Kesuksesan komik Juki sebagai revitalisasi komik Indonesia sehingga memungkinkannya berkedudukan ideolog tak lain karena baris-komik anekdotnya bermula dari Facebook. Selebihnya adalah sejarah.
Oleh
Seno Gumira Ajidarma
·3 menit baca
Kiranya bukan kebetulan jika gambar sampul edisi istimewa Ngampus: Buka-bukaan Aib Mahasiswa (2016), yang semula terbit tahun 2011, terujukkan kepada gambar sampul buku Scott McCloud, Reinventing Comics (2000), bahwa komikus kini bekerja bukan dengan dua, melainkan enam tangan. Artinya, media komik, dalam proses kreatif, hasil akhir, dan pemasarannya, tidak lagi berhenti pada kertas dan tinta yang akan menjadi buku cetakan, tetapi merambah dunia digital sehingga hadir secara virtual. Media baru telah mengatasi segala kendala media cetak (Ajidarma, ”Metakomik Scott McCloud”, Kompas, 8 September 2008).
Komikus sebagai ideolog
Barangkali memang tidak perlu Scott McCloud sehingga karakter baris komik (comic strip) bernama Juki itu begitu populer, bagaikan tetangga sendiri sahaja, karena alih wahana atawa remediasi tentu bisa dipikirkan juga oleh Faza Meonk yang bernama-KTP Faza Ibnu Ubaydillah Salman dan tim kreatifnya: Syahal Rustama (penyunting), Bayu NL (penata letak), Raden Monica (penyelaras desain sampul), Yunus Kusumo (pewarna ilustrasi). Namun, dalam buku McCloud itu memang diungkap berbagai kemungkinan baru komik, antara lain peluangnya secara daring, yang kemudian fenomenal. Komik telah menemukan dirinya kembali.
Riwayat komik Ngampus membuktikannya. Bermula dari unggahan di Facebook tahun 2010, berkembang jadi blog setelah bersambut, dan barulah dicetak sebagai buku pada 2011. Buku Ngampus ini sendiri hanyalah monumen terbitan pertama, yang fenomenal adalah Juki, dari Juru Hoki, kawan gaul setiap penggemarnya. Fenomena apa? Bahwa Juki yang semula bermain dengan anekdot, dalam hal Ngampus adalah kehidupan sehari-hari ”anak kosan”, kemudian memberdayakan komik plus humor lebih jauh dalam #BeraniBeda (2014) dan #BeraniGagal (2016) ketika lebih dari sekadar becanda dan ngocol, Juki dalam peran sudah menjadi semacam ideolog.
Ideologi macam apa? Judul #BeraniGagal itu menunjukkannya bahwa orientasi kehidupan tidak mesti memburu kesuksesan, tetapi justru bersiap untuk gagal, dengan argumen sederhana tetapi sangat memberdayakan: lebih baik gagal daripada tidak berbuat apa pun. Dalam bahasa Juki sendiri, ”Lebih baik menyesali apa yang kita lakukan daripada menyesal karena tidak melakukan apa-apa.” (hlm 148).
Sebelum mencapai simpulan di halaman terakhir itu, Juki yang sebagai calon presiden gagal karena memang tidak mendaftar, mengungkap panjang lebar bukan sekadar hikmah kegagalan, melainkan segala macam bukti dari alam, sejarah, maupun kehidupan sehari-hari—keberadaan manusia sebagai jomlo (= belum/tidak menikah) misalnya—bahwa kegagalan adalah bagian yang sah dari kesuksesan, dan kegagalan itu sendiri hanyalah masalah sudut pandang. Tidak ada sukses, tidak ada gagal, yang ada hanyalah sudut pandang.
Falsafah kegagalan
Tak hanya dunia manusia, dunia kecoa pun dipinjamnya untuk berargumen dalam proposisi falsafah kegagalan. Ini dilakukan tidak lagi murni dengan baris-komik seperti pada Ngampus, tetapi kombinasi gambar-tulisan (yakni komik) dan tulisan, yang menandai dominasi ide-ide abstrak alias tidak langsung memberi imaji untuk digambar.
Format naratif #Beranigagal ini mengingatkan kepada kartunis Scott Adams, yang setelah sukses dengan baris-komik Dilbert, menjadi ideolog dunia manajemen yang semula dikartunkannya itu, dengan buku-buku best seller, seperti The Dilbert Principle (1996), The Dilbert Future (1997), dan Stick to Drawing Comics, Monkey Brain! (2007). Notabene resep Scott Adams dan Faza Meonk sama: kombinasi gambar-tulisan dan tulisan.
Tidak dapat dimungkiri, keduanya melakukan refleksi justru setelah sukses (yang bagi Juki cuma hoki), dan memahami absurditas obsesi terhadap kesuksesan tersebut, sehingga alih-alih menjadi motivator, jika Scott Adams mengejek-ejek teori dan praktik manajemen, maka Faza Meonk—melalui Juki—menjadi ideolog falsafah kegagalan.
Atas jasa media baru
Namun, sebetulnya bukan gagasan itu benar yang saya mintakan perhatian, melainkan bahwa kesuksesan Juki itu, sebagai revitalisasi komik Indonesia, sehingga memungkinkannya berkedudukan ideolog, tak lain karena baris-komik anekdotnya bermula dari Facebook. Selebihnya adalah sejarah.
Apa yang ditulis (dan digambar) McCloud sebagai masa depan komik pada tahun 2000, telah menjadi masa kini komik Indonesia pada tahun 2020. Hanya komik sebagai webcomics yang akan selamat, meski buku komik kertas juga tidak akan punah—baik sebagai alternatif maupun perlawanan.