Dalam situasi apa pun, seorang penulis akan tetap bekerja dalam rumahnya yang, mungkin, luasnya hanya sepetak. Sembari berkhayal tentang hal-hal menyenangkan, si penulis berharap seorang editor membagikan kabar baik.
Oleh
ANINDITA S THAYF
·5 menit baca
Apabila perupa dan pelukis memiliki studio sebagai tempat kerja, penari dan pekerja teater mempunyai sanggar, lantas di manakah tempat kerja penulis?
Selama ini, apabila ada yang bertanya, ”Apa pekerjaanmu?”, lalu seseorang menyebut penulis sebagai profesinya, respons pertama yang sering dijumpainya mestilah, ”Penulis?” Sebuah ungkapan keheranan yang spontan terlontar seolah pekerjaan tersebut sesuatu yang asing. Pangkal penyebab ini terjadi, salah satunya, adalah perkara tempat kerja atau kantor.
Dalam masyarakat industrialis, pekerjaan sering ditautkan dengan tempat di mana pekerjaan itu dilakukan. Orang yang bekerja adalah mereka yang pagi-pagi berangkat meninggalkan rumah menuju lokasi kerja, entah itu kantor, pabrik, sekolah, atau pasar.
Bahkan pekerjaan tukang ojek lebih mudah diakui sebagai pekerjaan hanya karena ia memiliki sebuah ruang yang bisa dianggap ”kantor”, yaitu pangkalan. Walaupun pangkalan ojek cukup sederhana, bisa berupa bangunan semipermanen atau pos ronda, tetapi seorang tukang ojek mempunyai tujuan yang pasti saat keluar rumah.
Berkebalikan dari sebagian besar profesi yang ada, penulis justru tidak mempunyai jadwal tetap ke luar rumah, apalagi titik tujuan yang pasti dan rutin. Seorang penulis bahkan bisa saja tidak keluar rumah selama berhari-hari. Di mata masyarakat, dia seolah tidak memiliki pekerjaan.
Itulah mengapa, ketika sekali waktu seorang penulis mampu membeli perabot rumah tangga, motor, apalagi rumah, tetangga kiri-kanannya mestilah akan bertanya-bertanya penuh curiga.
Selama ini, rumah hanya dilihat sebagai tempat tinggal, tempat istirahat, dan tempat reproduksi manusia. Sederhananya, rumah sebatas dipahami sebagai ”alamat” seseorang, bukannya tempat kerja, kecuali bagi asisten rumah tangga yang bekerja di rumah majikannya. Rumah bisa bermakna tempat kerja apabila dipasangkan dengan kata lain, umpamnya, ”sakit”, ”makan”, atau ”bordil”.
Bagi dokter dan perawat, rumah sakit adalah tempat kerjanya. Bagi pelayan dan pelacur, rumah makan dan rumah bordil merupakan tempat mereka mencari nafkah. Tanpa kata pasangannya, rumah hanya kembali menjadi bangunan tempat manusia pulang. Namun, bagi penulis, rumah merupakan autobiografi hidupnya, sekaligus sejarah bangsanya, sebagaimana dikisahkan VS Naipaul dalam Sepetak Rumah untuk Tuan Biswas.
Kerja dari rumah
Pandemi memaksa manusia pulang ke rumah. Covid 19 membuat istilah ”kerja dari rumah” menjadi populer. Saat ini, fungsi rumah terpaksa didongkrak agar seseorang yang terus berada di rumah tidak mudah dianggap tidak sedang bekerja. Maka, agar kelihatan mentereng, bahasa Inggris ”work from home” kerap dipakai demi menyebutkan kegiatan bekerja dari rumah. Pada titik ini, akhirnya penulis mempunyai banyak teman ”senasib”.
Sejak berabad-abad lamanya, penulis bekerja dari rumah. Cukup sediakan sedikit ruang untuknya duduk, entah di pojok ruangan, kamar tidur sempit, atau bekas gudang, bersama alat-alat tulisnya, maka jadilah tempat itu ruang kerja penulis. Sejumlah penulis bahkan bisa bekerja di mana pun dia berada, kendati tempat itu tidak pantas disebut rumah, misalnya penjara.
Apabila kita membaca kisah Pramoedya Ananta Toer saat menulis novel Perburuan, sulit membayangkan novel yang banyak dipuji oleh kritikus itu ditulisnya dalam sel penjara Bukit Duri. Hanya berbekal pensil, kertas, dan kaleng bekas sebagai tempat duduk, novel yang mengisahkan pemberontakan Peta terhadap Jepang itu ditulisnya sampai selesai.
Jauh sebelum pandemi Covid-19 merebak, bahkan jika mundur ke belakang, hingga sebelum wabah pes Black Death, flu spanyol, dan pandemi semacamnya terjadi, para penulis sudah bekerja dari rumah. Bedanya, kali ini, bekerja dari rumah bukan lagi hanya dirasakan penulis, melainkan sebagian besar pekerja. Mulai dari karyawan biasa, guru, reporter, sampai birokrat terpaksa bekerja dari rumah demi mengurangi dampak penyebaran pandemi.
Siapa pun yang berkantor di rumah mestilah akan merasakan apa yang dialami seorang penulis sejak lama. Bekerja di antara riuh teriakan anak-anak yang bermain, musik dangdut dari rumah tetangga, suara pedagang keliling, deru kendaraan, dan lalu lalang binatang piaraan serta penghuni rumah lainnya.
Suasana itu, mau tidak mau, mesti diterima sambil berusaha tetap mengerjakan laporan, menghitung untung rugi, melakukan siaran langsung, atau menyiapkan materi pelajaran untuk para murid.
Pada masa pandemi, kantor atau tempat kerja bukan lagi pelabuhan bagi pekerja. Ia telah berubah menjadi salah satu tempat yang paling berisiko dalam hal penyebaran virus. Sebaliknya, rumah yang sebelumnya seolah hanya menjadi tempat persinggahan seorang pekerja, dari waktu kerja satu ke waktu kerja lain, telah menjelma sebagai tempat pulang sekaligus tempat kerja. Namun, bagi mereka yang tidak terbiasa bekerja dari rumah, perubahan ini ibarat sebuah siksaan.
Belum satu tahun pandemi berlangsung dan kegiatan bekerja dari rumah menjadi kebiasaan baru, kebosanan dan kejenuhan itu mulai tertampak. Orang-orang sudah memimpikan kembali bekerja di kantor dengan berbagai alasan. Para pekerja juga kian merindukan rutinitas mereka di hari kerja yang sibuk, berikut busana kantor yang tersetrika licin, sepatu mengilap, dan rasa bangga saat melangkah memasuki bangunan megah kantor masing-masing.
Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa terus-menerus berada di rumah bukanlah sesuatu yang menyenangkan, dan berharap itu segera berakhir. Bagaimana dengan penulis? Dalam situasi apa pun, seorang penulis akan tetap bekerja dalam rumahnya yang, mungkin, luasnya hanya sepetak.
Berbeda dari si pekerja yang rajin menatap kalender demi berharap agar bisa segera berjumpa kembali dengan hari Senin yang dibencinya dulu, seorang penulis mungkin lebih suka memandangi dinding kosong di hadapannya. Sembari berkhayal tentang hal-hal menyenangkan, si penulis hanya berharap satu. Semoga pada hari Senin nanti seorang redaksi atau editor penerbit menghubunginya untuk membagikan kabar baik tentang tulisan yang dikirimnya berhari-hari lalu.