidakjelasan tata politik global. Sebaliknya, ada negara yang tak bisa beradaptasi dengan G-Zero karena: (1) tampilnya China sebagai negara besar; (2) kekacauan di Timur Tengah; dan (3) pengaturan kembali Eropa.
Dalam situasi ini, kata Bremmer, pemenang dan pecundang akan ditentukan oleh fleksibilitas negara-negara.
Rivalitas AS-China
Dalam situasi pandemi, fleksibilitas untuk beradaptasi dalam hubungan antarnegara menjadi kunci untuk bertahan. Sayangnya, negara-negara adidaya malah terkesan ”menarik diri”, tanpa mengendurkan rivalitas di antara mereka. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dinilai lamban dalam menangani salah satu bencana kemanusiaan terbesar ini, dengan puluhan juta kasus di 220 negara/teritori dan angka kematian mendekati dua juta.
Alih-alih membantu, Presiden AS Donald Trump malah menuduh WHO terlalu ”China-centric” dan membekukan dananya (Devex, 18/5/2020).
WHO terperangkap di tengah pertarungan geopolitik global antara AS dan China, di mana banyak isu fundamental justru bergantung pada mereka. Dalam resesi global ini, produk domestik bruto (PDB) dunia diperkirakan tumbuh minus 4,9 persen hingga minus 7,6 persen (IMF dan Bank Dunia), angka pengangguran 7,2-9,9 persen (OECD), dan kerugian dunia mencapai 15 triliun dollar AS.
Ironisnya, AS-China justru terlibat perang dagang, yang dimulai oleh Trump pada 2018, dengan pemberlakuan tarif tinggi yang menyasar pada barang-barang dari China senilai hingga 550 miliar dollar AS dan barang-barang dari AS senilai 185 miliar dollar AS.
Kawasan ”hotspot”
Di pihak lain, sepanjang 2020, perebutan kekuasaan (power play) antarnegara adidaya, terutama AS dan China, di kawasan hotspot dunia (Timur Tengah, Asia Selatan, dan Semenanjung Korea) sangat kasatmata. Dan Rusia tampaknya memiliki taman bermain (playing ground)-nya sendiri, antara lain menjaga stabilitas di Ukraina dan Semenanjung Crimea, dan mengupayakan penyelesaian konflik Azerbaijan-Armenia yang meletus pada 27 September 2020.
Di Timur Tengah, proyek Abraham Accords-nya Trump, yang inisiatifnya disemai pada masa kampanye presiden dulu, mulai dipetik hasilnya.
Selama empat bulan sejak Agustus hingga Desember sudah empat negara Arab yang membuka atau menormalisasi hubungan dengan Israel, yakni Uni Emirat Arab (UEA) pada 13 Agustus, Bahrain 15 September, Sudan 23 Oktober, dan Maroko 10 Desember, menjadikan total enam negara Arab, bersama Mesir dan Jordania.
Abraham Accords membawa dampak signifikan. Pertama, semakin menjauhkan upaya penyelesaian masalah Palestina atau justru dapat memaksa mereka (khususnya Hamas) menerima konsep ”solusi dua negara”.
Kedua, menyebabkan Iran semakin ”terdesak” dan membuka kembali peluang penyelesaian diplomatik masalah program nuklirnya. Ketiga, menunggu sikap Arab Saudi yang akan mengonfirmasi teori domino dan terjadinya Israel Spring, Arab Fall (Musim Semi Israel, Musim Gugur Arab).
Meski tidak secara langsung melibatkan diri dalam ”hiruk pikuk” Timur Tengah, China mulai memperkuat pijakannya di sekitar kawasan itu.
Meski tidak secara langsung melibatkan diri dalam ”hiruk pikuk” Timur Tengah, China mulai memperkuat pijakannya di sekitar kawasan itu. Peresmian pangkalan militer China di Djibouti (30/12/2019) menandai bagian langkah strategis jangka panjang di Afrika dan Timur Tengah.
Djibouti merupakan gerbang masuk Laut Merah dan hub rantai ekonomi dari utara Samudra Hindia menuju Sri Lanka hingga Kamboja. Di tempat itu, China telah membangun pelabuhan laut terbesar di Afrika, jalan kereta api ke Etiopia, dan jaringan kabel bawah laut dari Kenya sampai Yaman.
Investasi China di Afrika senilai 72,2 miliar dollar AS merupakan bagian dari proyek ambisius Presiden China Xi Jinping, yakni Inisiatif Sabuk dan Jalan. Tidak mengherankan kalau David Shinn, Dubes AS di Etiopia (1996-1999), mengatakan, ”Mereka memiliki rencana besar dan strategis. Kita tidak.” (Washington Post, 30/9/2020)
Di kawasan Asia Selatan, isu Kashmir yang menjadi sumber pertikaian antara India, Pakistan, dan China tetap menjadi titik didih (boiling point) hubungan ketiga negara.
Untuk pertama kalinya sejak 1962, konflik di sepanjang 3.440 kilometer perbatasan China-India kembali menggunakan kekuatan militer (15/6/2020). Hal ini membawa pergeseran geopolitik penting karena dalam konflik ”abadi” Kashmir antara India dan Pakistan, Islamabad kini cenderung mendekat ke Beijing, sementara New Delhi mendekat ke Washington.
Di Semenanjung Korea, status quo dalam masalah program nuklir Korea Utara tampaknya merupakan yang ”terbaik” bagi kedua adidaya. Sebagai ”kawan sejati” Korea Utara, sikap ”tenang” China dinilai cukup untuk mengimbangi ”payung nuklir” AS kepada Korea Selatan (dengan 15 pangkalan militer) dan Jepang (23 pangkalan, khususnya di Yokosuka, pangkalan Armada VII/Pasifik AS).
Status quo ini juga yang dimanfaatkan Rusia, dengan keberhasilan meluncurkan rudal balistik antarbenua Bulava dari Armada Pasifik-nya di Laut Okhotsk (12/12/2020). Oleh karena itu, Presiden Vladimir Putin menyatakan, dalam kaitan dengan hubungan internasional antarnegara, pihaknya ”neither a friend, nor bride or groom (bukan teman ataupun pengantin)” dari negara-negara Barat.
Power vacumm itulah yang coba dimanfaatkan China untuk unjuk gigi di Laut China Selatan (LCS)
Diplomasi Indonesia
Power vacuum itulah yang coba dimanfaatkan China untuk unjuk gigi di Laut China Selatan (LCS). Sepanjang 2020 dari April sampai Juli, China telah melakukan sejumlah latihan militer yang menggunakan alutsista canggih dan telah membentuk dua divisi baru di sekitar kawasan (19/4/2020).
Untuk mengimbangi manuver China itulah, kelompok Quad (AS, Jepang, India, dan Australia), yang disebut sebagai ”Asian NATO”, melakukan latihan militer Malabar di kawasan Teluk Benggala pada 3-6 November.
Dalam situasi itulah pada 2020 Indonesia, seperti negara lain, harus bermanuver memperjuangkan kepentingannya. Indonesia lebih mengedepankan pendekatan jalur ganda (dual track) bilateral dan multilateral, yang dalam kasus pandemi ini hasilnya lebih nyata dan efektif. Untuk tidak menjadi ”pecundang” (loser), Indonesia senantiasa bersikap fleksibel, yang tidak lain merupakan manifestasi politik luar negeri bebas-aktif, termasuk dalam memilih mitra yang dapat membantu mengatasi dampak Covid-19.
Dengan prinsip ”all vaccine for some people in all countries”, bukan ”all vaccine for all people in some countries”, WHO hanya akan menyediakan vaksin bagi 20 persen penduduk Indonesia. Melalui Diplomasi Vaksin, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ”terpaksa” wira-wiri ke sejumlah negara sahabat, seperti China, Uni Emirat Arab (UEA), Swiss, dan Inggris.
Dengan memberdayakan KBRI, Indonesia berhasil masuk ke dalam Advance Market Commitment, yang akan memberi akses vaksin 20 persen dari populasi dan bantuan pendanaan.
Harapan optimistis
Perkiraan yang optimistis menyebut Covid-19 akan teratasi pada akhir 2021 (Citi Research dan McMinsey&Co). Artinya, tahun depan dunia masih akan menghadapi dinamika ekonomi dan geopolitik global yang relatif sama dengan 2020.
Ketika itu diharapkan tren Covid-19 sudah mulai menurun dan resesi ekonomi dunia diharapkan tidak akan berkembang menjadi depresi ekonomi; tetapi aktivitas negara adidaya akan tetap mendominasi dinamika geopolitik global. Meskipun pemulihan ekonomi belum akan berlangsung cepat, jalur ganda diplomasi dan fleksibilitas Indonesia akan mulai menunjukkan hasilnya.
Suka atau tidak suka, pada akhirnya dunia menunggu dan berharap optimistis bahwa Presiden AS Joe Biden akan membawa pendekatan baru yang akrab (friendly). Di Timur Tengah, dengan kembali bergabung dalam perjanjian nuklir P5+1 dan Iran (JCPOA) yang ditinggalkan Trump sejak 2018. Di Semenanjung Korea, dengan menghidupkan kembali Perundingan Enam Pihak/Six-Party Talks (Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, China, Rusia, dan AS) yang terhenti sejak 2009.
Di kawasan Laut China Selatan, di mana lomba unjuk kekuatan AS-China masih akan terus berlangsung, Indonesia diharapkan dapat ”menenteramkan” dan menjaga stabilitas kawasan.
Dengan demikian, kontroversi ”Person of the Year 2020” dapat dipahami mengingat duo pemimpin AS, Joe Biden dan Kamala Harris, baru akan bekerja pada 2021 ketika Covid-19 masih akan ”menemani” masyarakat dunia.
Merujuk Bremmer di awal, pada saat itu diharapkan tidak terjadi power vacuum yang berkepanjangan dan rivalitas adidaya dikesampingkan, demi mengatasi ketinggalan pembangunan global.
(Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional)