Buanglah sisi kecurigaan Anda dan rengkuhlah tanpa ragu, meski dengan kritik rasional, kebijakan vaksinasi massal sebagaimana dianjurkan WHO secara internasional dan Pemerintah Indonesia.
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Vaksinasi untuk menangkal Covid-19 berada di depan kita. Bagi saya, vaksinasi massal tidak menjadi masalah. Saya pernah menyaksikannya. Saya masih ingat: puluhan bahu berderetan, masing-masing dengan jarum suntik ditancap di dalam kulitnya. Lalu, sang dokter, satu per satu, menginjeksi vaksin ajaib. Tak ada yang protes. Ah, ya! saya lupa jelaskan. Terdengar sana-sini beberapa ”waa”, ”waa” sebagai ucapan terima kasih. Tidak perlu heran: sang dokter adalah dokter hewan dan pasiennya adalah sapi di kandang.
Waktu itu, pada 1960-an, di Perancis, sapi wajib disuntik setiap tahun untuk menangkal virus ”kaki mulut” (foot and mouth disease). Mirip korona: ada karantina segala untuk hewan. Tetapi, saya menyukai kampanye vaksinasi itu, yang kerap saya ikuti dengan asisten-asisten ayah yang dokter hewan. Itulah kesempatan saya mengunjungi desa-desa, memancing kodok di empang-empang, dan melirik bagaimana cewek petani, yang kadang juga cantik, bisa dalam sekejap menaklukkan sapi. Tak heran jika saya tidak berani menaksirnya. Kalau berani mungkin saya tidak berada di sini dan sedang ngoceh tentang masalah suntikan dengan para pembaca Kompas.
Nasib saya memang begitu! Namun, ada sesuatu yang pasti: penyakit ”kaki mulut” sapi dapat dikendalikan, seperti dikendalikan pula puluhan penyakit lainnya, baik penyakit hewan maupun penyakit manusia, melalui vaksinasi massal.
Kalau manusia bersikap seperti sapi, tidak akan ada masalah. Akan dibiarkan bahunya ditancap secara berderet, tanpa ribut. Lalu, Covid-19 bakal lenyap dalam sekilas. Tetapi, manusia lebih cocok diibaratkan hewan yang lain. Lagaknya lebih mirip anjing atau domba: ada yang menggonggong, dan ada yang ikut-ikutan.
Pokoknya ada komplotan, kata kaum pertama, dengan suara sumbangnya dipantulkan oleh medsos: Virus tidak ada. Virus tidak berbahaya. Virus diciptakan untuk mempererat kuasa ”mereka” atas masyarakat. Siapa ”mereka” yang menakutkan itu? Pemerintah, Bill Gates, Big Farma, kaum neo-imperialis, thaghut atau KGB, tanpa lupa sebut ”China” dan tentu saja ”Yahudi”. Pokoknya ”mereka” adalah pelaku jahat. Tukang menindas ”kita”. Cerita lama, kan? Tetapi, begitulah gonggongannya.
Dengan adanya vaksin yang akan mulai disuntikkan, teori komplotan dan hoaks bukanlah mereda, melainkan kian merajalela. Vaksin, disebut-sebut konon menyebabkan autisme dan bermacam-macam gangguan medis. Bahkan, muncul tuduhan canggih: vaksinasi adalah tipu muslihat; ditumpangi oleh nano-teknologi. Vaksin bakal mengubah jati diri genetik kita secara terselubung. Otak kita akan dapat dikuasai dan kita akan menjadi manusia robot.
Apabila ditelusuri dengan akal sehat, teori-teori seperti ini dapat dengan mudah ditelanjangi. Cukup berkonsultasi dengan Google untuk itu. Namun, hal ini tidak mengubah kenyataan: terdapat puluhan dan bisa jadi ratusan juta manusia yang menelan mentah-mentah delusi dan kebohongan yang ditawarkan oleh segelintir ”juru pengingat” jago medsos itu. Menariknya, tak sedikit di antaranya disebut bergelar doktor ini atau profesor. Seolah-olah jubah ilmiah menjamin kebenaran hoaks dan pembohongan mereka. Salah satu ilusi yang terlahir dari Covid-19 itu sendiri.
Tak pelak, oleh karena menyangkut keselamatan seluruh umat manusia, pandemi seperti Covid-19 berisiko mengguncangkan tatanan hidup kita secara makro. Sejarah menunjukkan bahwa jika pandemi ini dibiarkan berlarut, perspektif ke depan memang suram. Selain takut terhadap penyakit dan vaksinnya, kita juga akan kian gelisah karena ketidakpastian ekonomi.
Lalu, ciri-ciri paranoid yang inheren pada kita akan cenderung menajam dengan sendirinya, disusul memuncaknya gejala-gejala kecurigaan dan kebencian. Retakan-retakan sosial yang sudah ada sebelumnya bakal melebar; dan kita akan terbawa konflik tak terkendali, hal mana pada gilirannya akan mengancam keutuhan kontrak sosial itu sendiri.
Ya! Itulah risiko yang kita hadapi jika abai terhadap nalar dan akal sehat serta membiarkan diri kita hanyut di dalam emosi tak terkontrol serta teori-teori komplotan terkait.
Untungnya kini ada jalan keluar dari pandemi ini. Buanglah sisi kecurigaan Anda dan rengkuhlah tanpa ragu, meski dengan kritik rasional, kebijakan vaksinasi massal sebagaimana dianjurkan WHO secara internasional dan Pemerintah Indonesia di masing-masing tempat Anda berada.
Ya! Ingatlah. Nalar adalah senjata kita. Setelah 70 persen sampai 80 persen dari populasi divaksinasi, baru kita akan aman. Baru kemungkinan besar kita akan bertemu lagi tahun depan, pada awal tahun 2022.