Kehadiran Covid-19 seolah mendorong kita berintrospeksi, mengapa kita terus memupuk perbedaan dan mengembangkan berbagai prasangka yang semakin menjauhkan kita satu sama lain? Marilah bekerja sama mengatasi virus korona.
Oleh
JOHN DE SANTD
·5 menit baca
Kantor berita Associated Press (AP) edisi 2 Desember 1984 memuat sebuah foto berjudul ”Sharing Water” dengan keterangan: dua anak Etiopia bergantian minum dari kaleng sarden yang berisi air keruh di kamp pengungsi Tuku Lababa, sebelah timur kota Kassala. Kala itu negara di ”Tanduk Afrika” ini tengah dilanda kekeringan ekstrem yang membuat rakyatnya terperangkap dalam bencana kelaparan hebat.
Tragedi kemanusiaan kembali terjadi di planet ini. Sejak Maret 2020, Covid-19 menyerang tanpa mengenal perbedaan suku, ras, agama, atau kebangsaan. Sudah 9 bulan kita terpaksa mengisolasi diri dan enggan memulai kegiatan di luar rumah. Dasbor Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah korban kematian terus bertambah. Yang menarik, mengapa justru di balik tragedi hakikat kemanusian justru tecermin?
Terbaik dan terburuk
Kamus The Merriam-Webster memiliki dua definisi tentang kemanusiaan. Pertama humanity yang mengacu kepada the entire human race (seluruh kemanusiaan). Kedua, kemanusian sebagai kepedulian dan belarasa. Definisi humanity sendiri berasal dari kata Latin humanitas, yang artinya ’sifat dasar manusia atau kebaikan hati’.
Seperti halnya dengan krisis lain, Covid-19 berhasil menunjukkan watak terbaik dan terburuk dari manusia.
Seperti halnya dengan krisis lain, Covid-19 berhasil menunjukkan watak terbaik dan terburuk dari manusia. Selama masa pandemi ini, terlihat bahwa sebagian besar kita menunjukkan watak terbaik dari kemanusiaan sehingga memberi harapan untuk berakhirnya pandemi itu. Semangat kebaikan hati dan empati justru menyembuhkan penyakit dan mengurangi penderitaan akibat virus korona.
Tak terhitung jumlah warga dunia yang sedang melindungi para manula atau kelompok paling rentan terinfeksi dengan berbagai cara. Para tetangga saling menolong melalui tindakan-tindakan kecil, seperti membantu belanja, menyediakan makanan, atau sekadar memberi semangat.
Mungkin bagian terbaik dari kemanusiaan itu justru diperlihatkan oleh para tenaga kesehatan yang rela bekerja lembur untuk menolong pasien korona. Sebagaimana kita ketahui, hingga Desember 2020, sudah ada 507 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat Covid-19.
Kepedulian juga diperlihatkan oleh para pedagang kecil, kasir, para petani, nelayan, pengepak di makanan, para sopir, pengemudi ojol, dan tukang sampah. Mereka terus bekerja memberi kenyamanan kepada masyarakat meski diliputi perasaan khawatir terinfeksi virus.
Sebaliknya, Covid-19 juga menyingkapkan watak terburuk manusia. Watak terburuk itu tersingkap, manakala orang menolak mengakui bahwa kecerobohan mereka bisa berdampak mengancam keselamatan orang lain. Virus korona masih berpotensi menular ketika orang beranggapan bahwa dirinya hanya sedikit atau tidak sama sekali berisiko membawa penyakit itu kepada orang lain. Padahal kita tahu, Covid-19 itu berkemampuan merambat seperti api.
Tabiat terburuk manusia juga tecermin dari kecenderungan sebagian orang yang masih suka berkerumun, menolak mengambil jarak, dan membasuh tangan dengan menggunakan sabun, atau enggan mengenakan masker di tempat umum karena dianggap membatasi kebebasan.
Ada netizen yang terang-terang menulis di status media sosialnya, ”aku menolak mengenakan masker demi orang lain, terutama demi mereka yang sakit. Jika mereka penyakitan itu persoalan mereka, bukan urusanku”. Bagi penulis, ini jelas-jelas mencerminkan defisit kemanusiaan.
Untuk menghentikan penyebaran pandemi virus Covid-19, kita butuh tindakan serentak dari seluruh masyarakat, bahkan seluruh umat manusia.
Untuk menghentikan penyebaran pandemi virus Covid-19, kita butuh tindakan serentak dari seluruh masyarakat, bahkan seluruh umat manusia. Jika ada pihak yang mengabaikan kewajiban menjalankan protokol kesehatan, yang menganggur akan tetap menganggur, anak-anak tak bisa kembali bersekolah, para tenaga kesehatan serta mereka yang menyediakan kebutuhan dasar akan tetap terpapar virus mematikan itu.
Meski kehadiran vaksin cukup melegakan, tak seorang pun bisa meramalkan kapan manusia akan terbebas sepenuhnya dari ancaman Covid-19. Yang pasti, kecerobohan dan ketidakpedulian di antara kita bisa mengakibatkan virus korona terus menular dan menyebabkan kerugian ekonomi, penderitaan, dan kematian yang tak perlu.
Kita semua sama
Virus kecil tak kasatmata ini memperlihatkan realitas manusia yang selalu kita sangkal melalui berbagai sekat primordial. Terlepas dari perbedaan jender, etnisitas, atau agama, kita semua berasal dari ras yang yang sama, yakni ras manusia. Oleh karena itu, apa yang berdampak melemahkan dan membunuh seorang manusia, juga berdampak melemahkan dan membunuh kita semua.
Mungkinkah virus ini datang untuk mendorong umat manusia supaya bersatu dan hidup berdampingan secara hormanis? Mungkinkah ia menjadi pelajaran bagi kita untuk peduli terhadap sesama yang sedang menderita di tempat lain ini? Ataukah kita harus peduli terhadap makhluk hidup lain yang selama ini terganggu habitatnya akibat ulah kita? Mungkinkah virus kecil ini mengajarkan, bahwa selama kita tidak bertindak sebagai ”satu tubuh kemanusiaan” (one body of humanity), tak akan ada persoalan yang bisa diatasi dan kemanusiaan kita akan binasa.
Sebagai manusia, kita sudah meraih hampir segalanya. Kita telah meraih hal-hal yang tak mungkin diraih sebelumnya. Kita menyembuhkan penyakit yang dulu tak tersembuhkan, memecahkan persoalan yang sebelumnya dianggap mustahil terpecahkan.
Tapi sejatinya kita masih perlu belajar untuk hidup berdampingan secara damai sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dasar yang sama. Kita minum dari air yang sama, makan makanan yang sama, menghirup udara yang sama, dan merasakan emosi yang sama.
Kehadiran Covid-19 seolah mendorong kita berintrospeksi, mengapa kita terus memupuk perbedaan dan mengembangkan berbagai prasangka yang semakin menjauhkan kita satu sama lain?
Hal berharga yang dapat kita pelajari dari Covid-19 adalah niat dan aksi nyata untuk mengupayakan persatuan dan perdamaian karena sebagaimana yang pernah disampaikan John F Kennedy, ”umat manusia harus menghentikan permusuhan, sebelum permusuhan menghentikan umat manusia”.
Sudah waktunya kita membuang warisan dendam masa lampau dan berusaha meraih persamaan hak bagi setiap orang.
Sudah waktunya kita membuang warisan dendam masa lampau dan berusaha meraih persamaan hak bagi setiap orang. Bukankah setiap anak adalah seorang anak manusia, tak peduli dari mana datangnya? Bukankah setiap ibu adalah seorang manusia juga, tak peduli apa agama yang dianutnya? Setiap manusia memiliki hak hidup dan nilai yang ingin ia perjuangkan.
Maka, marilah terus bekerja sama memutus rantai penularan virus korona sekaligus mengakhiri kedengkian dan prasangka di antara kita agar kita mampu membangun koeksistensi damai karena seperti yang digambarkan filsuf Seneca, ”kita adalah gelombang dari laut yang sama, dedaunan dari pohon yang sama, dan bunga-bunga dari taman yang sama”.
(JOHN DE SANTO
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta, Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka)